Bab 12. Kepastian

950 Kata
Arman tiba di rumah, menatap pintu besar yang tampak megah namun terasa begitu dingin dan hampa. Sudah beberapa hari ia tidak pulang, dan ia tahu, Lestari pasti akan menunggu dengan kemarahan yang membara. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum memasuki rumah, bersiap menghadapi apa yang akan terjadi. Begitu ia membuka pintu, suara langkah kaki Lestari terdengar mendekat. Wajahnya penuh dengan emosi, mata tajamnya langsung menatap Arman. “Darimana saja kamu selama ini? Beberapa hari, Mas! Kamu nggak pulang, nggak memberi kabar, dan tiba-tiba saja muncul seperti ini!” suaranya bergetar antara marah dan terluka. Arman, yang sudah mempersiapkan jawabannya, tetap tenang. "Aku harus menyelesaikan pekerjaan di kantor. Ada proyek besar yang harus segera dirampungkan. Maaf, aku nggak sempat memberi kabar," jawabnya datar, menghindari tatapan Lestari. Namun, Lestari tidak begitu saja percaya. "Pekerjaan? Selalu alasan yang sama! Kamu pikir aku nggak bisa melihat perubahan sikapmu? Kamu semakin jarang di rumah, jarang berbicara denganku, dan ketika pulang, kamu selalu terlihat begitu dingin. Mas, ada apa sebenarnya?" desak Lestari, nadanya semakin meninggi. Arman tetap berusaha tenang. Ia tahu, mengatakan yang sebenarnya tidak akan membawa kebaikan. Hubungannya dengan Santi masih rahasia, dan ia belum siap untuk menghadapinya. “Aku sudah bilang, ini soal pekerjaan. Aku kelelahan, Lestari. Jangan menambah beban dengan pertanyaan-pertanyaan ini,” jawabnya, mencoba mengalihkan perhatian. Namun, Lestari tidak menyerah. "Jangan bicara seolah-olah aku nggak mengerti, Mas. Ini bukan hanya tentang pekerjaan. Aku tahu ada sesuatu yang kamu sembunyikan dariku!" Lestari semakin emosional. Rasa frustasi dan ketidakpercayaan menguasainya. Baginya, hubungan mereka terasa semakin jauh, dan dia tidak tahu bagaimana memperbaikinya. Arman, yang mulai kehilangan kesabaran, berdiri dari tempat duduknya. “Lestari, aku sudah cukup penat dengan masalah di kantor. Jangan buat situasi ini lebih sulit! Kalau kamu nggak bisa percaya padaku, aku nggak tahu lagi harus bagaimana,” katanya dengan nada lebih keras. Pertengkaran antara keduanya semakin memanas. Lestari merasa terluka, sementara Arman merasa terpojok. Lestari tidak ingin menyerah, “Ini bukan tentang aku nggak percaya, Mas. Ini tentang kamu yang mulai menjauh! Apa kamu nggak melihat bagaimana kita semakin sering bertengkar? Kapan terakhir kali kita benar-benar bicara sebagai suami istri?” Arman diam. Dalam hatinya, ia tahu Lestari benar. Hubungan mereka memang semakin jauh, dan semua itu bukan tanpa alasan. Kehadiran Santi dan pernikahan rahasia mereka membuatnya terus merasa bersalah. Namun, ia tetap teguh tidak mau mengungkapkan semuanya. “Kita sudah berbicara sekarang, bukan? Aku nggak mau membahas hal-hal yang hanya akan membuat semuanya semakin buruk,” jawab Arman dingin. Lestari menatapnya penuh luka, matanya mulai berkaca-kaca. “Mas, apa kita masih bisa diselamatkan? Atau kamu sudah menyerah pada hubungan kita?” Mendengar itu, Arman merasa tertekan. Ia tidak pernah membayangkan pertanyaan itu akan keluar dari mulut Lestari. Di satu sisi, ia merasa bertanggung jawab sebagai suami, tetapi di sisi lain, ada Santi yang kini mengandung anaknya. Keadaan ini menjadi semakin rumit, dan ia tidak tahu bagaimana cara keluar dari situasi yang ia ciptakan sendiri. “Lestari, aku nggak menyerah. Tapi aku butuh ruang. Aku butuh waktu,” kata Arman akhirnya, meskipun ia tahu itu bukan jawaban yang Lestari inginkan. Lestari hanya terdiam. Suasana menjadi begitu sunyi, hanya terdengar suara napas mereka yang berat. Dalam keheningan itu, Lestari menyadari bahwa hubungan mereka benar-benar sedang berada di ujung tanduk. Mungkin Arman tidak akan pernah mengatakan yang sebenarnya, dan itu membuatnya merasa semakin terasing dalam pernikahannya sendiri. Setelah beberapa saat, tanpa sepatah kata pun lagi, Arman bangkit dan pergi meninggalkan ruang makan. Lestari tetap diam di tempatnya, menatap kosong ke arah piring sarapan yang kini sudah dingin. Hatinya terasa kosong, seolah tidak ada lagi yang bisa ia lakukan untuk menyelamatkan pernikahan mereka. Arman melangkah keluar rumah dengan perasaan yang bercampur aduk. Di satu sisi, ia merasa lega telah berhasil menghindari pertanyaan-pertanyaan Lestari. Namun di sisi lain, ia merasa bersalah karena terus menyembunyikan kebenaran. Santi dan anak yang sedang dikandungnya adalah tanggung jawabnya, tetapi Lestari juga adalah istri sahnya, dan ia tidak bisa begitu saja mengabaikan pernikahan mereka. Pikirannya penuh saat ia mengendarai mobil, meninggalkan rumah menuju villa tempat Santi tinggal. Ketika sampai di villa, Arman mendapati Santi sedang duduk di teras. Senyum tipis muncul di wajah Santi ketika melihat Arman turun dari mobil. Namun, senyum itu cepat hilang ketika ia melihat wajah tegang Arman. "Kamu kenapa, Mas? Dan, bukannya hari ini kamu seharusnya ada bersama Lestari?” tanya Santi dengan nada hati-hati. Arman menggeleng, "nggak. Lebih baik aku di sini daripada harus berhadapan dengan Lestari yang selalu mendesakku untuk berkata jujur." Santi menghela napas, tetapi ada kegelisahan yang tidak bisa ia sembunyikan. “Mas Sampai kapan kita akan seperti ini? Aku mulai lelah harus terus bersembunyi. Apalagi sekarang, aku mengandung anakmu. Sampai kapan kita bisa hidup seperti ini?” Arman menatap Santi dengan tatapan yang sulit diartikan. Ia tahu, Santi berhak atas jawaban yang pasti, tetapi ia sendiri tidak tahu harus berbuat apa. “Aku juga nggak tahu, Santi. Semuanya terasa semakin rumit. Lestari nggak akan mudah menerima ini, dan aku belum siap untuk menghadapinya,” jawab Arman jujur. Santi menunduk, mengusap perutnya yang mulai sedikit membesar. Meski belum terlihat jelas, ia sudah bisa merasakan kehadiran janin itu dalam dirinya. “Mas, aku butuh kepastian. Aku nggak bisa terus seperti ini, hidup dalam bayang-bayang. Aku ingin anak kita lahir dalam keluarga yang utuh.” Arman merasakan tekanan besar dari ucapan Santi. Ia ingin memberi Santi kepastian, tetapi ia juga tidak bisa begitu saja menghancurkan hidup Lestari. Dalam hatinya, ia terus bertanya-tanya, apakah ia bisa menemukan jalan keluar dari kekacauan ini tanpa melukai semua orang yang terlibat? Namun untuk saat ini, ia hanya bisa berkata, “Aku butuh waktu, Santi. Biarkan aku berpikir lebih jauh tentang ini.” Santi mengangguk pelan, meskipun di dalam hatinya ia merasa semakin tidak yakin dengan keputusan-keputusan yang Arman ambil.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN