PERTEMUAN KEMBALI DENGAN IBU

1130 Kata
Siang itu Sundari mengajak Kartika untuk membuat pas foto. Kartika hanya bisa menurut meskipun merasa cemas dan was-was. Ia takut apabila harus bertemu dengan kawan-kawannya. Apalagi jika mereka memakinya seperti yang dilakukan oleh Rengganis kemarin. Setelah selesai foto, Sundari mengajak Kartika membeli beberapa potong pakaian dan juga sepatu di Matahari Department store yang memang ada di daerah Cicadas. "Ini buat siapa, Bu?" tanya Kartika. "Buatmu..." "Tapi..." "Sudah, bawa saja, tidak usah berkata apapun. Ingat perjanjian kita, di luar kau adalah anak angkatku. Jadi, aku boleh membelikan apa saja untuk anakku.". Kartika tidak berkata apa-apa lagi. Ia hanya menuruti kemana Sundari mengajaknya. "Kamu suka makan bakso?" tanya Sundari. "Suka, bu." "Ya sudah, nanti kita makan bakso rudal di Padasuka saja. Di dekat Saung Udjo ada bakso yang enak. Kita naik taksi saja dari sini." Kartika sebenarnya ingin sekali menolak. Bagaimana mungkin ia tidak tau daerah Padasuka. Dulu, jika Ceppy memiliki uang, biasanya dia akan memberikan bakso untuk Kartika. Ya, almarhum Ceppy memang sangat menyayanginya. Dulu, apapun yang Kartika inginkan, Ceppy selalu berusaha untuk memberikan. "Bu, rumah saya di daerah Jatihandap," kata Kartika tiba-tiba. "Iya,Ibu tau. Mami Sania yang memberitahu Ibu." Tiba-tiba saja perasaan Kartika tidak enak. Ia melihat Sundari begitu tenang. Ia menepuk bahu Kartika dengan lembut. "Maafkan Ibu, sebenarnya urusan yang Ibu maksud itu adalah bertemu dengan Ibumu. Ibu ingin melihat seperti apa wanita yang sudah menyia-nyiakan putrinya." "Tapi, Bu..." "Apa kau takut?" "Iya,Bu. Aku merasa sedikit takut dengan perkataan tetangga dan juga Ibuku." "Kita akan menghadapinya bersama-sama, Kartika. Jika dia berani menyentuhmu sedikit saja, maka aku akan bertindak. Jadi, kau tidak perlu khawatir." Kartika hanya menghela napas panjang. Untuk menuju ke rumah Kartika, biasanya harus menggunakan jasa tukang ojek. Karena jalanannya sedikit menanjak. Tapi, dulu, Kartika biasa berjalan kaki, atau di antar oleh Ceppy. Tiba di gang kecil menuju ke rumahnya,taksi pun berhenti. "Yang mana rumahmu?" tanya Sundari saat mereka sudah turun dari taksi. "Tunggu di sini saja, Pak. Saya hanya sebentar untuk berkunjung," kata Sundari kepada supir taksi. Dengan langkah perlahan sedikit ragu, Kartika melangkah masuk ke gang menuju ke rumahnya. Dan, beberapa pasang mata menatapnya. Sampai saat ia melewati rumah bu Aminah. Wanita setengah baya itu sedang menyapu halaman rumahnya yang cukup luas. Dan, saat melihat Kartika ia langsung melemparkan sapu dan menyongsong Kartika. "Ya Allah, Kartika...!" Aminah segera berlari dan memeluk Kartika dengan erat. "Kau dari mana saja, Nak? Berbulan-bulan kau pergi tanpa ada kabar berita. Kau ke mana saja?" tanya Aminah. "Dia bekerja di rumah saya, Bu. Kenalkan, saya Sundari." Sundari langsung menyapa Aminah dengan ramah. Aminah menatap Sundari dengan tatapan penuh selidik. "Sebagai pembantu? Kartika ini masih bersekolah, seharusnya dia dibiarkan tetap tinggal di sini." "Maaf, Bu. Kartika bekerja untuk merawat saya. Saya sedang sakit kemarin, jadi Kartika bekerja di rumah saya untuk merawat saya. Dan, saat ini saya sudah mulai membaik. Jadi, saya mengajak Kartika untuk pulang sebentar menemui Ibunya. Permisi, Bu. Kami ditunggu taksi di depan sana. Jadi, kami pamit," kata Sundari. "Ibu Kartika baru saja pulang, dia pasti ada di rumah. Biasanya dia kembali kemari lagi sore nanti. Pulanglah dulu, nak." Kartika pun langsung membungkuk dan memberi hormat pada Aminah kemudian dia dan Sundari pun meneruskan langkahnya menuju ke rumahnya. Dan, saat ia memasuki pagar, tepat saat sang Ibu membuka pintu rumah. Sulastri berdiri terpaku di tempatnya. Ia menatap Kartika tajam, entah apa yang sedang ia pikirkan. "Mau apa kau pulang?" tanya Sulastri . "Bukan dia yang mengajak kemari. Tapi, aku yang mengajaknya pulang kemari. Apa kami tidak boleh masuk? Atau kau mau aku membeberkan aibmu di sini?" kata Sundari dengan tegas. Sulastri menghembuskan napas panjang. Namun, ia pun berbalik dan melangkah masuk. Tanpa menunggu lagi, Sundari menarik tangan Kartika dan mengajaknya masuk. "Mau apa kalian?" Kau orang suruhan Sania?" tanya Sulastri. "Aku orang kepercayaan Sania. Tapi, aku kemari hanya ingin tau mengapa kau begitu tega menjual anakmu sendiri pada Sania." Sundari benar-benar merasa kesal mendengar jawaban Sulastri. Hanya demi membayar hutang. Dan, Sulastri mengucapkan semua itu tanpa terlihat ada rasa penyesalan sama sekali. "Hanya karena hutang?" "Ya, karena hutang. Aku tidak mungkin mengorbankan rumah ini. Meskipun kecil tapi, rumah ini milik kami sendiri. Jika rumah ini diambil orang, kami mau tinggal di mana?!" "Kau bisa meminjam pada majikanmu. Dari pada kau menjual anakmu sendiri!" seru Sundari mulai emosi. Sulastri bangkit berdiri dan langsung menuding Sundari. "Kau ini siapa? Bukan siapa-siapa! Lebih baik kau pergi bersama anak pembawa malapetaka ini." "Aku memang bukan siapa-siapa. Tapi, aku jauh lebih baik dari pada kau!" "Jadi, mau kalian sebenarnya apa?! Menghakimi diriku?" "Aku hanya ingin bertanya, bu. Kenapa Ibu tega menjual anak Ibu sendiri? Kenapa Ibu dengan tega merusak masa depan anak Ibu sendiri? Apa salahku, Bu?" Sulastri menatap Kartika dengan tajam. "Kau mau tau salahmu? Karena kau anak 'HARAM'! Kau anak yang lahir tanpa diinginkan. Bapakmu itu dulu sudah menghamili diriku! Membuat aku terusir dari rumah. Masih untung pada akhirnya kedua orang tuaku mau mengakuiku kembali. Dan, itu karena Agung! Jika bukan karena Agung lahir, tentu aku tidak akan memiliki rumah ini. Jadi, kehadiranmu itu hanya membawa malapetaka! Bapakmu mungkin mencintaimu dan menyayangi dirimu karena gara-gara kau tumbuh di rahim ku dia bisa memiliki diriku. Seharusnya aku bisa mendapat pria yang jauh lebih baik dari pada Bapakmu yang tidak berguna itu! Sekarang, kau tau kenapa aku begitu membenci dirimu?! Sekarang, kau pergi dari sini. Jangan pernah kembali lagi. Aku tidak peduli kau mau tinggal di mana, mau menjadi w************n atau kupu-kupu malam sekalipun, aku tidak peduli!" teriak Sulastri. Bruaaak... Tiba-tiba pintu rumah Sulastri terbuka, dan Aminah berdiri sambil menatap Sulastri tajam. "Jadi, selama ini kau bohong?! Kau bilang Kartika kabur dari rumah, padahal nyatanya kau sudah membuangnya. Bahkan kau sudah menjualnya? Kau benar-benar manusia tidak punya hati! Ibu macam apa kau ini?!" seru Aminah. Kartika hanya menangis tersedu mendengar perkataan Sulastri. Ia menoleh pada Ibu Aminah dan memeluknya. "Sudah, Bu. Memang Ibu tidak pernah mencintai Kartika. Biarkan Kartika pergi. Bukankah selama ini, Ibu sudah mengatakan pada orang-orang bahwa Kartika kabur? Kartika tidak apa-apa, Bu. Sekarang, saya pamit. Terimakasih sudah mau melahirkan dan membesarkan saya, Bu. Jika memang Ibu tidak mau lagi menganggap saya anak. Baiklah, saya pergi. Anggap saja, saya tidak pernah ada dan tidak pernah Ibu lahirkan. Jika suatu hari kita bertemu lagi, di mana pun, tidak perlu saling bertegur sapa. Saya pamit, Bu." Kartika pun segera menarik tangan Sundari dan melangkah keluar dari rumah itu. Meninggalkan Sulastri dan juga Aminah. Kartika benar-benar merasa hancur sehancur-hancurnya. Tadinya, ia membayangkan bahwa Sulastri akan memeluk dan meminta maaf kepadanya. Atau setidaknya menanyakan bagaimana kabarnya. Apakah Sania memperlakukan dia dengan baik atau tidak. Tapi, semua itu hanyalah angan-angan belaka. Di dalam taksi, Kartika hanya menangis memeluk Sundari dengan sedih. "Ibu akan memjagamu dengan baik, Kartika. Kau boleh menganggapku sebagai Ibumu sendiri. Aku sudah pernah mengatakan hal itu, bukan? Lupakanlah semuanya. Aku akan selalu menjagamu."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN