BAB 2

1329 Kata
"Are you good?" Aku mengangguk sambil memijat kepalaku yang berdenyut nyeri dan aku masih bingung kenapa aku bisa ada di atas kasur ini. "Kamu terlalu terbawa suasana, Sayang. Apa kamu menulis atau memikirkan sebuah plot sampai menangis?" Aku mengerutkan kening. Plot? "Tadi malam ..." Mas Roy mendekat dan memberikan segelas air hangat yang dia ambil dari meja sofa di kamar kami. "Pas aku sampe kamu tertidur pulas di sofa ruang kerjamu dan kayaknya kamu habis nangis karena muka kamu itu sembab. Kenapa? Apa ada ide yang baru?" Oh begitu toh, Jadi, dia yang angkat aku ke kamar? Aku meneguk habis air hangat yang dia berikan dan mengembalikan gelas kosong itu padanya. "Jam berapa kamu balik tadi malam?" Aku bertanya sambil berpura-pura merapikan rambutku tetapi sudut mataku menatapnya tajam. "Jam dua. Maaf yah, kami lupa waktu," jawabnya enteng tanpa rasa bersalah di raut wajahnya. Apa dia benar-benar tidak merasa bersalah sudah main di belakangku? "Apa kalian bersenang-senang?" "Hmmm!" Aku meremas ujung selimut di perutku. Bersenang senang yang aku maksud adalah sesuatu yang sedap antara suami dan istri. Hatiku terasa tercubit. Aku memaksakan senyumku lalu aku bangkit dari kasur. Aku meninggalkan mas Roy di kamar dan aku menyiapkan sarapan kami. Aku menahan mulutku karena aku tidak mau ada pertengkaran dan dia meninggalkan aku. Aku belum sanggup menjadi janda di usia ini. Yang harus aku lakukan sekarang, aku harus tahu sudah berapa lama dia mengkhianati aku dan apa motifnya. Yang paling penting, siapa orangnya. Aku harus sabar dan pura pura tidak sedang terluka sekarang. Aku menghela nafas berat lalu aku memfokuskan diriku. Aku menyiapkan sarapan dengan cepat dan langsung kembali ke kamar untuk membantu suamiku mempersiapkan segalanya. "Maaas, udah siap belum?" teriakku sengaja dan benar saja aku mendengar suamiku langsung buru buru menutup panggilan telepon. Hah, Melihat itu, aku yakin selama ini dia sudah melakukan itu dan aku tidak menyadarinya. "Pakai yang ini aja yah, biar matching," pintaku seraya meletakkan kemeja blue ice yang di padukan dengan celana kain hitam pekat dan dasi dark blue. Cup Aku merasakan kecupan di puncak kepalaku dan aku menghirup wangi sabun kami menguar dari tubuh suamiku yang masih sedikit lembab. "Kamu memang yang terbaik!" pujinya setelah aku selesai mengancingkan kemeja. Aku tersenyum dan mulai bergerak untuk memasang dasinya. Saat sedang melakukan ini, aku berpikir, apa yang kurang dariku sehingga suamiku memilih untuk selingkuh? Pelayanan selalu aku nomor satukan dan bagian ranjang juga tidak pernah ketinggalan. Aku tidak pernah malu malu menerkamnya bahkan aku sering meminta di perlakukan seperti ini dan itu. Apa ya kira-kira. Aku benar-benar penasaran. "Aku pulang telat hari ini, kalau tidak sanggup menunggu, tidurlah duluan ya!" Lagi? Apa mereka akan bersenang senang lagi malam ini? Bukan kah tadi malam sudah? "Hmm, apa kalian ada proyek baru lagi?" "Tidak, yang sedang berjalan masih ada dan sedang di pacu. Customer minta percepatan waktu." "Baiklah. Sayang, ingat apa pesanku yah!" Dia mengangguk. "Don't work too much. Go to sleep earlier!" ujarnya. Lalu kami berjalan bersama ke ruang makan untuk sarapan bersama. Aku selalu mengingatkannya bahwa dia beruntung bekerja di perusahan bonafit dan proyeknya lancar lancar selalu jadi harus bersyukur. Jangan pernah mengambil yang bukan haknya bahkan sekecil apapun karena semua berawal dari yang kecil. Aku juga selalu mengingatkannya agar dia tidak iri dengan pencapaian orang lain tetapi menjadikan itu suatu motivasi agar dia bisa mengembangkan dirinya sendiri. Inilah juga pesan orang tuaku pada kami anak-anaknya karena apa yang kita tanam itulah yang akan kita tuai nanti. **** "He cheated at me!" Aku sedang duduk di kursi balkon apartemen temanku Lizzy. Secangkir espresso hangat di tanganku dan aku baru saja menyesapnya sedikit. "What? Who?" "Roy, dia selingkuh, lagi!" Hahahaha Lizzy tertawa terpingkal-pingkal karena mengira aku sedang bercanda. "Selingkuh? Kamu di selingkuhi lagi? What the fvck!" ujarnya setelah melihat aku mengangguk. Dia bahkan sampai melemparkan cangkir kopinya karena kaget mendengar berita dariku dan lebih kaget lagi melihat aku yang begitu santainya saat memberitahu. "Gila si Roy. Nggak tahu diri bangat dia tuh, cih!" Sejak dulu saat kami masih berpacaran, Lizzy memang tidak menyukai Roy tapi dia tidak ngotot melarang aku berpacaran dengan Roy hanya saja dia mengingatkan aku supaya tidak mencintai seseorang dengan begitu dalam agar tidak sakit hati jika nanti hubungan berakhir buruk. "Aku tidak tahu siapa dan aku sangat penasaran. Tadi malam, dia bercinta dengan perempuan itu sampai puas. Dia pulang ke rumah jam dua pagi dan nanti malam mereka pasti akan bercinta lagi karena dia sudah izin pulang telat nanti malam." Suaraku bergetar saat aku mengatakannya tapi air mataku tidak keluar lagi. Detik kemudian aku merasakan usapan di punggung tanganku yang terkepal erat. Lalu tubuhku sudah berada di pelukan Lizzy. Aku menangis meraung di punggungnya menumpahkan kekalutan dan kesedihanku. Tidak tahan ketika seseorang memberikan aku support. Pertahan rapuh yang melindungi aku tadi lenyap seketika. "Apa kurangku, Liz?" "Stttt! Tidak ada yang kurang dari kamu. Dia saja yang brengseek dan tidak tahu bersyukur." Siang itu, aku menceritakan semuanya pada Lizzy. Sejak kapan aku tahu dan apa yang aku dengar. Dia sangat marah tapi dia tidak mau berbuat terlalu jauh karena aku melarangnya. Lizzy bukan perempuan sembarangan, dia tidak takut jeruji besi asalkan gejolak di hatinya bisa dia tuntaskan. Dia tidak akan berpikir dua kali menonjok wajah seseorang yang dia anggap sudah bersalah dan berbuat semena-mena padanya. Makanya itu, aku melarangnya menemui Roy karena aku takut dia lepas kendali nanti. "Jangan menangis. Let's find out siapa perempuan itu dan sudah dimulai sejak kapan hubungan mereka. Gue akan support kamu for what will you do." Aku mengangguk dan menyedot naik ingusku yang hampir bleber seraya mengusap wajah dengan jari lentikku yang sungguh terawat. "Show him bahwa loe perempuan mahal yang bisa berdiri without him." Aku mengangguk mengerti dan memang itulah yang akan aku lakukan sejak aku mengetahui bahwa aku di selingkuhi. Tapi,.... "Please, Li. Tolong jangan tunjukkan dirimu yang sangat fall in love padanya. Jangan lagi bucin dan mau memaafkannya. You deserve better man than Roy clunguk itu. Ihhh!" Dia geram sendiri dan meninju angin untuk meluapkan kekesalannya pada suamiku dan mungkin padaku karena ku yang sangat bucin ini. Aku yang selalu bilang padanya dan teman dekatku yang lain bahwa i can't live without my husband. Dan kalimat itu selalu membuat mereka mual dan memilih untuk tidak membahas masalah pasangan ketika kami face to face atau online video gruop. "Gue dari awal udah pernah ngomong sama loe, Li. He's not a good man tapi loe bucin parah sama dia. Entah apa yang loe sukai dari dia sampe-sampe loe kayak orang g!la. Kaya nggak, ganteng apalagi. Oh my God, Gue sampe nggak bisa berkata-kata lagi sekarang saking kesalnya. Makin nggak suka gue liat laki loe, Uliiii." Aku yang tengah sedih akhirnya tertawa melihat dia yang panas tapi tidak berapi. Dia mengumpati suamiku tanpa segan lagi di depanku. Mengatainya kurang bersyukur dan menyumpahinya akan dapat karma setimpal dari apa yang dia lakukan padaku. "You wrong, Besti!" ujarku di sela tawa. Nggak peduli dia akan marah abis ini, "Dia ganteng kok! Sangat malah!" Tawaku semakin pecah kala melihat Lizzy hampir muntah saat baru saja mendengar pujianku terhadap suamiku. "Fix. Loe buta, Li!" Aku harus bersyukur karena punya teman yang begitu care padaku. Yang mau mendengar keluh kesah dan sering memberikan masukan padaku mengenai banyak hal. Lizzy memang punya pengalaman hidup yang lebih banyak dari aku. Dia berasal dari keluarga kaya yang punya usaha di bidang properti. Bakat bisnis ayahnya menurun padanya dan sekarang dia melakoni bisnis properti bersaing dengan perusahaan ayahnya. Selain itu, dia juga punya resort di labuan bajo dan raja ampat dan sekarang sedang proses pembangunan di danau toba dan juga sabang. Walau dia terang-terangan melawan ayahnya dalam berbisnis dan seperti mush tapi saling menyayangi, papanya justru melawan balik bahkan semakin gencar ingin menginjak Lizzy dan bisnisnya. Tapi teman, itu adalah salah satu cara yang di miliki papanya untuk mendukungnya. Jauh di lubuk hatinya, beliau memuji Lizzy. Aku menatap layar lcd led televisi di unit Lizzy sambil berkata dengan pelan. "I hope she is not come from our circle. Aku punya firasat buruk sejak aku mendengar suaranya tadi malam."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN