****
Tring
Aku mengalihkan perhatianku dari layar ponselku saat aku mendengar bunyi notifikasi di ponsel mas Roy.
Entah keinginan dari mana, aku menggeser bokongku agar aku dapat meraih ponsel yang berada di atas nakas itu.
Emily CPT
Yup, nanti jam 2.
Jangan lupa di tempat biasa.
Begitu isi pesannya yang bisa aku baca dari pop up pesan karena aku tidak membuka ponsel mas Roy yang terkunci.
Aku mengembalikan ponsel itu ke tempat semula tanpa ada kecurigaan.
Emily adalah kenalanku dan aku yang merekomendasikannya bekerja di perusahaan kenalanku juga, CPT.
"Good morning, honey!"
Mas Roy keluar dari kamar mandi dengan handuk melilit di pinggangnya.
Pemandangan seperti ini menjadi surga bagiku di pagi hari karena tubuh atletisnya yang menindihku di malam hari sebelumnya bisa aku lihat dengan jelas. Bulir bulir air dari rambutnya yang setengah kering menambah pesonanya.
'Oh Tuhan, betapa aku mencintai pria ini. Thanks sudah menjodohkan aku dengannya,' begitulah aku bicara dalam hati setiap kali aku mengagumi suamiku itu.
"Breath, honey! Kamu kayak belum pernah lihat ini sebelumnya."
Aku tertawa karena tertular dari tawa suamiku yang mengejek kebiasaanku hampir setiap pagi.
Dia tahu apa yang aku kagumi karena dulu aku sering mengucapkannya makanya dia membuat itu jadi bahan candaan untuk mengejekku.
"You are awesome. Aku nggak bisa menahan tanganku untuk tidak menyentuhnya like this. Raaauurrr!"
Aku memperagakan singa betina yang hendak menerkam musuh dan itu membuat kami semakin tertawa. Sungguh pagi yang ceria dan harmonis.
Jika pagi hari berjalan ceria seperti ini, rejeki pasti mengalir dengan ceria juga.
"With my pleasure, my lady!" Ujarnya seraya mendekat dan kami bergulat di atas ranjang sambil cekikikan.
Indahnya ya Tuhan!
Kehidupan seperti ini yang aku impikan. Damai, ceria dan penuh dengan kasih sayang.
Nikmat mana lagi yang aku dustakan kalau punya suami tampan, setia dan yang mencintaiku ada di sisiku.
But,
Itu dulu.
Sekarang, aku bahkan sering bertanya pada Tuhanku. Kenapa Dia menjodohkan aku dengan lelaki tidak setia seperti Roy.
Apa yang kurang dariku selama ini? Apa doa yang dulu aku lantunkan setiap hari tidak begitu spesifik? Apa segala hal yang baik yang aku perbuat dalam kehidupan ini masih kurang?
"Cukup! Pake baju kamu. Ntar kamu terlambat. Katamu tadi malam mau ada meeting hari ini."
Aku mendorong bahu mas Roy dengan pelan ketika dia hampir kebablasan.
"Hmm, aku hampir lupa. Weekend seperti ini enaknya me time bareng kesayangan aku, tapi malah di ajak rapat."
Dia menjatuhkan kepalanya di sisiku.
Aku menyentuh rahangnya yang kasar lalu menepuk pelan rahang itu tiga kali.
"Jangan sia siakan kesempatan hanya untuk sesuatu yang bisa kamu dapatkan kapan saja. Ini kesempatan buat kamu untuk nunjukin loyalitas kamu biar ntar pak Leon tidak berpikir dua kali naikkan jabatan kamu."
Dia berdecak tidak suka. Sejak dulu, dia tipe orang yang 'terserah padaku', dia sangat anti dengan penjilat. Tapi, kemudian aku menjelaskan padanya, "Tidak salah menjadi penjilat tapi harus di barengi dengan kemampuan yang di ada di atas orang lain. Dengan begitu, ketika kamu mendapatkan sesuatu, orang lain tidak mencibir tapi memuji dan berkata 'emang dia layak sih'. Lagian, jaman sekarang, di semua pekerjaan di perlukaan lidah yang manis agar kita bisa naik satu anak tangga."
Awalnya dia tidak setuju denganku tapi setelah melihat sendiri rekan rekannya dan juga mendengar ceritaku sebagai alasan tambahan aku berhenti kerja di perusahaan, dia mulai mengikuti pelan pelan seraya menaikkan value dirinya.
Dan benar, empat tahun bekerja di perusahaan, dia sudah di angkat menjadi asisten kepala proyek.
"Ck, entah kenapa aku ingin sekali pak Leon di mutasi. Matanya seolah olah tertutup melihat hasil kerjaku. Setiap kali rapat hanya nama Daniel yang dia sebut sebut padahal semua orang tahu, walau Daniel kepala proyek, tapi kontribusiku yang paling besar disana."
Aku mengusap lengannya seraya tersenyum, "Sabar aja. Kamu udah termasuk cepat loh progress posisinya di kantor. Kan waktu masuk disana juga kamu non pengalaman."
Dulu dia bekerja di bank swasta atas rekomendasi orang tuanya lalu pindah dan bekerja pada temannya yang buka usaha start up padahal lulusan teknik sipil. Setelah berpacaran denganku, aku turut membantunya mencari pekerjaan yang sesuai dengan keahliannya dan akhirnya dia bisa bekerja di perusahaan yang sekarang karena aku minta bantuan pada Leon.
Di mulai dari nol dan aku terus mensupportnya hingga sekarang dia bisa menjadi asisten kepala proyek. Sesekali dia sudah di percaya untuk handle penuh sebuah proyek besar atau kecil.
Membanggakan memang.
Aku bersyukur untuk itu.
.
.
Karena ini hari Sabtu yang biasanya mas Roy libur, aku jadi sedikit santai.
Aku tidak harus bangun pagi untuk menyediakan sarapannya.
"Sayang, kita ke mall yuk!"
Aku mengerutkan kening saat melihat dia datang ke meja makan dengan pakaian rumahan. Dia tidak mengenakan pakaian semi formal yang aku sediakan tadi.
"Mall? Bukannya kamu mau meeting, Mas?"
"Cancel."
Aku semakin mengerutkan keningku. Masa cancel di last minute? Nggak masuk akal dong, ini kayak nggak menghargai lawan meeting loh. Gimana kalau yang jauh rumahnya udah berangkat dan tiba-tiba dapat notif 'meeting di cancel'.
Kan bisa buat darah tinggi.
"Maksudku, di undur jadi ke jam dua. Ini baru ada notifnya."
Aku mengangguk dan tiba-tiba pikiranku ke pesan Emily tadi. Apa sekarang perusahaan mas Roy sedang kerja sama dengan CPT?
"Mas, kamu mau meeting dengan orang C ... PT?"
Suaraku mengecil di akhir saat aku lihat tangan mas Roy menginterupsi karena ada panggilan masuk di ponselnya. Dia menggeser tombol hijau dan menjauh dariku saat menerima panggilan itu.
Satu kejanggalan lagi.
Dulu, tidak masalah dia menjawab panggilan bahkan ketika dia sedang memelukku. Kadang dia juga hanya menggeser tombol hijau dan mengaktifkan speaker sementara ponsel di atas meja.
Aku bisa mendengar dia sedang membahas apa dengan lawan bicaranya.
Tapi, setelah aku ingat-ingat lagi, itu sudah lama. Akhir-akhir ini, dia memang selalu menjawab panggilan di jarak beberapa meter denganku.
Sial sekali, aku tidak sempat membaca siapa nama pemanggil tadi.
Sambil mengoles selai, aku melihat mas Roy mengangguk dan sesekali tertawa saat berbicara di sambungan telepon.
Akrab sekali sepertinya.
Dia seperti lupa waktu dan lupa keberadaanku.
Wajahnya berseri.
Aku mengepalkan tanganku ketika aku tiba-tiba menebak bahwa yang sedang menelepon itu adalah perempuan si creamy pvssy itu.
Berani sekali mereka mengobrol akrab ketika aku ada di dekatnya. Apa mereka sungguh tidak menghargai aku lagi?
Roti di tanganku sudah penuh dengan selai sampai bleber ke tanganku dan itu menyadarkan aku. Aku berdehem pelan dan merapikan kekacauan yang aku lakukan.
Aku meletakkan roti itu di atas piring dan sumpah, selera makanku sudah hilang.
Detak jantungku tidak aman lagi karena pikiranku sedang kacau.
Aku langsung menetralkan wajahku setelah mendengar langkah mendekat dan benar, dua detik kemudian satu kecupan mendarat di kepalaku.
"Itu mantan klien. Dia berterima kasih karena hasil kerja kami benar-benar bagus dan sesuai seleranya. Dia mengajakku makan siang karena dia tahu ini weekend. Aku bilang padanya, weekend adalah waktu bersama keluarga. Dia memujiku dan bilang kamu beruntung punya suami yang bisa meluangkan waktu berduaan di akhir pekan."
Holah,
Kejanggalan lagi.
Aku tidak bertanya tapi dia langsung menjelaskan dengan panjang lebar dan begitu lancar.
I know you lied to me, Roy!
Mata tidak bisa berbohong. Aku tahu dia sedang berbohong karena ketika bicara bola matanya tidak tenang dan dia sering berkedip seolah-olah menutupi kegugupan. Dia juga menggaruk-garuk hidungnya.
"Good for you! Itu nilai lebih, berarti kerjaan kamu benar-benar bagus. Mudah-mudahan dia kasih ulasan yang bagus ke kantor dan menyebut nama kamu."
Dia tersenyum lalu mengambil satu slice roti oles yang sudah aku sediakan. Dia memakannya seperti orang yang tertekan batin. Aku tahu kenapa, karena dia merasa dia berhasil membohongiku.
****
Mall adalah pilihan termudah bagi kita untuk menghabiskan waktu.
Tidak terasa, ternyata sudah hampir tiga jam kami keliling mall satu toko ke toko yang lain dan hanya membeli beberapa saja.
"Benar kamu nggak apa-apa naik taksi?" tanya mas Roy ketika dia mengantarku ke pelataran mall untuk mencari taksi yang sedang mangkal.
"Nggak apa-apa. Ntar kamu telat lagi kalau harus antar aku pulang. Mending kamu langsung ke kantor aja. Aku pulang sendiri nggak apa-apa."
Wasting time bangat kalau dia harus bolak balik ke rumah terus ke kantor padahal aku jelas tahu bahwa itu adalah arah yang berbeda.
Aku tidak mau dia terlambat meeting hanya karena pulang ke rumah sementara aku bisa naik taksi sebagai solusi untuk menghindari keterlambatan.
"Ya udah, hati-hati ya, Honey. I'll get home soon!"
Aku mengangguk dan melambai padanya. Lalu saat hendak masuk ke dalam taksi aku teringat dengan kue yang ada di tanganku.
"Sayang!" panggilku.
Dia yang setengah berlari berhenti dan menoleh padaku.
"Tolong berikan ini ke pak Mulyadi."
Aku menyodorkan kue itu. Pak Mulyadi adalah sekuriti di kantornya yang aku tahu tetap masuk di hari Sabtu.
"Tapi, kami meeting nggak di kantor, Honey!"
Loh, bukannya kemarin malam dia bilang meeting di kantor karena ada proyek yang mendesak?
Kenapa sekarang beda.
"Jadi?"
"Hotel Lexus. Beda arah dengan kantor."