Aku masuk ke kamar menutup pintu rapat . Aku hembuskan kasar nafasku masih teringat jelas kemarin saat melihat Riana terbujur kaku di kamar ini .
Aku ambil buku Riana dan membukanya .
Untuk apa Riana menyimpannya di Kamar Edo?.
Aku sangat penasaran dengan isi dari diary Riana. Bukunya sangat tebal dan sedikit usang.
Aku membuka lembar pertama.
Minggu, 24 April 2009.
Namanya Jovan.
Hari ini aku pulang, mengantarkan pesanan baju.
Sengaja saat pulang aku mampir ke masjid dekat kampus terbesar di Kota Malang.
Setelah selesai sholat dan hendak keluar dari Masjid tanpa sengaja aku menabrak pemuda. MasyaAllah orangnya begitu tampan. Kami berkenalan dan namanya Jovan, seorang mahasiswa fakultas Hukum di kampus ini. Degup jantungku saat pertama kali bertemu dengannya seperti genderang. Apa aku jatuh cinta?.
Aku tersenyum membaca isi diary Riana, ternyata dia sama sepertiku, yang jatuh cinta pada pandang pertama saat kami berjumpa di masjid.
Aku membuka kembali lembaran diary Riana.
Lembar kedua.
Selasa, 6 Juli 2009
Dia meminang ku
Semakin hari aku dan Jovan semakin dekat meski tak pernah ada istilah pacaran. Kami intens berkomunikasi. Sore ini dia menjemput aku di salah satu rumah pelanggan, karena ada hal yang ingin dia bicarakan.
Saat sampai di rumah aku mempersilakannya masuk. Kedua orang tua ku menyambutnya dengan baik, meski mereka terheran karena tak pernah sekalipun aku membawa seorang pria ke rumah.
Alangkah mengejutkannya Jovan ternyata langsung melamar ku langsung di hadapan kedua orang tuaku. Aku syok jujur tak pernah terfikir jika dia serius dengan hubungan kami yang sebatas sahabat.
Aku kembali teringat kala itu aku meminang Riana.
Aku telah mengumpulkan uang selama tiga bulan, yah aku diam-diam bekerja sebagai pelayan di sebuah resto.
Gaji yang aku dapatkan aku sisihkan meski sangat capek, tapi demi keseriusan ku dan pembuktian rasa cintaku kepada Riana.
Kala itu aku di gaji sebesar dua juta rupiah setiap bulan, satu juta rupiah
Akuu sisihkan untuk meminang Riana. Setelah mendapat uang sebesar enam juta rupiah aku bertekad meminang Riana. Dengan modal cincin seberat satu gram, dan uang mahar satu juta rupiah aku memantapkan hati untuk menemui ayah Riana.
Nekat yahh itu satu-satunya kata yang cocok denganku saat itu. Aku tak peduli jika pada akhirnya akan di tolak bahkan di usir oleh kedua orang tua Riana.
"Assalamualaikum Pak, perkenalkan nama saya Jovan teman Riana!" ucapku kala itu, memperkenalkan diri kepada ayah Riana.
Jabatan tanganku di terima dengan ramah oleh ayah Riana, aku tak menyangka ternyata keluarga Riana begitu supel dan ramah.
"Wa'alaikumsalam Le, nama Bapak Hasan, Monggo duduk Le!" balas Ayah Riana.
"Nggeh, Pak matur nuwun," aku pun duduk di seberang ayah Riana.
Suasana sangat canggung, meski ayah Riana sangat ramah tapi rasa gugup, seolah membungkam mulutku.
"Kamu, sudah kenal lama dengan Riana, Le?" tanya pria paruh baya yang penuh karismatik itu.
"Belum Pak, baru tiga bulan," balasku. Pria berkulit sawo matang itu hanya manggut-manggut.
"Apa kamu serius akan menikahi anak saya? " cecar Ayah Riana.
Saat itu jantungku seakan mau copot, takut, gugup tapi nyaliku tak boleh ciut, dengan ucapan Basmallah dalam hati aku mantapkan menjawab pertanyaan Ayah Riana.
"Iya Pak, saya sudah mantap untuk menikahi Riana, putri Bapak!" jawabku mantap.
"Bagus, bawalah kedua orang tuamu secepatnya kemari, Bapak menerima lamaranmu!" jawaban dari Ayah Riana. Seolah mengangkat batu besar yang menghimpit di dadaku. Bahagia, bersyukur hanya itu yang aku rasakan saat itu.
"Jovan ... Jovan ... !"panggilan Mas Danu, membuyarkan lamunanku. Aku tutup kembali diary milik Riana.
"Iya , Mas , sebentar!" aku keluar dari kamar dan menemui Mas Danu. Saat membuka pintu Mas Danu sudah berada di ambang pintu.
"Kita bicara di kamarmu saja, Van! " Mas Danu lalu masuk.
"Ada apa, Mas?" tanya ku penasaran.
"Jovan, Seberapa lama kamu mendua di belakang Riana ?" tanya Mas Danu, bagai petir yang menyambar di relung hatiku.
Ternyata Riana dan keluarganya tahu kalau aku selingkuh. Akan tetapi bagaimana bisa ?. Begitu pertanyaan di benakku.
Tak habis fikir hubungan yang menurutku hanya iseng membawa petaka sebegitu besar.
"Mas Danu, tahu dari siapa ? " tanya ku gugup.
"Riana, dia yang mengatakannya, tapi kamu tahu Jovan, Riana bahkan tetap membelamu saat aku ingin menghajar mu kala itu?", balas Mas Danu, ada sorot kemarahan di mata Mas Danu.
Aku pun tak mau mengelak, karena memang aku salah disini.
"Maafkan aku Mas, aku memang salah dan bodoh," sesalku.
"Aku tak perlu kata maaf darimu, asal kamu tahu, Jovan, Riana sakit kangker rahim sudah sejak satu tahun lalu!".
"Astagfirullah!" seruku.
Aku bahkan tak tahu menahu tentang sakitnya Riana. Pantas dia sangat kesakitan saat akan datang bulan. Istriku, akan sangat kesakitan jika datang bulan, aku fikir itu hal biasa namun Riana betul sakit.
Kenapa dia menyembunyikannya dariku?. Apa mungkin karena sikapku?. Aku terlalu cuek kepada keluargaku sendiri.
"Kamu pasti bertanya kenapa dia menyembunyikan penyakitnya?" aku mengangguk ragu.
"Dia begitu mencintaimu dan anak-anak, bahkan saat Riana tahu kamu berselingkuh di belakangnya, dia tak pernah mengijinkan aku menghajar, Mu!" geram Mas Danu.
Aku tertunduk menghadapi kemarahan dari lelaki bermata tajam itu.
Aku menyesal, aku baru tahu jika Riana sakit, aku tak menyangka Riana tahu tentang hubungan gelap ku dengan Nita.
Nita adalah sahabat Riana, wanita dengan gayanya yang centil itu di tolong Riana saat dia dianiaya suaminya. Saat itu Nita datang kerumah dengan wajah babak belur, dia mengaku jika suaminya lah pelakunya.
Riana yang memang tidak tega melihat orang lain susah, dengan lapang hati menerima Nita.
Selama beberapa hari Nita tinggal dirumah kami. Gaya centil Nita, membangkitkan gairahku, dia sering dengan sengaja menggodaku. Bahkan dia sering berpakaian sangat seksi saat di rumah. Lelaki mana yang tak tergoda jika di sodorkan hal seperti itu.
Riana sudah beberapa kali menegur tapi tak pernah di indahkan oleh Nita. Hingga terpaksa Riana menempatkannya di mess karyawan. Riana menempatkan Nita sebagai pekerja di butiknya.
"Aku benar-benar menyesal Mas, sungguh!" jawabku.
"Apa penyesalan Mu, bisa mengembalikan Riana, tidakkah kamu berfikir tentang anak-anakmu saat bersama dengan wanita itu ?" bentak Mas Danu.
Kilat amarah kini terpancar di matanya, aku hanya menunduk tak berani melihatnya.
Drrt ... drrt ... drrt
Ponselku bergetar, untuk sejenak perdebatan ku dan Mas Danu tertunda. Nita?, kenapa dia malah menghubungiku di saat seperti ini ?.
"Angkatlah, Van!" suara barito Mas Danu, mengagetkanku seolah tau akan keraguanku.
Terpaksa aku mengangkat telepon dari Nita.
"Hallo, Ada apa Nita?" tanyaku.
"Hallo, Mas dimana?" tanya Nita.
"Mas di rumah, baru saja pulang dari pemakaman Riana."
"Ada hal yang penting yang mau aku bicarakan Mas!"
"Ya sudah bilanglah, lewat telepon !" saranku.
"Tapi ... Mas, ini sangat penting tidak mungkin aku berbicara di telepon." jawabnya lagi, aku hanya menghela nafas.
Sifat Nita yang manja memang menjadi candu untukku, tapi untuk sifat egoisnya terkadang membuatku muak.
"Kamu tahu sendiri aku masih sibuk mengurus pemakaman Riana tadi siang!" geram ku kepada Nita.
Dia seperti anak kecil yang tidak diperolehnya apa yang dia mau.
"Hiks ... hiks ... hiks, Mas Jovan jahat, aku kan ngomongnya baik-baik, kenapa malah di marahin?" rengek Nita.
Aku menghela nafas, jengah rasanya entah sifat manjanya sekarang begitu menyebalkan menurutku.
"Ada apa sebenarnya, dan kamu sudah tidak usah menangis!" bentakanku.
Mas Danu yang berada di sampingku hanya diam. Dia hanya tersenyum sinis menatapku.