Jovan sang Penghianat

1191 Kata
“Kalian ini cengeng sekali, mau kalian nangis darah sekalipun Ibu kalian gak bakal hidup lagi!” hardik ibuku. Sehingga ketiga anakku ketakutan. Para pelayat menatap kearah kami, karena teriakan ibuku. “Sudah Bu, jangan membuat keributan! Ini hari berkabung malu di lihat orang,” lerai ku, karena jika dibiarkan ibu akan semakin menjadi. Saat jasad Riana sudah di kuburkan, aku dan ketiga anakku enggan beranjak dari pusara Riana. "Pah, apa Edo nakal ?" tanya si bungsu. Aku mengerutkan dahiku kala Edo yang berada di gendonganku bertanya. "Tidak sayang Edo anak papah yang soleh," pujiku. Aku mencoba menenangkan Edo, karena matanya sudah di penuhi air mata. Sedangkan Atik dan Fanya pun tak berhenti menangis sambil mengelus nisan dari ibunya. "Tapi kenapa mamah ninggalin Edo?mamah sering bilang, kalo Edo nakal, mamah ga mau bareng Edo lagi Pah," tangis Edo semakin pecah. Ironis memang kala Riana masih hidup dia sendiri yang berjuang mendidik ketiga anak kami. Aku teringat kala Edo berbuat nakal Riana akan bersikap tegas, dia tidak ingin anak-anaknya tumbuh menjadi orang yang egois dan arogan. Meskipun terkadang aku tak setuju dengan cara mendidik Riana yang menurutku terlalu tegas. "Husst ... tidak sayang, Allah lebih sayang mamah sehingga mamah harus kembali kepada Pencipta-Nya," tutur ku. "Berarti mamah masuk surga dong, Pah? " tanya anak bertubuh bongsor itu. "Insyaallah, Sayang," balasku. Aku lalu memeluk ketiga anak-anakku sudah lama sekali rasanya terakhir kali memeluk mereka setelah kelahiran Edo, sedangkan sekarang umur Edo enam tahun. Dulu Riana sering sekali memperingatkan ku untuk lebih memperhatikan ketiga anak kami tapi tak aku indahkan. Aku beralasan karena sibuk. Aku selalu berfikir uang akan bisa membeli segalanya. Akan tetapi pemikiranku salah karena anak-anak lebih membutuhkan pelukan hangat dan perhatian. Aku beruntung sekali karena memiliki istri sebaik Riana sehingga ketiga anakku tidak kekurangan kasih sayang. Sesalku karena aku membenci semua kebaikannya. Masih segar dalam ingatanku kala aku meminangnya dulu. Aku hanya membawa uang sebesar satu juta rupiah dan cincin seberat satu gram untuk melamarnya tapi dia begitu bahagia dan menerima pinanganku. Kedua orang tua Riana pun tak pernah mempermasalahkan tentang kondisiku saat itu yang masih miskin. Namun respon kedua orang tuaku sangat berbeda mereka keberatan dengan pernikahanku dan Riana. Mereka menganggap pernikahan kami nantinya akan menjadi beban mereka. Padahal tidak sepeserpun aku meminta uang kepada mereka. Aku bekerja paruh waktu selama tiga bulan demi bisa menabung untuk acara pernikahan kami. Pernikahan kami berjalan dengan sangat sederhana. Tidak ada resepsi mewah, hanya selamatan sederhana yang mengundang tetangga terdekat. Aku dan Riana saat itu memakai kebaya dan jas yang di pinjami Bibi Hana, Bibinya Riana yang kebetulan memiliki jasa rias pengantin. Dekor sederhana pun sumbangan darinya. Meski hanya riasan sederhana Riana begitu cantik, sungguh aku terpesona dengan kecantikannya saat itu. Kulit putih, tinggi semampai, dan bibir tipis nya yang paling aku suka. Kebaya putih yang membalut tubuh indahnya menambah keanggunan dalam dirinya. Aku tak berkedip melihat sosok bidadari surga yang sebentar lagi aku miliki. Akhh Riana sungguh kamu makhluk terindah yang pernah aku lihat. "Hei, Jovan ... Jovan ...! " teriak Ibuku. Plak ... plak ... Pukulan ibu di lengan ku. "Aduh ... apaan si Bu? sakit tahu!" teriak ku. Pukulan dari ibuku membuyarkan lamunanku. “Kamu itu dari tadi melamun terus, lihat anak-anakmu, mereka sudah terlelap” Aku melihat Edo dan Fanya sudah tertidur di pelukanku. Mata sembab mereka membuatku trenyuh, terutama Edo dia sangat dekat dengan mendiang Riana. "Atik kemana, Bu?" tanyaku. Namun ibu tak menjawab pertanyaan ku. Begitu lah ibuku dia tak pernah menyukai Riana bahkan ketiga anak kami yang notabene cucu kandungnya. Ibuku menganggap Riana yang menguasai gajiku sebagai Pengacara terkenal di kota ini. Padahal sekalipun Riana tak pernah meminta uang dariku bahkan sebaliknya aku lebih sering meminta uang darinya karena sebagian besar gajiku aku berikan kepada Ibu dan Nita -wanita yang aku pacari di belakang Riana-. Aku menggendong Edo untuk di bawa pulang, sudah terlalu lama kami di makam ini. Aku di bantu Mas Danu yang menggendong Fanya. "Jovan, setelah sampai rumah mas mau bicara empat mata denganmu!" ucap Mas Danu. Suara barito Mas Danu memecah keheningan yang tercipta sejak tadi. Mas Danu yang selalu bersikap dingin berbanding terbalik dengan sikap Riana yang ceria dan supel. Diusiannya yang menginjak empat puluh tahun mas Danu belum menemukan istri yang tepat untuknya. Padalah dia tergolong pengusaha sukses di kota Malang saat ini. Usaha pengolahan minuman sari apel yang dia rintis sejah sepuluh tahun yang lalu kini menunjukan kemajuan yang signifikan. "Baiklah, Mas!" balasku singkat. Aku memang sangat segan dengan Kakak dari Riana ini. Dia begitu berwibawa dan sedikit garang. Setelah sepuluh menit berjalan kaki, kami sampai di depan rumah. Kami langsung di sambut Ibu dan Bapak mertuaku. "Oalah Le, anak-anak pada tidur to? cepat bawa masuk Le! ganti dulu baju mereka biar tidurnya nyaman!" perintah ibu mertuaku. Baju kami memang kotor terkena tanah saat di makam tadi. "Iya Bu, kami masuk dulu ya, Bu! balasku. Aku membawa Edo ke kamarnya. Sedangkan Mas Danu juga membawa Fanya ke kamar Fanya sendiri. Saat aku membuka lemari pakaian Edo tanpa sengaja aku menemukan buku yang lumayan tebal. Aku mengerutkan dahiku belum pernah aku tahu tentang buku ini. Aku simpan buku itu dan melanjutkan mengganti baju Edo. Setelah selesai mengganti baju Edo aku mengambil buku itu dan membawanya ke kamarku dan Riana. Aku menarik nafas panjang kala membuka pintu kamar, dadaku terasa sesak kala masuk, air mataku menetes. Setiap masuk kamar yang teringat dalam benakku adalah tubuh Riana yang terbujur kaku di lantai dengan tubuh basah kuyup. Aku menyesal karena tak mengindahkan permintaannya untuk menjemputnya kala itu, karena terlalu asik bercinta dengan Nita. Permintaan sederhana namun aku menolaknya dengan alasan sibuk. Andai aku tahu jika akan berakibat kematian Riana tentu aku akan langsung menjemputnya. Aku menemukan Riana terbujur kaku dengan bibir membiru dengan pakaian yang masih ia kenakan saat ke butik pagi tadi. Tengah malam dia menelepon ku saat itu hujan sangat deras. Tut ... Tut... Ponsel ku berbunyi kala aku sedang memacu tubuh Nita, aku kungkung tubuh mungilnya. "Akhh ... Mas ponsel mu akhh ... akhh bunyi, Mas!" protes Nita. Aku tak mengindahkannya. Namun suara ponsel yang begitu berisik membuat aku terpaksa mengangkat telepon dari Riana. "Ada apa sih Ri? kamu itu mengganggu saja!" hardikku . Aku yang kadung kesal langsung mengomel kepada Riana. "Ma...s, tolong jemput aku!" mohon Riana. Suara Riana bergetar, ada apa sebenarnya?. Namun aku sangat enggan menjemputnya karena aku belum mencapai puncakku. "Kenapa tidak memakai taksi sih, Ri?" balasku. Enggan rasanya berlama-lama berbicara dengannya. "Aku sudah memesan taksi, Mas namun tak ada satu pun yang menerima pesananku, mungkin karena hujan deras sekali Mas , aku mohon jemput aku, Mas!" mohon Riana lagi. "Akhh Kamu itu merepotkan sekali, pokonya mas ga bisa jemput Kamu titik! " hardikku. Aku yang terlanjur emosi tak mengindahkan permintaan Riana dan mematikan ponselku agar tak ada lagi yang menggangguku dan Nita. Aku melanjutkan melampiaskan hasratku kepada Nita dengan brutal, yah aku memang sudah bosan dengan Riana karena dia selalu monoton saat bercinta, tidak seperti Nita yang sangat agresif saat di ranjang. Desahan Nita membakar gairahku. Goyangan yang yahud selalu bisa memuaskan aku. Aku tak peduli dengan Riana mau dia pulang jalan kaki mau naik ojeg aku tak peduli. Aku memacu tubuh Nita hingga pagi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN