Pemakaman Edo

1008 Kata
"Innalilahi wainnailaihi rojiun." sayup-sayup terdengar suara dari masjid. Suara yang membuat aku trauma, masih teringat jelas saat meninggalnya Riana. Suara yang membuat aku menyesal seumur hidupku. Masih terngiang, kala Riana meninggalkan kami semua, bahkan kematian Riana baru lima hari. Kini anak lelakiku pun menyusulnya. Dan entah mungkin sebentar lagi ayahku juga. Luka hatiku atas meninggalnya Riana masih menganga, kini luka itu semakin menganga kala melihat jenazah putraku terbujur kaku dan sedang dikafani. "Pah, Hiks ... hiks Kenapa Mamah, dan Edo meninggalkan kita?" tangis Fanya pecah. Kala aku sampai kerumah. Kondisi ayah saat ini pun sedang kritis, tapi aku tinggalkan karena ingin melihat anak lelakiku untuk terakhir kalinya. "Sudah sayang, Allah lebih sayang sama Edo sama Mamah, sekarang kita ikhlaskan mereka, Nak." nasehatku kepada Fanya. "Tapi Pah, baru kemarin Mamah meninggal sekarang Edo, Fanya gak mau kehilangan lagi, Pah." tangis Fanya semakin histeris. "Pah, jenazah Edo mau di disholatkan." panggil Atik. Putri remajaku itu sudah semakin dewasa, meski terlihat sedih, namun dia begitu tegar saat kehilangan kali ini. Mata sembabnya masih begitu ketara, namun dia berusaha untuk mengendalikan emosinya. "Ayo Fanya, Atik , kita sholat kan jenazah Edo, dan doakan dia agar di terima di sisi Allah." "Amin ayo, Pah, Fanya!" ajak Atik, sambil merangkul Fanya. Sedikit lega melihat putri sulungku itu, semoga dia menjadi pelipur lara untuk Fanya. Kami sholat kan jenazah Edo, dengan khusuk. Hal yang sama aku lakukan ketika kematian Riana. Aku tak bisa menahan tangisku, Ya Allah rasanya baru kemarin aku menggendong bayinya Edo. Meski tidak terlalu mengikuti perkembangan anak-anakku munafik jika aku tidak merasa sedih. Mungkin aku contoh Papah yang b******k, karena saat Riana memohon kepadaku, untuk membayar biaya rumah sakit Edo kala operasi waktu kecil aku tak mengindahkannya, bahkan sampai sekarang aku tidak pernah tahu penyakit apa yang di idap Edo hingga dia di haruskan untuk operasi saat itu. "Pak, Jovan jenazah Edo siap untuk di kebumikan." Terang pak Ustadz saat aku sedang menenangkan Fanya dan Atik, yang masih tergugu setelah mendoakan Edo. "Baiklah Pak, lanjutkan saja prosesinya." aku pun berdiri menggenggam tangan kedua putriku. Bergetar diri ini, entahlah kenapa meninggalnya terasa begitu berat untukku. Rasa bersalahku pun semakin besar, aku memeluk bahu kedua putriku. Mereka pun tak kuasa menahan tangis saat keranda telah diangkat. Rumah kami tidak begitu jauh dari makam, hanya tujuh menit, dengan berjalan kaki. Edo di semayamkan, di samping makan Riana. Perasaan berkecamuk, saat aku masuk ke liang lahat, untuk menerima jenazah Edo. Aku buka kain kafannya. Aku hadapkan jenazah putraku ke arah kiblat. Rasanya ingin menciumnya sekali lagi untuk terakhir kalinya. "Edo maafkan Papah, Nak! Papah belum bisa menjadi Papah yang baik." Semua prosesi pemakaman Edo, telah selesai. Aku, Mas Danu, Fanya, Atik dan kedua mertuaku tidak ada yang beranjak satupun dari tempat kami duduk. Masing-masing hanya bisa menangis terlalu banyak kenangan bersama Edo dan Riana. Kamu menatap kedua gundukan tanah itu, bahkan bunga di kuburan Riana masih nampak segar, masih lekat rasanya kenangan bersama mereka. Edo, anak lelakiku yang meski kamu jarang berkomunikasi tapi dia sangat sayang kepada keluarga, terutama kepada Riana-ibunya-. Edo adalah anak yang cerdas, aku akui itu. Pernah ketika dia mendapat juara kelas, dan ingin memamerkannya kepadaku, hanya aku siakan. "Pah, lihat Pah, Edo mendapat juara." dengan riangnya Edo berusaha memamerkan hasil belajarnya selama satu semester kepadaku. Kala itu Edo baru kelas satu SD dan ini adalah raportnya pertama kali yang dia dapatkan di SD. "Apa si Edo, Kamu itu menganggu saja." aku rebut raport dari tangannya lalu melemparkan tepat mengenai mukanya. Aku memang sedang kesal kala itu karena tidak berhasil memenangkan kasus perceraian. Yah aku sedang menangani kasus dari perceraian Arumi-mantan pacarku saat SMA-, sehingga dia kembali rujuk dengan suaminya. Harapanku kala itu jika Arumi bisa bercerai dengan suaminya aku bisa menjadikannya selingan saat tidak bersama Nita, yah aku akui di usia pernikahanku yang ke dua belas tahun aku bahkan sudah tidak pernah menyentuh Riana. Tubuh Riana sudah tidak menarik lagi, karena terlalu kurus bagiku. payudaranya pun sudah tidak seindah dulu, karena sudah menyusui tiga anak membuat payudaranya kendor. "Hiks ... hiks Papah Jahat hiks ... hiks." tangis Edo pecah. Aku yang sedang marah, tak kuasa menahan amarahku. Plak Akhirnya tamparan yang begitu keras aku layangkan ke wajah kecil Edo kala itu. Bahkan muka Edo bengkak hingga beberapa hari. Yah sejak saat itu kondisi Edo sering sakit-sakitan. Mungkin efek dari pukulanku. "Mas! kamu apa-apaan? Edo hanya ingin menunjukan prestasinya kepada kamu, tapi kenapa kamu memukulnya!" bentak Riana kala itu. Plak Aku layangkan tamparan ku juga ke wajah Riana. "Kamu dan anakmu sama saja membuat aku muak!" Entah setan apa yang merasuki diriku. Brak Aku banting pintu dan keluar dari rumah, emosiku benar-benar tidak terkontrol kala itu. Dan pelampiasan ku hanya akhirnya pergi ke bar. Aku meminum alkohol, ini adalah pertama kalinya aku meminum minuman keras, sepanjang hidupku. Baru dua gelas, kepalaku sudah sangat pusing. Hingga tak sadarkan diri. Keesokan hari, saat aku terbangun aku sudah berada di sebuah kamar, yang tidak asing bagiku. Yah itu adalah kamar Cindy-adikku-. Setelah merenggut kesuciannya sebelumnya kini kami melakukannya lagi. Bahkan kini Cindy sangat agresif. Kalau boleh jujur, bersama Cindy adalah berc**ta ternikmat yang pernah aku lakukan. Apa mungkin karena dia adikku?. "Jovan, sudah sekarang kita pulang, bukankah sore ada acara mengaji, untuk mendiang Edo, dan Riana." panggilan, Mas Danu menyadarkan dari lamunanku. "Iya, Mas." Aku menggandeng tangan kedua putriku. Sesampainya dirumah, ternyata ada sesosok wanita di teras rumah. Aku seperti mengenalnya. Dia membawa ransel besar, dan di sampingnya tergeletak dua koper besar. "Siapa dia Jovan?" Aku hanya menyedikan bahu, karena memang tidak tahu. Namun firasatku yakin, jika dia seseorang yang tidak ingin aku temui saat ini. Wanita yang telah membuat aku tergoda, wanita yang menjerumuskan ku ke lembah kenistaan. Tidak untuk saat ini, karena baru saja aku dapatkan simpati dari keluarga Riana. "Aku tidak tahu, Mas!" terangku. kamipun mendekat ke sosoknya, dia bahkan hanya mengenakan tank top dan memakai hotpants yang super pendek, memperlihatkan kaki jenjang yang selalu membuat aku terbuai. Kaki jenjang dengan tato kupu-kupu di pangkal pahanya. Yang membuat aku selalu terbang, dan dan mengingat kepada istriku lagi. "Hallo, Mas." Sapanya. Ternyata benar dugaanku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN