Malam masih tampak di langit gugusan Pulau Kematian. Bulan purnama masih bersinar dengan begitu terangnya, seakan sedang berkolaborasi dengan untaian bintang-bintang di langit. Yang seakan ingin menerangi Bumi bersama-sama. Seperti seorang ratu, beserta para pengiringnya.
Terlihat di puncak bukit, yang berada di salah satu 4 pulau terluar, yang merupakan pulau kediaman Malaikat Putih. Yang bernama Pulau Putih. Malaikat Putih sedang duduk di pinggir puncak bukit itu, sambil memandang ke arah laut lepas, membelakangi Pulau Hitam yang berada di dalam Laguna Kematian. Beserta Pulau Merah dan Pulau Kuning. Yang mengiringinya.
Ia termenung, entah sedang memikirkan hal apa. Yang membuat dirinya menjadi seperti itu. Hingga tak menghiraukan apa pun yang sedang terjadi di tempat itu.
Tampak kakinya menjuntai ke arah bawah bukit itu. Seolah tak takut sama sekali, jika dirinya akan terjatuh dan mati.
"Sepertinya, mereka bertiga sudah membunuh 3 orang itu?" ujarnya berbicara sendiri dengan nada yang lirih. Sembari membuka topeng tengkorak putihnya. Dengan tangan kirinya, lalu menaruh topeng tengkorak putih itu di sebelah kiri dirinya.
Akan tetapi, seakan masih ingin tetap menjadi misteri, sesaat kemudian Malaikat Putih lalu memakai kembali topeng tengkorak putihnya itu. Hingga wajah dan jati dirinya pun tertutup kembali oleh misteri, dengan begitu rapatnya. Yang akan dibawanya, selama ia berperan sebagai Malaikat Putih.
"Nanti pun, aku harus membunuh salah satu dari pemenang kuis itu. Lalu apa keuntungannya dengan membunuh mereka?" tanyanya di dalam hatinya. Berusaha berpikir dengan pikiran normalnya. Bukan pikiran yang telah dicuci oleh dogma-dogma dan idelogi gila, milik Malaikat Hitam.
"Kenapa aku harus masuk ke dalam kelompok tidak benar ini? Yang terdiri dari kumpulan orang-orang psikopat. Hanya dikarenakan aku ini kidal. Lebih terbiasa menggunakan tangan kiri ku daripada tangan kananku di dalam beraktifitas. Tidak seperti orang kebanyakan. Padahal aku pun kidal, karena terpaksa. Demi keberlangsungan kehidupanku selama ini. Hingga hanya menjadi sebuah kenyataan," ujar Malaikat Putih, masih di dalam hatinya. Dengan tatapan mata yang menerawang jauh, seakan ingin menembus kegelapan malam dengan mata di dalam topeng tengkorak putih yang ia kenakan, sebagai penyamarannya selama ini.
Setelah merasa jenuh duduk di pinggir bukit yang langsung menghadap laut lepas. Akhirnya Malaikat Putih pun bgkit, dan berdiri di pinggir bukit itu. Sambil memandang ke arah Bulan Purnama. Tanpa ia menyadari kehadiran Malaikat Hitam, sebagai Pimpinan dari kelompok itu. Yang telah berada di belakang dirinya sejauh 5 langkah.
Malaikat Hitam mulai mengeluarkan suaranya, yang beriringan dengan hembusan angin malam yang menerpa mereka di atas puncak Bukit Putih.
Rupanya Malaikat Hitam tak jadi tidur. Ia malah keluar dari Bukit Hitam, lalu berjalan menuju Bukit Putih, untuk menemui Malaikat Putih.
"Sepertinya, dirimu sedang dilanda masalah ya?" tanyanya dengan mendadak, yang membuat Malaikat Putih menoleh ke arahnya.
Dan saat ia tahu siapa orang yang ada di belakang dirinya itu. Ia lalu membalikan tubuhnya. Hingga mereka berdua pun, kini saling berhadapan, satu sama lainnya.
"Tidak, aku sedang tidak dilanda oleh masalah apa pun," timpal Malaikat Putih. Dengan datarnya, tanpa berani menatap ke arah mata Malaikat Hitam. Yang seakan mampu membaca pikiran orang lain, melalui tatapan matanya itu.
"Tapi kenapa kau menyendiri seperti ini?" tanya Malaikat Hitam. Berusaha menyelidiki Malaikat Putih. Yang terus saja menghindari kontak mata secara langsung dengan dirinya.
"Aku menyendiri, karena aku adalah seorang penyendiri ...," timpal Malaikat Putih, sambil melipatkan kedua tangannya di dadanya. Dengan tatapan tajam dibalik topeng tengkorak putihnya. Menatap ke arah Pulau Hitam yang ada di hadapannya.
"Lalu kenapa di saat kau menyusup, kau begitu peduli dengan para pemenang kuis itu? Bukankah itu hal yang aneh ...?" tanya Malaikat Hitam, dengan jubah yang bergoyang diterpa angin malam. Seakan sedang me interogasi anak buahnya itu.
Mendengar pertanyaan itu, Malaikat Putih terdiam sejenak. Lalu menjawab pertanyaan itu.
"Bukannya Pimpinan memerintahkan diriku bersikap senatural mungkin, di dalam penyusupan itu. Agar aku tidak dicurigai oleh mereka?" timpal Malaikat Putih. Malah balik bertanya kepada Malaikat Hitam. Yang membuat Malaikat Hitam kesal bukan main, walaupun hanya di dalam hatinya saja.
"s**l! Dia malah membalikan pertanyaan ku," ucap Malaikat Hitam di dalam kalbunya.
"Walaupun ucapan mu itu ada benarnya, tapi aku rasa itu hanya alasanmu saja. Sebenarnya dirimu itu sedang bimbang tadi. Jangan lupa, aku dapat membaca pikiranmu dari matamu, walaupun sejak dari tadi kau berusaha menghindari bertatapan langsung dengan diriku," ujar Malaikat Hitam, dengan nada begitu tajam menusuk benak Malaikat Putih.
Malaikat Putih tampak terdiam, mendengar ucapan dari Malaikat Hitam itu. Hanya hatinya saja yang bicara.
"Selain dapat memanipulasi pikiran orang lain, ia juga dapat membaca pikiran orang lain, Walaupun aku berusaha untuk tidak bertatapan langsung dengan dirinya. Tapi tetap saja, ia sedikit dapat membaca pikiranku. Lebih baik aku blok pikiranku saja, agar ia tidak dapat membaca pikiranku sedikit pun," ucap Malaikat Putih di dalam hatinya. Yang segera memblokir pikirannya. Dan lalu menfokuskan pikirannya, pada hal yang berbeda. Dari pikirannya yang semula.
"Sepertinya, kau sudah memblokir pikiranmu itu ya? Aku akui di antara para anak buah ku, dirimu yang paling cerdas. Tapi soal kekuatan fisik, kaulah yang paling lemah ...," kata Malaikat Hitam, lalu tertawa pelan. Seakan sedang mengejek anak buahnya itu.
Tiba-tiba saja Malaikat Hitam, bergerak dan melayangkan tinju tangan kirinya ke arah Malaikat Putih. Yang segera menangkisnya dengan tangan kirinya pula secara rileks.
"Sudah lama tidak berlatih, sekarang kemampuanmu sudah sangat meningkat, ternyata ...," Malaikat Hitam lalu menarik tangan kirinya kembali. Lalu berbicara kembali kepada Malaikat Putih.
"Kau bimbang dengan apa yang akan kau lakukan nanti. Tapi apakah kau masih ingat dengan penderitaan mu. Di mana kita sebagai orang kidal, kita ini dianggap aneh oleh orang normal. Lebih parah lagi, kita ini tidak pernah dianggap oleh mereka," ujar Malaikat Hitam. Yang membuat Malaikat Putih teringat akan masa lalu, saat ia benar-benar direndahkan dan tak dianggap karena kekidalan nya itu. Baik di lingkungan sekolah, lingkungan tempat tinggalnya. Bahkan lingkungan keluarganya sendiri pun mengucilkan dirinya. Walaupun dirinya belum tentu mengalami semua kejadian itu.
Terlihat karena kenangan-kenangan pahitnya itu. Ia pun tampak merasakan sakit di kepalanya. Hingga ia pun harus memegangi kepalanya dengan kedua tangannya, yang tanpa bersarung tangan. Entahlah, apakah benar masa lalunya itu sepahit itu. Atau ia hanya sedang berakting, demi keselamatan hidupnya di antara para anggota Malaikat Kematian lainnya. Karena ia hanya pura-pura kidal saja. Dan kenangan-kenangan yang terlihat nyata, itu hanyalah palsu. Sebagai penguat sandiwaranya saja.