Bab 11. (Luka Terdalam Malaikat Cokelat)

1048 Kata
      Tampak Malaikat Putih yang dibicarakan oleh mereka hanya terdiam, atas perbincangan 3 orang itu. Dengan tatapan masih memandang ke arah Bulan purnama di langit.  "Cerewet sekali Merah. Untung saja Cokelat turun tangan. Jika tidak, mungkin batas kesabaran ku akan habis," ucap Malaikat Putih di dalam hatinya, dengan penuh kegeramannya kepada Malaikat Merah. Mereka bertujuh tetap terdiam. Seakan ingin menyatu dengan alam. Hingga akhirnya Malaikat Biru pun angkat bicara. Memecahkan keheningan yang tercipta di antara mereka bertujuh. "Pimpinan, kapan kita akan bergerak untuk menghabisi mereka semua? Aku sudah tidak sabar untuk membunuh dan melihat darah segar ...," ujar Malaikat Biru, dengan senyum sadisnya, yang terlihat dibalik topeng tengkorak birunya. "Aku rasa besok malam saja, biarkan malam ini mereka menikmati keindahan mimpi mereka tentang indahnya Gugusan Pulau Kematian ini," timpal Malaikat Hitam. Dengan nada suara yang datar dan dingin.       "Dan mulai besok malam, mereka semua pasti akan merasakan, apa itu yang namanya ketakutan dan keputusasaan ...," sambung Malaikat Hijau. Dengan nada suara yang menusuk tajam bagi yang mendengarnya.       "Ketakutan dan keputusasaan yang tak berujung sama sekali ...," sambung Malaikat Biru.        Mereka bertujuh lalu tertawa secara bersamaan. Seakan ingin mengalahkan kesunyian malam dan deburan ombak yang mengelilingi gugusan kepulauan kecil itu. Walaupun pada kenyataannya, suara tawa mereka tetap saja kalah. Oleh suara harmoni alam. Tawa mereka bertujuh pun terhenti, karena mungkin mereka lelah untuk tertawa, sedari tadi. Malaikat Hitam lalu berbicara kembali, setelah berhenti dari tawanya itu. "Sebaiknya kalian sekarang kembali ke tempat kalian masing-masing," ujarnya, lalu ia pun melangkahkan kakinya, yang diikuti oleh yang lainnya. Dan lalu menghentikan langkahnya sejauh 10 meter dari tempat semula. "Besok malam kita berkumpul di markas saja, bukan di puncak Bukit Hitam ini," ujar Malaikat Hitam kembali.  Malaikat Hitam lalu membungkukkan dirinya, dengan tangan kiri menarik sebuah tambang. Yang tersambung dengan sebuah papan selebar 2×2 meteran. Saat tali itu ia tarik dengan tangan kirinya. Maka tertarik lah papan itu ke arah ia menariknya tadi. Dan papan itu ternyata, merupakan sebuah pintu masuk dan keluar dari dalam Bukit Hitam.  Dibalik papan itu ternyata ada lubang, dengan besi baja yang melintang di tengahnya. Dengan 3 utas tali tambang sebagai sarana naik dan turun ke puncak bukit itu.  Malaikat Hitam, Malaikat Merah dan Malaikat Kuning, lalu memegang tali tambang itu, dengan tangan kiri mereka. Seperti orang kidal saja. Mereka bertiga lalu turun ke bawah dengan 3 tali tambang itu. Sedangkan Malaikat Hijau, Malaikat Biru dan Malaikat Cokelat. Lalu melakukan hal yang sama. Mereka bertiga turun melalui 3 tali tambang itu. Hingga tinggallah Malaikat Putih sendirian, di puncak bukit itu. "Merepotkan sekali hal seperti ini, dasar peraturan yang aneh. Yang dibuat oleh orang yang sakit jiwa ...," ujar Malaikat Putih berbicara sendiri. Malaikat Putih lalu memegang tali tambang itu dengan tangan kanannya. Sedangkan tangan kirinya memegang tali tambang yang pendek sebagai, penarik papan itu untuk menutupi lubang itu. Setelah Malaikat Putih masuk ke dalam lubang yang entah di mana dasarnya itu. Malam pun semakin melarut saja. Akan tetapi tetap saja, tak menghentikan langkah kaki Malaikat Putih untuk berjalan menuju Pulau Cokelat. Yang sedang berdiri di puncak bukit yang ada di Pulau Cokelat. Dengan tatapan mengarah ke laut lepas, bukan ke dalam Laguna Kematian. Malaikat Cokelat seakan sedang menunggu seseorang. Yang ternyata Malaikat Putih. Yang sudah terlihat berjalan ke arahnya, melalui lirikan matanya itu. "Sepertinya kau sudah menungguku lama?" tanya Malaikat Putih, saat berada di samping kanan rekannya. "Ya, aku sudah menunggumu lama," sahut Malaikat Cokelat dengan penuh kejujurannya. "Maafkan aku. Aku hanya ingin memastikan keadaan aman. Tak ada yang mengetahui pertemuan kita ini," timpal Malaikat putih, sangat merasa bersalah kepada Malaikat Cokelat. "Kau tak perlu merasa bersalah seperti itu, Putih. Aku menunggumu, sambil menikmati keindahan laut lepas di malam purnama ini. Lagipula, kau itu jangan bersikap seperti itu. Wajar kau dan aku dekat. Karena akulah yang sering bersamamu tinggal di kepulauan ini. Mereka tak akan curiga. jika kita bertemu kapan saja," tutur Malaikat Cokelat, lalu tersenyum. "Terima kasih atas pengertiannya. Tapi apa benar mereka tak akan curiga? Aku hanya bertemu mereka, sejak seminggu yang lalu. jadi belum mengerti sifat mu seperti apa?" beber Malaikat Putih. "Kau tenang saja, yang perlu kau waspadai hanyalah Merah. Dia memiliki insting yang sangat kuat. Yang menyebabkan pembelotan pendahulu, diketahui olehnya," terang Malaikat Cokelat, dengan nada penuh kesedihannya. Malaikat Putih pun menjadi penasaran bukan main. Karena selama ini. Malaikat Cokelat tak pernah menceritakan tentang kematian Malaikat Putih terdahulu kepada Malaikat Putih sama sekali. Malaikat Putih pun berharap, rekannya itu mau menceritakan bagaimana kronologi lengkap kematian pendahulunya. "Apakah kau sekarang, sudah bisa menceritakan kematian dari pendahuluku?" tanya Malaikat Putih, dengan penuh harap. Malaikat Cokelat, lalu menghela napasnya sebelum menjawab pertanyaan itu. "Apakah kau benar-benar ingin tahu tentang kematiannya?" tanya Malaikat Cokelat, berusaha untuk mempertegas rekannya. "Tentu saja, aku benar-benar penasaran dengan kematiannya. Jadi tolonglah, ceritakan lah," tutur Malaikat Putih. "Kenapa kau begitu menggebu, ingin mengetahui kematiannya?" tanya Malaikat Cokelat kembali. "Entahlah, kostum malaikat putih ini. Seakan ingin aku tahu. Tentang kematian pendahuluku. Sepertinya, ia ingin menitipkan dendam dirinya kepada diriku," ungkap Malaikat Putih. Malaikat Cokelat tak langsung merespons perkataan dari rekannya itu. Akan tetapi dirinya membaringkan tubuhnya di hamparan rumput hijau di atas Bukit Pulau Cokelat dengan menghadap ke arah laut lepas. Melihat Malaikat Cokelat beraksi seperti itu. Dirinya pun langsung saja ikut berbaring di samping seniornya. Yang tetap terdiam. Seakan enggan untuk menceritakan tentang kematian Malaikat Putih sebelumnya. Malaikat Cokelat tetap terdiam, dengan tatapan mengarah purnama di langit. "Sepertinya kau benar-benar enggan untuk bercerita kepadaku tentang kematiannya," kata Malaikat Putih dengan nada pasrah. Seakan sudah tak berharap Malaikat Cokelat untuk menceritakan tentang kematian Malaikat Putih sebelum dirinya. "Bukannya aku tak ingin menceritakannya tentang kematiannya kepada dirimu. Namun ini sangat perih. Aku tak sanggup menceritakannya," Malaikat Cokelat pun mengungkapkan alasannya. Tak ingin menceritakan kematian Malaikat Putih sebelumnya. Yang baginya sangat menyedihkan. Menyaksikan kematian teman yang sudah ia anggap saudaranya. Tanpa dapat berbuat apa pun sama sekali. Malaikat Cokelat lalu terisak, melepaskan kesedihan yang ia pendam selama ini. Malaikat Putih memahami, apa yang sedang dirasakan oleh Malaikat Cokelat. "Maafkan aku, aku tidak mengira lukamu begitu dalam karena kematiannya. Aku berjanji tak akan menanyakan lagi tentang kematian pendahuluku," ujar Malaikat Putih dengan nada rendah. "Terima kasih atas pengertiannya. Tapi aku yakin, dia akan datang dalam mimpimu. Karena malam ini, tepat 5 tahun kematiannya," ujar Malaikat Cokelat masih dengan nada terisak, belum mampu mengendalikan kesedihan hatinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN