bc

COOL SINGLE DADDY [On Going]

book_age18+
4.2K
IKUTI
73.2K
BACA
love-triangle
family
age gap
CEO
billionairess
sweet
genius
single daddy
office/work place
secrets
like
intro-logo
Uraian

BUKU KETIGA DARI SINGLE DADDY THRILOGY

WARNING!!!

Yang takut baperan mending jauh-jauh!

Jillian Christabelle Law adalah sosok naif yang penuh kasih. Jill tidak pernah takut bermimpi tinggi, juga tidak pernah takut mencintai. Hatinya yang luas memiliki cukup ruang untuk mencintai sebanyak dibutuhkan.

Jill mencintai Kaindra Denali Kertasasmita, duda kesepian yang menyembunyikan kebaikan hatinya di balik sikap dingin dan angkuh.

Jill mencintai Jourell Delano, bocah lelaki menggemaskan yang begitu lengket dan sangat bergantung padanya.

Jill mencintai Haden Daviandra, pemuda yang menyembunyikan trauma masa lalunya di balik sikap ceria.

Namun Jill tidak bisa terus mencintai ketiganya, ia harus menentukan pilihan. Akankah Jill berlabuh pada Kai dan Jou, ataukah hatinya justru tertambat pada Dav?

chap-preview
Pratinjau gratis
1. Pendengar Gelap
Kai menatap ragu ponselnya. Nama sang peneleponlah yang membuatnya ragu. Telepon dari wanita ini selalu membuat perasaan Kai campur aduk. Ia terus mencoba mengabaikannya, namun suara getaran ponselnya yang beradu dengan permukaan meja terdengar begitu bising di tempat sesepi ini. Tidak ada lagi orang yang berkeliaran di area Fantasic Room pada dini hari ini. Pada akhirnya Kai menyerah. Mengembuskan napas kencang sebelum menjawab panggilan tersebut. "Ada apa, Lien?" "Bisa kamu video call dengan Jou?" Tanpa kata sapaan sedikitpun, wanita itu langsung mengatakan tujuan utamanya. Benar saja dugaan Kai. Panggilan dari Lien akan selalu menyangkut urusan Jourell. "Kenapa? Baru dua hari yang lalu saya video call dengan Jou." Wanita itu berdecak tidak suka. "Apa salahnya menghubungi dia lebih sering, Kai?" Kai melirik jam di tangannya. Pukul 03.00 waktu Jakarta, berarti pukul 22.00 waktu Groningen. "Tapi ini sudah malam. Waktu tidurnya sudah lewat." "Itulah masalahnya! Jou tidak mau tidur sejak tadi." Nada bicara Lien otomatis naik tanpa disadarinya. "Apa dia mencari saya?" "Kai, dengar!" ujar Lien tidak sabar. "Jou belum bisa mengungkapkan apa yang dirasakannya. Tapi apa salahnya kamu menenangkannya saat dia sedang gelisah seperti ini? Dia butuh kamu, Kai! Kalau kamu tidak bisa ada di sisinya secara langsung, setidaknya kamu bisa hadir dengan cara yang lain!" Kai mengacak rambutnya dengan kesal. "Matikan sambungannya! Saya akan video call sekarang." Di sisi yang lain, Jill meringis sendiri. Ia tidak bermaksud menjadi pendengar gelap di tempat gelap ini. Ia bahkan tidak tahu sejak kapan pria yang tengah berbicara di telepon dengan nada frustasi itu muncul di Fantastic Room. Yang Jill tahu, ia hanya sendirian di sini sejak sekitar satu jam yang lalu. Jill berdoa dalam hatinya agar pria itu cepat pergi, agar dirinya juga bisa segera keluar dari sini. Ia ingin pulang sesegera mungkin setelah menyelesaikan materi In-Time Noon untuk meeting pagi nanti. Namun nyatanya doa Jill sama sekali tidak terkabul, karena beberapa saat kemudian, suara pria tadi kembali terdengar. "Halo, Jagoan!" Kai berusaha memasang wajah cerianya untuk menyambut bocah kecil di layar ponselnya. Bocah kecil berusia tiga tahun itu melambai padanya dengan wajah penuh senyum. Mata jernihnya terlihat begitu berbinar. Ada perasaan sesak yang Kai rasakan dalam hatinya demi melihat sebentuk wajah kecil yang dicintainya itu. "Jou ..., kenapa belum tidur? Kata Mama, Jou nggak mau tidur, ya?" Bocah kecil itu menggeleng lesu. "Jou, tidur ya .... Ini udah malam," bujuk Kai. Bocah kecil itu kembali menggeleng. Perlahan matanya yang tadi berbinar kini nampak redup. Sudut hati Kai semakin terasa nyeri. Seharusnya ia ada bersamanya. Seharusnya ia memeluknya. Sekuat mungkin Kai mengendalikan suaranya agar terdengar tetap tenang. "Kenapa? Jou sedih?" Seketika air mata mengalir deras di pipi Jourell. Tangis tanpa suara yang dikeluarkannya membuat Kai ikut menangis dalam hati. "Shh! Jangan nangis, Sayang ...," bujuknya. "Jou kangen Daddy?" Jourell yang masih saja menangis mengangguk berkali-kali. "Nanti Daddy datang, ya." Dusta! Hati kecilnya menuduh. Entah sejak kapan ia selalu mengatakan kalimat seperti ini, namun hingga hari ini ia belum juga memiliki keberanian untuk terbang ke Belanda dan menemui Jourell. Tangis Jourell perlahan mereda. Kata-kata Kai seolah menjadi mantra ajaib baginya. "Jou sekarang tidur dulu. Jadi anak pintar, ya? Daddy sayang sekali sama Jou." Jill berusaha menahan napasnya sejak tadi. Ia tidak berani bernapas dengan bebas karena takut terdengar oleh pria yang sepertinya duduk persis di belakangnya. Entah bagaimana, Jill yang memang pada dasarnya adalah seseorang dengan perasaan teramat lembut, dapat merasakan kesedihan pria asing itu. Hening setelahnya. Namun Jill masih tidak berani bergerak. Ia tidak ingin pria itu menyadari jika pembicaraannya terdengar oleh orang lain. Kai membenamkan wajahnya di kedua telapak tangannya sambil berbisik lirih, "Denice, kamu tahu sesulit apa ini untuk aku?" Tidak berapa lam, tangannya secara otomatis bergerak membuka galeri foto di ponselnya. Dipandanginya sebentuk wajah yang begitu dirindukannya. "Denice, aku bukan tidak menyayangi dia. Tapi melihat dia selalu membuat aku teringat kamu. Terlalu sakit rasanya. Aku tidak bisa menghadapinya tanpa merasa bersedih. Aku tidak bisa menatap wajahnya tanpa merasa ingin menangis." Kai merebahkan tubuhnya di atas sofa. Menatap langit-langit dengan pandangan kosong. "Denice, tolong bantu aku. Ini terlalu berat." Srak! Jill mengutuki dirinya sendiri. Bagaimana bisa ia dengan cerobohnya menjatuhkan tumpukan kertas dari atas pangkuannya di situasi tidak tepat seperti ini? Seketika Kai duduk dengan sigap. Ia yakin mendengar suara lain, padahal ia juga yakin tidak ada siapa-siapa sejak tadi. Perlahan ia berdiri dan mengawasi sekitarnya. Meski tempat ini cukup gelap, namun masih cukup terang untuk menangkap pergerakan asing di sekitarnya. Kai menyipitkan matanya ketika melihat sebuah tangan terjulur keluar dari balik bubble chair untuk menjangkau tumpukan kertas di atas lantai. Dengan langkah pasti Kai berjalan mendekati kursi tersebut kemudian memutarnya dengan sekali hentakan. Ia menatap tajam pada gadis di hadapannya yang memandangnya dengan tatapan bingung juga serba salah. "Apa yang kamu lakukan di sini sejak tadi?" desisnya tidak suka. "Eh?" Jill yang tidak mengantisipasi situasi ini hanya termangu saja. Kai menunduk hingga matanya sejajar dengan mata gadis di hadapannya. "Kamu menguping pembicaraan saya?" "Nggak!" sanggah Jill panik. "Jangan bohong! Tidak mungkin kamu tidak mendengar percakapan saya dari jarak sedekat ini." Jill menggeleng panik. "Saya nggak bohong." "Cuma orang dengan gangguan pendengaran yang tidak bisa mendengar dari jarak sedekat ini," sindir Kai tajam. "Saya sehat. Pendengaran saya baik," balas Jill polos. Kai mendengus sinis. "Jadi kamu dengar, 'kan?" Tidak ada pilihan lain bagi Jill selain mengakui saja kebenarannya. "Iya," ujarnya serba salah. Kai kembali mendengus. "Kamu bilang tidak menguping." "Saya memang dengar, tapi saya tidak bermaksud menguping." Lama-lama Jill kesal juga disudutkan seperti ini. Memang salahnya kalau tidak sengaja ia mendengar percakapan pria itu? Kalau saja pria ini mengumumkan dirinya berniat melakukan percakapan serius, Jill juga tidak akan terjebak dalam situasi canggung semacam ini. "Lalu untuk apa kamu di sini?" cecar Kai. "Kerja." Kai kembali berdiri tegak. Menyelipkan kedua tangannya ke dalam saku celana. "Tidak ada yang bekerja di jam seperti ini. Semua program sudah berakhir dan baru akan mulai kembali jam 5 nanti." "Tapi saya memang sedang bekerja!" balas Jill sengit. Ia tidak terima dianggap berbohong. "Memangnya apa yang kamu kerjakan?" tanya Kai angkuh sambil mengedik ke arah tumpukan kertas juga laptop di atas pangkuan gadis itu. "Ini?" Jill mengacungkan kertas di tangannya. "Saya sedang menyelesaikan salah satu materi untuk program In-Time." Kai menyipitkan sebelah matanya. "Kamu tim di In-Time?" "Bukan. Saya hanya mahasiswi magang yang sedang bertugas di In-Time," ungkap Jill jujur. Jawaban gadis ini membuat Kai tertarik. "Lalu kenapa kamu yang mengerjakan? Setahu saya bukan bagian mahasiswa magang untuk mengerjakan tugas semacam itu." Jill mengangkat bahu tidak peduli. "Saya tidak tahu. Saya hanya mengerjakan apa yang diminta mentor saya." "Seharusnya mentor kamu yang mengerjakan itu, mana bisa dia membiarkan mahasiswi magang mengerjakan materi penting sendirian? Mana mentor kamu?" "Sudah pulang sejak tadi." Jill sendiri memang sempat berpikir mengapa Tika yang notabene adalah mentornya untuk jangka waktu dua minggu ini, bisa-bisanya meninggalkan dia mengerjakan ulasan untuk ditayangkan di In-Time sendirian. Meski bagi Jill sendiri, ini merupakan kesempatan luar biasa yang patut ia syukuri. "Kalau boleh tahu, kamu sendiri sedang apa di sini tengah malam begini?" "Kerja," balas Kai dingin. "Katanya tidak ada yang kerja di jam seperti ini." Jill membalikkan sindiran yang tadi Kai lontarkan padanya. Kai mengedik angkuh. "Ada bagian-bagian tertentu yang jam kerjanya memang berbeda." "Memangnya kamu di bagian apa?" Jill jadi penasaran. Ia belum banyak tahu tentang sistem kerja di Forty Media. "Saya bekerja di bagian yang mengharuskan saya ada di sini pada jam seperti ini?" jawabnya diplomatis. "Setiap hari?" "Tidak juga." Otak Jill bekerja cepat. Bagian yang mengharuskan stafnya ada di Forty Media pada jam seperti ini, mungkinkah bagian IT, teknisi, atau semacamnya? "Ohh, lagi kebagian jaga malam, ya?" "Bisa dibilang begitu." Kai menjawab asal. "Jadi, kembali ke permasalahan awal. Kamu dengar semua percakapan saya tadi?" "Iya, saya dengar. Saya tidak ada niat mencuri dengar, tapi memang suara kamu terdengar dengan sendirinya." Kai menghela napas. Tidak ada lagi yang bisa ia lakukan. "Kalau begitu, saya mau minta tolong." "Hmm?" "Tolong jangan ceritakan pada orang lain apa yang kamu dengar tadi. Anggap saja kamu tidak mendengar apa-apa sama sekali." Kalau para pekerja lain di Forty Media tahu tentang kejadian malam ini, tentang bagaimana ia terlihat frustasi ketika berbicara di telepon, pergunjingan di tempat ini akan menyebar luas. "Kamu tenang aja." Jill tersenyum geli. Apa juga untungnya mengumbar cerita tentang pria ini? "Saya ini tidak kenal sama kamu, untuk apa juga saya cerita-cerita soal kamu." "Kalau sampai hal tentang saya jadi pembicaraan di sini, saya tahu siapa yang bertanggung jawab, dan saya tahu di mana bisa menemukan kamu." *** --- to be continue ---

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Mrs. Rivera

read
47.2K
bc

Dosen Killer itu Suamiku

read
317.6K
bc

Love You My Secretary

read
243.4K
bc

Married By Accident

read
225.6K
bc

Bukan Cinta Pertama

read
55.1K
bc

PLAYDATE

read
119.1K
bc

Skylove

read
111.6K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook