Bab 9 Head Incident

2698 Kata
                Aku memakaikan sepatu olahraga warna abu-abu ke kaki mungilku dengan kecepatan tinggi. Bagaimana tidak? Aku hampir terlambat untuk olahraga voli gara-gara ketiduran di sebelah Kak Erlan yang istirahat setelah turun piket. Untung saja Baby A yang tadinya tidur di tengah-tengah kami membangunkanku dengan memencet hidung mamanya. Kalau tidak hampir saja aku menyetor nama ke Mbak Rahman. Iya, nama buat ditabokin. “Baby A! Dedek! Tunggu mama, Nak!” teriakku nyaring karena melihat Baby A sudah ngacir duluan dengan jalan cepatnya. “Aduh si dedek, jalannya cepet banget sih!” ujarku tak memperhatikan rupa sepatuku lagi. Aku lebih peduli pada anakku yang sudah hampir masuk ke kubangan air di tengah jalan. “Hayo mau main air ya? No, Dedek! Nanti baju barunya Dedek kotor!” ujarku sambil tertawa penuh kemenangan ketika menangkap tubuh mungil Aiyra. Baby A menyerah. Dia memilih untuk menarik tanganku menuju lapangan voli yang berjarak 500 meter dari rumah.                 Huft, masih harus jalan kaki ya? Ditarik balita aktif berumur 1,6 tahun ini? Belum lagi matahari pukul 4 sore yang cukup panas. Lumayan bikin pening apalagi aku kurang istirahat. Andaikan ada sepeda angin. Mau naik motor, gak ada motor. Mau naik mobil, kok kesannya gimana gitu. Ya sudahlah, anggap aja pengurusan badan, lagi.                 Sesampainya di lapangan, ibu-ibu sudah ramai dengan seragam training olahraga ranting warna ungu muda semburat putih sama dengan training yang kupakai. Rata-rata mereka berpenampilan segar dan menggoda. Ya iyalah harus walau sudah ibu-ibu tetap jaga penampilan dong jangan kalah sama anak muda. Helo Abel, bukannya kamu anak muda ya? Tapi penampilanmu malah cuma apa adanya. Berbedak padat dengan UV-filter, liptint warna pink yang kutemukan di kotak mainan Baby A, dan cologne bayi aroma morning dew punya Aiyra. Itu adalah penampilan anak muda level bawah, Abel. Hiks. “Dek Erlan, kirain gak datang,” sambar Mbak Tania ceria sambil melambaikan tangannya yang dikelilingi gelang-gelang emas bak toko emas pindahan. “Datang dong, Mbak. Masak iya saya tidur di rumah,” padahal emang aku baru bangun tidur. “Bagus dong, kalau gitu main voli mau dong? Benar gak Ibu-ibu?” ujar Mbak Tania sambil melempar umpan ke ibu-ibu. Ya ya ya, ada juga sisi kesenioritasan. Dengan ragu dan ada juga yang semangat, ibu-ibu itu menjawab serempak, “izin benaaaar, Bu.”                 Aku berusaha sabar dan tersenyum bijak. Terima kasih ya Mbak Tania atas perintahnya. Bu Danyon yang baru datang saja belum memberiku titah, eh, dia sudah mendahului. Siap salah Mbak. Dengan memutar otak aku berusaha mencari celah agar tak ikut main voli. Bukannya kenapa-napa, aku tak tega meninggalkan anakku main sendiri. Aku tahu anak itu mudah ikut siapa saja. Dia juga lovely alias banyak orang yang suka. Banyak ibu-ibu yang gemas dan suka menjaga Aiyra saat aku sibuk disuruh ini dan itu. Tapi, Aiyra selalu saja menangis kalau tahu aku sibuk sendiri dengan bola voli. Entah kenapa anak itu tak suka melihatku main voli. “Dek, yakin mau main?” bisik Mbak Rahman di telingaku. “Izin Mbak, tidak apa-apa. Saya tidak enak soalnya ibu-ibu mendukung saya latihan.” Jawabanku antara pasrah dan meminta pertolongan. “Ya udah gak apa-apa, sebentar saja ya Dek. Kasihan Baby A,” jawab Mbak Rahman kasihan. Iya sih, aku tahu Mbak Rahman tak bisa lagi menghalangi hak istimewaku. Ibu-ibu sudah mulai menggosipkanku mendapat keistimewaan terselubung karena tak pernah main voli. Okay, fine, I can do this! “Izin Bu, bolanya.” Bu Hamdan menyodorkan bola padaku dan kuterima dengan senyuman manis.                 Aku mulai meletakkan bola di telapak tangan kiriku yang mungil. Dengan menghela napas, kusiapkan tenaga tangan kanan untuk melakukan service atas. Tak lama kemudian, kupukul bola voli itu dengan kekuatan keras menyisakan rasa panas pada pergelangan tanganku. Memerah seketika seperti disiram air mendidih. Bola melambung tinggi melewati net dan diterima oleh pemain lawan. Bola dipukul dan kembali ke bagianku. Bu Rosyadi memukul bola itu dan kembali melewati net. Sayangnya bola tak dapat dikembalikan oleh tim lawan sehingga kelompokku mendapat poin 1. “Izin Bu, Ibu mukul lagi,” ujar Bu Rosyadi yang membuatku melongo. Hah? Aku lagi? Ini saja belum habis panasnya. “Iya Bu,” kataku ragu sambil memegang bola voli.                 Bug! Sebuah rasa panas menyisa di pergelangan tanganku lagi. Bola melambung tinggi ke arah tim lawan. Bagus juga pukulanku. Gak ada yang out. Bola kembali ditolak oleh tim lawan. Lalu ditolak oleh Bu Guruh dari kubuku. Bola itu diterima oleh tim lawan dan kembali di-passing. Bola kembali melayang ke arah kubuku. Sepertinya si bola mendekat ke arahku berdiri. Aku sangat siap menolak benda itu, heh! Sini bola! Aku sangat bersemangat. “Hwaaaaaaaa. Ma ma maaaaa,” pecah sebuah suara yang keluar dari mulut mungil Baby A. Kulirik anakku sudah menangis keras di gendongan Bu Made. Tangannya melambai-lambai memanggiliku. Tuh kan kubilang juga apa. Dia tak suka melihatku main voli. “Ya Sayang. Hold on, Baby A!” teriakku lembut. Namun, Baby A tak mau lagi mendengarku. Dia terus mengeraskan tangisnya. Bagus Nak, nangis aja gitu kalau perlu mama sambungkan ke TOA Kihub. Biar semua tahu kalau kamu itu gak suka mama main voli. Hhaha.                 Dug! Belum selesai tawaku dari dalam hati. Sebuah benturan keras mendarat di kepalaku yang terbalut jilbab putih. Masyaallah aku baru tertimpa meteor atau apaan sih? Tiba-tiba aku terhuyung dan hanya bisa terduduk di lantai lapangan voli. Pusingnya bercampur dengan suara tangis anakku yang belum juga diam. Ibu-ibu berkumpul di dekatku. Ada yang memegang pundakku. Ada yang menenangkanku. Ada yang menanyai keadaanku. Ada yang berkomentar bahwa bapak danki bakalan marah tahu istrinya kena bola voli. Oh, jadi barusan aku kena bola voli. Ya ampun rasanya mirip sama pusing awal kehamilan Aiyra dulu. “Saya gak apa-apa kok Ibu-ibu,” ujarku santai sambil masih memegangi kepalaku yang cenut-cenut macam habis kena jitak 1000 tangan. Aku mendatangi Aiyra dan meraihnya dalam gendonganku. Dia mulai mengurangi tangisnya. Aku masih saja berusaha mengendorkan pusing di kepalaku. Sebegitu kerasnya hingga terasa sangat pusing. “Ma ma, ka pa,” celoteh Aiyra yang berarti ‘Mama kenapa?’. “Mama gak apa-apa, Sayang,” ujarku sambil tersenyum. Tapi, anakku malah mengeluarkan ekspresi kusut, mulut mungilnya membentuk bentuk bulan sabit alias mewek. Dia menangis, lagi, jangan Baby A!                 Terlambat. My Baby Bolo-bolo kembali menangis entah apa sebabnya. Mungkinkah seorang anak bisa merasakan sakit ibunya? Apa memang ada ikatan antara ibu dan anak? Kupikir cuma aku saja yang bisa merasakan sakit Aiyra, ternyata dia juga bisa ya? Duh, anakku, mama benar tak apa, Sayang. “Ikut Papa saja yuk, Nak.” Pecah sebuah suara seksi milik Kakak Erlan. Malaikat penolongku itu datang di waktu yang tepat. Dia terlihat segar karena habis mandi. Rupanya dia menyusulku ke lapangan voli. Apa ada ikatan batin juga antara suami dan istri? “Siapa sih yang suruh kamu main voli?” tanyanya judes. Aku menatapnya maklum, aduhai Bapak lagi khawatir ya khawatir aja. Gak usah pakai judes juga. “Nanti aja aku jelasin di rumah, Kak. Baby A tolong dibawa jalan-jalan ya? Sebentar lagi aku mau kasih pesan cinta ke ibu-ibu,” ujarku sambil menyerahkan tas bayi Aiyra yang berisi botol s**u sufor dan biskuit s**u kesukaan Aiyra serta beberapa snack lain kesukaan Baby A. “Kamu minum dulu gih, pucat gitu,” ujar Kak Erlan pelan. Aku mengangguk menenangkannya. Sesaat kemudian Aiyra sudah lekat di gendongannya. Kak Erlan berpamitan pergi dan membawa Aiyra putar-putar asrama memakai sepeda motor milik Om Jajang. Mungkin Baby A bakalan diajak ke lapangan bola depan sambil diuyel-uyel sama junior Kak Erlan yang pasti gemas seperti biasanya. Bayi umur 1,6 tahun itu memang sangat suka diajak jalan papanya walau cuma ke lapangan bola atau lapangan belakang tempat anak SMA biasanya kemah. ---                 Aku hanya banyak menunduk ketika Mbak Rahman memberikan wejangan dan sentilan kepada para ibu persit yang jadi anggotanya. Aku tahu sentilan itu ditujukan untuk khusus kepada 2 ibu dari kompi A, kompi saya, iya saya. Kompi A, kompinya Abel. Hush, aku mikir apaan sih? Gegara ketiban bola voli tadi aku jadi galfok. Hiks. Aku kembali fokus ketika Mbak Rahman membahas tentang kerukunan antar tetangga. Tentang tata cara bergaul dengan tetangga sebagai saudara sepenanggungan di asrama ini. “Jadi Ibu-ibu kalau ada masalah dengan tetangga sampai ribut besar itu bukan cuma jadi gosip se-asrama saja ya. Melainkan, menjadi perbincangan di semua satuan. Ibu-ibu tahu kan kalau satuan kita ini cuma berapa kilo dari Monas? Kita ada di ibukota negara. Ibu bisa lihat kan di televisi, Jakarta selalu ada di berita. Berita sedikit saja pasti tersebar dengan mudah ke seluruh satuan se-Indonesia.” Wejangan Mbak Rahman terasa menusuk ke jantung hati pendengarnya. “Saya sebagai yang tertua Bu yang dapat sorotan pertama. Jangan dikira ibu-ibu yang bermasalah itu saja yang malu, tapi yang tertua di satuan ini juga,” lanjut Mbak Rahman makin emosi. Wajahnya yang ayu menampakkan raut tegang dan kecewa. “Ibu-ibu di sini usianya berapa sih? Ada yang masih 15 tahun? Saya rasa tidak ada kan? Kecuali Dek Erlan mungkin yang masih 24 tahun. Masak Ibu-ibu yang dewasa ini tidak malu ribut di depan Ibu muda berusia 24 tahun?” hem, aku kena lagi. Kena tunjuk lagi sebagai contoh dan sebagai ibu tertua kompi A yang tidak tegas. Hiks. Hancur lagi deh namamu, Bapak Erlan.                 Kulirik Bu Guruh dan Bu Joni hanya diam dan menahan malu. Wajah mereka merah padam dan terlihat bersalah. Apalagi beberapa ibu-ibu melirik mereka dengan ketus dan jijik. Terbukti kan kalau main urat dan kekerasan antar ibu-ibu itu jelek banget. Jadi, marilah ibu-ibu kita cinta damai saja ya. Jangan dikit-dikit marah dan adu otot. Semua masalah bisa diselesaikan pakai otak dan hati yang dingin. Tak patut! Betul betul betul? Ups, kebanyakan nonton Upin Ipin favoritnya Baby A. Glodak! Maafkan saya ya? “Jadi peristiwa kemarin itu tolong dijadikan pembelajaran, introspeksi diri, dan saya harap tak terjadi lagi. Jangan sampai ada ribut-ribut lagi apalagi di depan rumah saya nanti. Memalukan satuan, Bu. Memalukan diri Ibu sendiri. Ingat nama suami ada di pundak Ibu masing-masing. Istri adalah pakaian suami,” pungkas Mbak Rahman dengan suara lantang. “Jelas Bu?” sambungnya emosi. “Izin jelaasss, Bu,” jawabku mengikuti ibu-ibu yang lainnya. Semoga aja beneran jelas ya Buibu, jangan cuma merah-merah di bibir.                 Wejangan Bu Danyon selesai. Pasukan dibubarkan kecuali ibu-ibu kompi A, kompinya Abel, iya saya! Dengan senyuman lembut, kukomando ibu-ibu untuk berkumpul dan membentuk lingkaran. Persis acara mendongeng, tapi kali ini aku akan memberikan motivasi. Semoga aku bisa keluar dari zona nyaman dan memberikan wejangan yang terbaik untuk para ibu kompi A. Anehnya, Mbak Tania, ibu Danki B, tetap mendekat pada pasukanku? Mau apa? Mau ikutan kasih wejangan juga? Halo, tuh ibu-ibu kompinya sendiri bisa kan? Abaikan saja Nabilla! “Selamat sore menjelang senja, Assalamulaikum Wr. Wb, salam sejahtera untuk kita semua, Om swastiastu, Shaloom, apa kabar Ibu-ibu Ki A?” sapaku menggunakan sapaan beberapa agama untuk menghargai anggota Ki A yang beragama nonmuslim. Mereka menjawab sesuai dengan agama masing-masing. “Izin, baik Ibuuu,” jawab mereka semangat. Okay, aku makin semangat. Tapi sebelumnya kuminta Bu Guruh dan Bu Joni untuk duduk di sebelah kanan dan kiriku. Aku yakin bukan rahasia lagi bagi ibu yang lain. “Baik Ibu-ibu pasti sudah tahu kenapa saya kumpulkan ya? Tak banyak yang akan saya sampaikan kok. Pertama, saya minta maaf karena jarang mengadakan sharing dengan Ibu-ibu. Sehingga, saya mungkin tidak tahu banyak tentang ibu-ibu dan masalahnya. Mohon dimaklumi saya ibu muda dengan balita 1,6 tahun yang super aktif. Jadi saya belum begitu bisa membagi waktu. Tapi, akan saya coba perbaiki. Kedua, saya hanya ingin menambahkan wejangan Ibu Danyon tadi ya, pasti semua sudah mendengar, kan?” aku berbicara dengan suara keras tapi lembut. “Ibu-ibu kita kan hidup di dalam satu wadah yang namanya asrama kan? Nah, dalam satu wadah itu tak hanya satu jenis saja pasti beragam. Sama seperti akuarium yang punya banyak jenis ikan. Kita hidup berdampingan dengan suku, agama, keyakinan, adat istiadat, budaya yang berbeda-beda. Apa itu tak bisa disatukan? Tentu saja bisa kalau kita mau saling toleransi. Kita harus tanamkan kalau setiap tetangga punya kepribadian yang berbeda.” “Kita tidak bisa memaksakan 1 pendapat ke kepala orang lain. Kalau ada masalah sebaiknya diselesaikan bersama dengan kepala dingin. Benar kata Bu Danyon tadi bahwa kita ini sorotan masyarakat umum. Apa bedanya kita dengan IRT biasa? Bedanya, kita berseragam Bu. Kita IRT yang punya seragam hijau pupus lengkap dengan lencana. Maka setiap tindak tanduk kita pasti disorot masyarakat. Apakah Ibu-ibu mau dicap sebagai persit bar-bar? Persit preman? Tidak bukan?”                 Wejangan yang entah datang dari belahan otak mana itu meluncur lancar dari mulut kecilku. Tak kusangka ibu-ibu di depanku meresapi setiap kata-kataku. Bahkan, beberapa dari mereka ada yang menangis haru. Bu Guruh terlihat menunduk dan mengusap air mata di hidungnya. Sementara itu, Bu Joni hanya diam saja. Napasnya naik dan turun, seperti menahan emosi. “Jadi Bu Guruh dan Bu Joni, saya harap bisa mengambil hikmah dari peristiwa ini. Saya sebagai yang tertua di kompi A hanya bisa memberi wejangan dan pesan-pesan. Saya juga mohon maaf jika terkesan menggurui yang usianya lebih sepuh dari saya. Saya hanya ingin nama baik kompi A tetap terjaga,” ujarku merendah dan berusaha sebijak-bijaknya. “Dek, disuruh saling minta maaf dong ibu dua tuh!” celetuk Mbak Tania ikut-ikutan. Huft, bisa gak sih jangan sok tahu dan mendadak nyambar gitu kayak petir! Batinku. “Izin, iya Mbak,” jawabku pendek dan singkat karena malas komentar panjang lebar pada tetanggaku itu. “Saya harap Bu Guruh dan Bu Joni bisa saling bersalaman ya?” pintaku lembut. Bu Guruh sudah mengulurkan tangannya sambil melirik Bu Joni.                 Tetapi, Bu Joni tak demikian. Wajahnya masih menunduk dan napasnya makin cepat. Aku takut melihatnya? Apa dia sesak napas atau gimana? Apalagi dengan tiba-tiba ia berdiri tegap dan menatapku berapi-api. Mulutnya menggertak. Ya Allah, ibu satu ini kenapa sih? Aku takut kalau ada lelembut merasukinya. Kalau kubacakan ayat kursi gimana? Duh, gimana sih ini? “Izin Bu Erlan, saya mohon tidak menghalangi saya,” ujarnya berapi-api. “Maksud Bu Joni apa? Saya menghalangi apa?” tanyaku super bingung. “Bu, saya tidak suka urusan keluarga saya dicampuri. Saya gak mau meminta maaf ke bu Guruh. Saya gak sudi lihat wajahnya. Gak level sama saya!” ujar Bu Joni mulai marah. Ibu-ibu mulai menenangkan Bu Joni namun ditolak kasar. “Izin Bu Erlan, tolong minggir. Sakit hati saya harus dibalas urat!” ujar bu Joni yang membuatku jadi makin super duper bingung. “Dek, manggil suaminya ajalah! Mulai ribut nih!” halo, Mbak Tania jangan bikin aku tambah panik deh. Meleduk mulu kayak kompor. “Bu Joni, jangan Bu! Kasihan suami Ibu kalau sampai dipanggil Danki lagi apalagi Danyon. Kemarin kan sudah dapat teguran,” ujarku berusaha menenangkan Bu Joni memakai nama suaminya. Tapi tampaknya itu tak mempan. Bu Joni malah belingsatan mencari senjata yang dapat dipukulkan ke tubuh Bu Guruh yang merepet berlindung.                 And, ketemulah Bu Joni dengan helm motor miliknya yang duduk rapi di bangku kayu. Diacungkannya helm itu ke arah bu Guruh yang gemetar ketakutan. Ibu bertubuh subur itu berusaha mencari perlindungan. Pun dengan aku yang juga mendadak merinding disko. Bel, please cari aman dulu! Lupakan usaha untuk menenangkan kemarahan seseorang, apalagi emak-emak. Ingat kamu masih punya anak baby yang butuh ASI dan bapak muda yang butuh kasih sayang. “Sini kamu Irma!” teriak Bu Joni sambil memanggil Bu Guruh. Helm di tangannya teracung-acung menakutkan. “Ya Allah, Bu Joni tolong jangan begini. Jangan memakai kekerasan, Bu. Sakit hati ya sakit hati tapi jangan menakutkan ginilah,” ujarku meracau karena ketakutan. Tangan mungilku berusaha menahan amarah Bu Joni. Aku hanya takut kalau anggota berantem lagi dan mencoret nama kompi A, lagi. Mencoret nama baik Kompi A = mencoret wajah Kak Erlan.                 Bag! Deg! Bug! Suara apa barusan? Aku mulai tersadar ketika para ibu berteriak histeris sambil melihat wajahku. Hah? Ada apa lagi dengan wajahku? Tuhanku, Ya Illahi, suara itu tadi bukan berasal dari gebukan kasur melainkan gebukan helm yang mendarat di kepalaku, lagi. 3 kali Bu Joni memukulku dengan keras memakai senjata helmnya. Tak lama kemudian, kepalaku terasa ringan dan ada aliran dari pelipis. Mataku memicing dan melihat ada darah segar mengucur kecil dari kepalaku. Kerudung putihku berhias noda darah. Sudah kubilang kan Bel, cari aman! Sok jagoan sih! Insiden kepala ini dalam rangka apa sih? Surprise gitu? “Bu Erlan!” panggil suara-suara itu sebelum pandanganku gelap tak bersisa. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN