Bab 7 Be Humble

1577 Kata
                Pagi yang masih berkabut aku juga ikutan kalang kabut. Semalaman aku tak bisa tidur karena Aiyra mengajakku main bola hingga jam 2 malam sehingga pagi ini aku kalang kabut. Entah kenapa Baby A selalu kena sindrom insomnia kalau si papa kena jaga piket. Pukul 5 lewat 15 aku baru bangun dan cepat-cepat mengambil wudhu untuk salat subuh. Lalu aku mulai akrobatku di dapur. Pagi ini, aku akan memasak sop sayur makaroni dan perkedel kentang smoked beef untuk si papa serta pure labu dan jagung untuk Baby A. Untung saja Baby A masih lelap tidur jadi aku bisa leluasa memasak sambil mendengar lagu Indonesia terbaru. Iyalah Baby A masih lelap, secara jam 4 dia baru tidur.                 Keasyikanku memasak terhenti ketika sebuah ketukan pelan terdengar dari pintu samping yang berbatasan langsung dengan dapur. Aku memasang kerudung katun warna pink dan membuka pintu itu dengan pelan. Kulihat wajah Mbak Tania masih kucel entah karena apa. Di mulutnya tersungging senyuman yang entah maksudnya apa? Duh, dia beraksi apalagi kali ini? “Pagi Dek, lagi masak ya? Maaf nih Dek, Mbak boleh minta beras gak? Mbak kehabisan beras nih. Baru sadar pagi ini,” keluhnya memelas. Halo, bagaimana bisa gak tahu kalau kehabisan beras? Seharian ngapain aja. “Oh, iya Mbak. Ambil saja. Bawa tempatnya gak?” tanyaku perhatian dan tentu saja tak tega. “Bawa kok. Kira-kira minta sekilo boleh gak?” ujarnya yang membuatku kaget? Sekilo? Helo Abel, kan anggota keluarganya banyak. “Oh, iya Mbak gak apa-apa,” ujarku pasrah. Dengan cepatnya dia memencet tombol dispenser penyimpan beras di sebelah kulkas. Aku hanya meliriknya sambil mengaduk sop sayuranku. “Wah, masak apa Dek? Kayaknya enak tuh,” ujarnya yang pasti diikuti dengan kalimat… “Ngicip boleh?” Ya, kalimat ini. Aku tak tega menolak apalagi dia berkata bahwa Edo sangat suka dengan sop sayuran. Helo, emangnya dia gak pernah masak? Udahlah Bel, kasih aja biar cepet pergi juga. Hatiku bersahutan satu sama lain. “Iya Mbak,” ujarku pelan sambil mengambil mangkok kaca dan menuangkan sop itu hingga hampir penuh. Duh, suamiku saja belum makan udah ditransfer ke tetangga. “Hem, enak Dek. Tapi kurang gurih. Kamu gak pakai MSG ya?” Tuhan, masih sempat mencela juga. “Izin Mbak, saya gak pernah pakai MSG kalau masak,” ujarku pelan. Dia hanya membentuk huruf O dengan mulutnya lalu mengucapkan terima kasih dan pergi. Syukurlah. Be humble, Bel. Rendah diri Bel. Sabar Bel. Helo, ini aku udah merendah serendah-rendahnya. Hiks. Aku selalu menelan bulat-bulat setiap ejekannya. “Huwaaaaa,” suara Baby A menggema ke udara. Dia menangis dan memanggil mama kesayangannya. “Wait me, Sayang. Coming Dear!” ujarku berteriak sambil mematikan kompor dan berlari ke kamar.                 Kulihat dia sudah bangun dengan mata basah karena air mata. Ompolnya sudah memenuhi diaper sehingga itu membuatnya rewel. Iya sih, dengan kapasitas minum s**u sekuat Aiyra, dia memang pengkonsumsi diaper paling kuat. Hehe. Kugendongnya dengan hati-hati dan meletakkan badan gimbul itu di dadaku. Kuciumi bau khas bayi yang asam-asam segar itu. Aku tahu dia merindukan mamanya walau hanya terpisah beberapa jam.                 Setelah kuganti popoknya, kuletakkan dia di baby walker dan lanjut untuk menyiapkan sarapan papanya. Dengan cepat kuletakkan mangkok besar berisi sop dan perkedel. Walau tak rapi dan tak semanis waktu awal menikah, setidaknya meja makan rapi. Paling tidak Babang Erlan bisa membedakan mana vas bunga mana mangkok sayur. Setelah selesai, kuangkat Aiyra ke kamar mandi. Sebelum papanya turun dinas, Aiyra harus rapi dan bersih. Ya supaya si papa tak menceramahi Baby A dan mamanya. “Nah gini kan Dedek udah wangi, segar, seperti embun pagi. Ciluk baaa,” ujarku menimang anakku sembari mengoleskan minyak telon. Dia tersenyum ceria dan memperlihatkan kedua gigi depan mungil itu. “Ma ma ma. Da da yiu,” balasnya yang berarti ‘Dedek love you, Mama’. “Iya, Mama juga cintaa sama Aiyra. Mau pakai baju apa ya hari ini? Baju balet aja mau gak? Eh, jangan deh hawanya agak panas. Yang adem-adem aja ya,” ujarku sambil memakaikannya daster bayi tanpa lengan warna biru muda motif bebek. Dia setuju saja denganku. Anak itu gak mungkin mikirin aku bakal dipakaikan baju apa sama mama. Di pikiran Baby A hanya bermain, explore, s**u, biskuit, dan papa itu saja. “Selamat pagi, Assalamualaikum,” pecah sebuah suara perempuan dari pintu depan. Siapa nih yang bertamu di jam 7 pagi? Pasti sangat penting ya sampai harus datang ke rumahku sepagi ini. ---                 Aku bergegas menggendong Aiyra dan berjalan cepat ke ruang tamu. Lalu kuintip dari gorden putih renda dan kulihat ada Bu Guruh sedang terlihat cemas. Lekas kubuka pintu dan dia terlihat lega setelah melihat wajahku. Aku menyambutnya dengan senyum ramah dan mempersilahkannya masuk ke ruang tamu yang masih rapi. Kuletakkan Aiyra di karpet lahan bermainnya untuk berbicara 4 mata dengan istri dari Praka Guruh itu. “Izin Bu, sebelumnya saya mohon maaf karena mengganggu pagi-pagi. Saya terpaksa datang ke sini untuk mengadu, Bu. Saya sudah tidak tahan lagi,” buka Bu Guruh dengan mata berkaca-kaca. Loh, ada apa ini? “Loh, kenapa menangis, Bu?” tanyaku khawatir sambil menyodorinya selembar tisu. “Saya tidak tahan dengan kelakuan Bu Joni, tetangga sebelah rumah saya. Bu Joni selalu menghina saya dan keluarga, Bu. Hanya karena saya tidak menyekolahkan anak saya di PAUD asrama, saya dibilang miskin dan pelit. Padahal Bu Joni sering sekali meminta makanan pada keluarga saya. Puncaknya pagi ini, Bu. Mohon izin Bu, saluran air ke rumah saya digergaji sama suaminya.” Keluhan Bu Guruh mendadak mengingatkanku pada Mbak Tania. “Yang sabar ya, Bu. Saya tahu kesedihan Bu Guruh. Pasti berat sekali hidup dengan tetangga yang sifatnya tidak sama dengan kita. Tapi, Bu Guruh harus bisa sabar dan mengendalikan amarah. Apa penyebab Pak Joni menggergaji saluran air?” tanyaku berusaha menenangkan tangisnya. “Katanya saya pelit, makanya saya gak pantas pakai air yang sama dengan dia. Katanya saya juga suka ambil air, padahal itu tuduhan tidak benar, Bu. Saya tidak tahu kenapa Bu Joni sangat membenci saya,” ujar Bu Guruh sambil tersedu. Mendengar orang menangis, Baby A mendekati kakiku dan meminta pangku. Memang dia tak biasa mendengar suara tangisan selain tangisannya. “Sabar Bu. Mungkin ada masalah yang terlupa sehingga Bu Guruh dan Bu Joni sampai bermasalah,” ujarku berupaya menenangkan. Bu Guruh menggeleng tegas sambil tersedu. Aiyra turun dari pangkuan dan mengangkat kotak tisu. Baby A sungguh baik hati, dia menyodorkan tisu itu pada Bu Guruh. “Terima kasih ya Dek,” balas Bu Guruh sambil mengelus Aiyra. “Makanya tujuan saya ke sini selain untuk curhat yaitu saya ingin pindah rumah Bu. Saya ingin meminta pindah rumah ke Bapak Danki,” kata Bu Guruh sambil terisak. Ibu itu terlihat sangat terluka. Mirip seperti aku dan Mbak Tania. Bedanya, aku masih berusaha sabar. “Hei keluar kamu Bu Guruh!” teriak keras sebuah suara dari depan rumah. Jantungku hampir lepas. Langsung kugendong Aiyra dan aku berjalan keluar. Kulihat Bu Joni sedang menghardik Bu Guruh sambil memandang marah. Matanya penuh api kemarahan. “Sabar Bu Joni. Jangan emosi dulu,” cegahku. “Izin Bu, saya minta maaf kalau tidak sopan. Tapi, saya akan hajar perempuan tak tahu malu itu,” kata Bu Joni penuh kemarahan. “Aduh, gimana sih. Sabar dong Bu. Kita masih bisa bicara baik-baik,” ujarku berusaha menenangkan. Duh buibu, bisa santai gak? Di depan kalian nih ada ibu muda kurus belum mandi dan gendong balita yang mulai menangis loh. Hiks. Mana sih para suami nih? “Kamu itu yang tak tahu malu. Serakah! Air dipakai sendiri! Pakai nuduh saya lagi!” balas Bu Guruh sambil menunjuk Bu Joni. “Heh Irma, sini kamu! Beranimu cuma ngadu sama perwira saja!” ancam Bu Joni sambil mendekati Bu Guruh. Aku hanya bisa menghindar. Takut membahayakan diri sendiri. Apalagi aku sedang bersama Baby A yang menangis ketakutan. “Ada apa ini, Dek?” tanya Bang Yongki sambil menatapku. Aku tak bisa menjelaskan dan hanya bisa berlalu masuk ke rumah. Kucari ponsel untuk menelepon Kak Erlan. “Halo, Sayang. Bisa pulang ke rumah gak sekarang? Gawat Sayang,” ujarku setengah berteriak karena suaraku kalah dengan tangis Aiyra dan teriakan emosi bu Guruh dan Bu Joni. Kedua perempuan berusia 35 tahun itu malah sudah bergumul di tanah pasir di depan rumah. Rambutnya acak-acakan karena saling jambak. “Aduh, jangan berantem dong, Bu. Masyaallah. Semua masih bisa dibicarakan baik-baik,” ujarku sambil meletakkan Aiyra di bawah dan memisah mereka. Bang Yongki dan sopirnya saja tak mampu memisah perang antar ibu itu, apalagi aku? “Bu, sabar Bu!” teriak Bang Yongki sambil memisahkan kedua ibu berbadan subur itu. Tapi Bang Yongki malah kena cakar. Prada Jimi malah kena tendang. Suasana makin kalut saat Baby A makin menangis ketakutan. “Izin Bu, saya hormati Ibu. Tolong jangan campuri urusan kami,” ancam Bu Joni galak sambil menatapku tajam. Duh, Ibu, perempuan 24 tahun ini takut Bu. Hiks.                 Tak berapa lama kemudian, Honda Jazz RS Kak Erlan berhenti di depan rumah sambil membunyikan klaksonnya keras-keras. Hal itu membuat Baby A makin menangis dan sudah masuk ke tangisan tantrum. Ajaibnya kedua ibu yang bergumul itu malah berhenti dan saling menghela napas masing-masing. Apalagi setelah melihat kedua suami mereka datang dengan tergopoh. Para lelaki itu bingung dengan kejadian yang lebih mirip dengan Perang Dunia. Bahkan, suasana tadi lebih menakutkan daripada masuk rumah hantu. “Tenangkan Baby A. Aku urus mereka,” ujar Kak Erlan tegas sambil menggendong Baby A dan menyerahkannya padaku. Aku mengangguk lemas. Kini, baru kusadari kalau be humble itu sangat penting, perlu sekali dalam kehidupan bertetangga. ***  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN