Seminggu berlalu dan tiap hari Marcel mengunjungi Arvy di mansionnya. Sebenarnya Marcel tinggal di Eropa sekarang dan selama dia berada di Amerika, dia sebisa mungkin mengunjungi Arvy.
Tapi di balik itu, ternyata Marcel tertarik pada Vanilla dan mereka akan mengobrol beberapa menit di beranda depan sebelum Marcel pergi dari mansion.
Ya, selama itu pula Vanilla mulai mengenal sosok Marcel yang menurutnya sangat baik dan sama sekali tak sombong meskipun kini dia adalah seorang CEO sebuah perusahaan ternama di Eropa.
Hingga suatu saat, Arvy mengetahui hal itu dan membuat dirinya begitu kesal pada Vanilla. Dia menganggap Vanilla sengaja menggoda Marcel yang tiap hari mengunjunginya.
Kala itu ponsel Marcel tertinggal di sofa dan Arvy mengambil dan menyimpannya dan pelayan yang ada di dekat sana mengatakan sesuatu padanya bahwa Marcel masih ada di depan halaman mansion.
"Kalau begitu aku yang akan memberikannya pada Tuan Marcel, Tuan," kata Pelayan.
"Besok saja, dia pasti sudah pulang.”
"Tuan Marcel masih ada di beranda depan sedang mengobrol dengan Nona Vanilla seperti biasanya," sahut Pelayan.
"Biasanya? Apa maksudmu?" Arvy menautkan alisnya.
"Tuan Marcel dan Nona Vanilla selalu mengobrol di depan sembari mengantar Tuan Marcel ke halaman depan jika Tuan Marcel akan pulang, Tuan.” Pelayan menjelaskan apa adanya karena dia pikir ini adalah hal yang biasa.
"Berikan ponsel itu pada Marcel," perintah Arvy yang masih memegang gelasnya.
"Baik, Tuan.” Pelayan itu pun berbalik pergi.
Begitu pelayan itu pergi, Arvy melemparkan gelas yang dipegangnya hingga pecah mengenai pagar besi di depannya.
Pelayan yang tak jauh dari sana melihat hal itu dan mendatangi Arvy.
"Ada apa, Tuan?" Pelayan itu terlihat panik dan heran.
"Siapkan mobil. Aku ingin pergi ke Villa pantai," jawab Arvy dan beranjak dari sofa.
Pelayan itu akan memegang tangan Arvy tapi Arvy menolaknya.
"Tak perlu, aku masih bisa melihat cahaya meskipun samar.” Arvy berjalan perlahan menuju kamarnya dengan meraba dinding serta benda yang ada di sekitar sana untuk mengetahui letak kamarnya.
Pelayan itu masih ada di belakang Arvy hingga Vanilla muncul dari area ruang tamu dan melihat Arvy yang berjalan perlahan.
Vanilla mempercepat langkahnya dan berdiri di samping Arvy. Arvy menghentikan langkahnya karena aroma tubuh Vanilla tercium di rongga hidungnya.
"Kapan kau akan pergi dari sini?" tanya Arvy dengan wajah dinginnya.
"Sampai kau sembuh," jawab Vanilla.
"Aku muak padamu dan sekarang pergilah dari sini karena aku tak ingin kau di sini.” Arvy selalu berusaha mengusir Vanilla setiap hari.
Vanilla hanya diam saja karena dia sudah terbiasa mendengar kata-kata kasar itu dari mulut Arvy.
"AKU BILANG PERGI!!" teriak Arvy kesal dan melempat sebuah guci yang kebetulan ada di dekat tangannya.
Vaniila terkejut melihat hal itu dan Marcel yang masih ada di beranda depan mendengar keributan itu. Marcel masuk kembali dan melihat pecahan guci di depan Vanilla.
"Awas, Vanilla. Kakimu nanti terkena pecahannya.” Perhatian Marcel pada Vanilla semakin membuat Arvy marah.
"Pergi kalian semua!!" bentak Arvy.
"Ada apa, Arvy?" Marcel bingung.
Vanilla menggelengkan kepalanya pada Marcel agar tak ikut campur dalam hal ini.
Tapi Marcel justru mendekati Arvy dan Arvy mendorong d**a Marcel.
"Pergi!! Aku bukan orang cacat yang harus dikasihani!! Pergi kalian semua!!" teriak Arvy dengan sangat marah.
"Marcel, pulanglah. Please," bisik Vanilla memohon.
"Tidak.” Marcel takut Arvy akan menyakiti Vanilla karena terlihat labil.
"Kau tak boleh seperti ini, Arvy. Kau akan sembuh, bukan? Dan apakah kemarahanmu ini karena Vanilla? Bukankah itu sebuah kecelakaan yang tak disengaja? Mengapa kau masih marah padanya sampai saat ini?" Marcel sudah tahu cerita di balik kecelakaan Arvy dari Vanilla.
"Cih! Wanita itu mengadu padamu?? Apa yang dia katakan? Aku meminta tanggung jawab padanya? Sama sekali tidak, aku justru ingin dia pergi dari sini tapi dia tak mau. Dia ingin sesuatu dariku dan sekarang dia mengincarmu, Marcel!!" bentak Arvy.
"Apa maksudmu? Vanilla tak melakukan itu padaku. Aku yang mendekatinya, Arvy. Ya, aku menyukainya. Jika kau mengusirnya maka aku akan membawanya bersamaku.” Marcel menegaskan perasaannya itu pada Arvy.
Arvy tertawa getir mendengar hal itu.
"Kau memilih wanita itu daripada persahabatan kita, Marcel? Oh my God ... Wanita ini benar-benar racun.”
"Arvy!!" bentak Marcel.
"STOP!! Marcel pulanglah karena aku tak akan ke mana-mana. Aku akan selalu di sini.” Vanilla tak ingin ini menjadi semakin rumit dan membuat kemarahan Arvy semakin menjadi.
"Kau tak diperlakukan baik olehnya, Vanilla. Lalu mengapa kau bertahan di sini? Aku memang sahabatnya, tapi aku tak akan mendukungnya jika dia berlaku kasar padamu atau siapa pun tanpa alasan yang jelas," sahut Marcel dengan logikanya.
Lalu Arvy kembali berjalan dan meninggalkan mereka berdua.
Vanilla masih mengikutinya di samping meskipun sudah dibujuk oleh Marcel.
"Aku kecewa padamu, Arvy. Ini bukan Arvy yang kukenal.” Marcel tak suka melihat kekasaran Arvy pada Vanilla.
"Marcel, please, pulanglah. Jangan membuatnya semakin rumit. Aku mohon.” Vanilla memohon dengan suara lirih dan pandangan yang takut.
Marcel tak bisa melakukan apa pun karena Vanilla sendiri yang menginginkan hal ini.
"Hubungi aku jika kau tak kuat lagi, Vanilla," ucap Marcel yang sengaja dikeraskan suaranya agar di dengar oleh Arvy.
Arvy semakin marah dan menutup keras pintunya tapi Vanilla membukanya lagi lalu masuk ke dalamnya.
Marcel pun akhirnya berbalik pergi dengan perasaaan bimbang karena dia khawatir dengan keadaan Vanilla.