Aku segera menjauh membiarkan pria itu keluar dari persembunyiannya. Tubuh tinggi, putih bersih dan juga tampan. Aku akui dia memiliki wajah yang cukup manis, tapi tatapan sinisnya membuat aku jengkel.
Ia menatapku dengan mata jernih dan tajamnya. “Terima kasih atas bantuanmu,” ucapnya sembari membersihkan pakaian yang ia kenakan dari debu.
“Sebelum kamu pergi saya harus tahu kenapa mereka mengejar kamu?”
“Itu bukan urusanmu,” jawabnya singkat. Tanpa banyak bicara ia melangkah keluar lalu berhenti tepat di depan plang nama yang terpasang di depan. Pria itu tersenyum tipis lalu beralih menatapku yang kini berada di ambang pintu.
“Orang gila mana yang mau menambah beban hidupnya dengan menikah? Ck!” ujarnya lalu beranjak pergi. Aku tidak mengerti kenapa ia sangat kesal dengan pernikahan.
“Kenapa ada orang seperti itu? Pasti dia punya trauma dalam pernikahan,” gumamku lalu kembali masuk untuk membereskan semua kekacauan yang terjadi.
***
“Bagaimana hari ini?” tanya Denis setelah duduk di belakang kemudi. Aku belum menceritakan kejadian tentang pria asing itu.
“Banyak yang mau aku ceritain sama kamu,” ucapku membuat Denis tersenyum tipis.
“Baiklah aku siap mendengarkan ceritanya. Mau mulai dari mana?”
“Klient pertama aku hari ini, ternyata masih SMA. Mereka mau nikah setelah lulus nanti,” ujarku. Denis mulai menjalankan mobil sembari mendengar setiap curhatanku.
“Mungkin bagi mereka menikah itu mudah, tapi menikah tidak sesederhana ini,” lanjutku membuat Denis menoleh sekilas.
“Kamu takut nikah?” tanya Denis seakan mengerti pemikiranku. Jujur saja kejadian beberapa tahun lalu masih membekas di pikiranku. Walau hampir setiap hari aku membantu orang yang akan menikah, tapi rasanya masih belum siap untukku melangkah lebih jauh.
“Aku hanya butuh keberanian dan rasa nyaman,” jawabku. Denis meraih tanganku lalu menggenggamnya erat.
“Apa yang perlu aku lakukan agar kamu yakin dan percaya sama aku?” Aku segera menggeleng.
“Gak ada. Kamu gak perlu melakukan apa pun, Denis. Aku tahu kamu tulus mencintai aku, tapi bagaimana dengan keluargamu?”
“Ayo temui keluargaku nanti setelah aku pulang dari luar kota. Aku akan sering-sering mempertemukan kamu dengan mereka.” Denis mencium punggung tanganku.
“Terima kasih sudah sabar menungguku.” Denis mengulas senyumnya lalu kembali fokus berkendara. Kami terlalu asyik bercerita sampai aku lupa menceritakan orang asing yang datang ke tempat kursus.
“Sayang, mau nginep gak malam ini?” tanya Denis ketika berhenti di lampu merah.
“Emang boleh?”
“Kenapa gak boleh?”
Kutatap dirinya yang masih fokus ke depan. “Kamu gak takut kalau terjadi sesuatu?”
Kali ini Denis menatapku. “Kita sudah dewasa jadi kenapa takut?” Kedipan matanya membuat wajahku memanas. Walau Denis sering menggodaku, tapi tidak sedikit pun ia melakukan hal di luar batas yang kutetapkan.
“Aku mau masak makan malam buat kamu,” ujarku menyetujui usulannya menginap.
“Siap calon istriku yang cantik.” Tampak binar bahagia di wajah Denis. Dia membawaku mampir ke supermarket membeli kebutuhan makan malam. Dia tampak senang setiap kali aku akan memasak untuknya.
“Kalau kita nikah nanti aku mau belanja bulanan bareng kayak gini,” ucapnya sembari mendorong troli.
Aku terhenyak mendengar ucapannya. Di pernikahan yang dulu jangankan belanja bersama, untuk makan berdua saja susah. Mantan suamiku sangat sibuk bekerja, kadang saat pulang ke rumah dia sudah makan bersama temannya di luar sehingga tidak sempat makan berdua denganku.
Entah mengapa aku merasa terabaikan oleh sikapnya. Walau sering kali ia mengatakan tidak ingin merepotkan diriku untuk mempersiapkan makan malam, tapi sejujurnya aku sangat senang melakukan itu. Lebih baik aku lelah memasak tapi dia menghargainya dari pada dia makan di luar bersama teman-temannya.
“Kenapa kok melamun?” tanya Denis ketika aku terdiam cukup lama.
“Enggak apa-apa, aku juga mau belanja bareng kamu tiap bulan,” sahutku. Selesai membayar semua bahan makanan di kasir kami melanjutkan perjalanan ke apartemen. Denis membawa semua barang-barang ke dapur lalu aku mengikutinya. Semua ruangan di apartemen ini sudah kuhafal sehingga tidak asing lagi bagiku.
“Aku mandi dulu, ya, Sayang,” pamit Denis setelah semua bahan makanan di letakkan di atas meja tak lupa ia pun memakaikan aku celemek sebelum meninggalkan dapur.
“Andai aku bertemu dia lebih awal mungkin saat ini kita sudah berumah tangga. Aku tidak perlu terpuruk bertahun-tahun,” gumamku menatap punggung Denis yang kian menjauh. Tidak ada yang bisa kusesali lagi. Masa lalu telah memberiku pelajaran yang berharga hingga aku bisa menjadi seperti hari ini. Bertahan dengan segala rasa sakit dan belajar untuk melepaskan adalah sesuatu yang sulit untukku. Sampai aku bertemu Denis yang perlahan menyembuhkan luka hatiku.
Bel apartemen berbunyi ketika aku masih sibuk di dapur. Kumatikan kompor untuk membuka pintu apartemen. Alangkah kagetnya aku melihat seorang wanita paruh baya berdiri di depanku. Tubuhku bergetar ketika wanita itu menatapku lekat.
“Aulia,” pekiknya membuat aku kaget.
“Ya ampun Aulia, tante sudah lama ingin ketemu kamu, tapi Denis selalu gak ada waktu buat jemput kamu,” ucapnya membuat aku terdiam kaku.
“Mana si Denis? Tante mau ketemu.”
Aku masih mematung ketika mama Denis masuk ke dalam apartemen. Jantungku berdebar kencang belum siap bertemu calon mertua.
“Tante mau saya buatkan teh hangat? Cuaca di luar pasti dingin,” ujarku.
Mama Denis duduk di sofa sembari menyilangkan kakinya. Dia tidak menjawab, tapi justru mengendus-endus.
“Kamu masak,ya?” tanyanya. Aku mengangguk pelan.
“Tante boleh ikut masak gak? Denis itu suka banget masakan rumah dijamin dia makin cinta sama kamu,” ujarnya lalu beranjak ke dapur. Aku bergegas mengikutinya dari belakang. Mama Denis bukan tipikal ibu-ibu yang suka berkomentar banyak untuk masakanku. Dia bahkan memuji masakanku. Tidak butuh waktu lama untuk kami akrab. Beginilah rasanya memiliki ibu mertua? Bahkan aku sendiri belum pernah merasakannya.
Mama Denis begitu baik padaku, senyum tulusnya membuat aku merasa tenang. Mungkin kebaikan hati Denis diturunkan dari ibunya. Setiap gerakan yang ia lakukan membuat aku terkesima. Sederhana dan keibuan itulah hal yang aku lihat dari sosok wanita paruh baya ini.
“Ini pertama kalinya Denis bawa pacarnya ke apartemen, biasanya hubungan dia gak pernah awet sama mantan-mantannya. Kamu tahu sendiri Denis sibuknya kayak apa,” ucap mama Denis.
“Tante gak keberatan kalau aku nginep di sini?” tanyaku membuat Tante Delia menatapku.
“Gak apa-apa, tante percaya kalian bisa jaga diri. Sudah dewasa kepleset dikit gak ngaruh,” jawabnya sambil tersenyum penuh arti.
“Tante juga pernah muda, tapi jangan sering-sering keplesetnya.” Kerlingan mata Tante Delia membuat pipiku memanas. Dia menerimaku dengan hangat walau tahu statusku seorang janda. Ia tidak mempermasalahkan kegagalanku sebelumnya. Bahkan aku tidak pernah merasakan kehangatan seorang ibu.
“Tante,” panggilku membuat Tanten Delia menoleh.
“Aku boleh peluk tante gak?” tanyaku. Senyumnya perlahan memudar sejenak dan setelah itu Tante Delia merentangkan tangannya.
“Sini tante peluk.”
Seketika air mataku tumpah dalam pelukan hangatnya. Ini pertama kalinya aku merasakan dekap hangat seorang ibu. Usapan tangan di punggungku membuat tubuhku terasa nyaman. Rasanya aku tidak ingin kehilangan moment berharga ini.
“Sayang.”