Ingin Punya Anak

1134 Kata
“Apa yang harus saya lakukan agar kamu mau menerima saya bekerja di sini?” Kuhela napas dalam-dalam. Antara sedih dan jengkel bercampur aduk dalam benakku. Wajahnya kini memelas membuat aku tidak tega mengusirnya. “Kamu benar mau kerja?” tanyaku. Dia mengangguk ooenuh semangat. Awal mula bertemu dia tampak tidak menyukai tempat ini, tapi sekarang ia bersikeras ingin bekerja. “Aku butuh CV dan identitas kamu,” ujarku membuat Kendrcik berdiri lalu duduk kembali di tempat sebelumnya. “Kamu bisa bertanya padaku semua pengalaman kerjaku.” “Tapi aku butuh dokumen ….” “Tolong saya sekali saja. Saya tidak mungkin pulang ke rumah mengambil sertifikat bekerja atau pergi ke tempat pengetikan untuk membuat data diri,” ujarnya. “Kenapa tidak mungkin?” “Karena aku tidak punya uang,” jawabnya jujur. Aku tidak bertanya lagi lalu melirik komputer yang ada di meja Mia. “Kamu bisa menggunakan komputer itu. Aku akan menerima orang bekerja di sini kalau sudah ada identitas yang jelas,” ujarku. Kendrick menatap komputer yang ada di meja Mia. Ia lalu bergegas menyalakannya dan mulai mengetikkan data diri. Melihat tangannya begitu lincah bermain di atas papan ketik membuat aku curiga kalau dirinya bukan orang sembarangan. Kendrick sangat misterius. Tidak butuh waktu lama Kendrick sudah mencetak data dirinya pada selembar kertas. Dia lalu berjalan mendekatiku dan memberikan CV yang ia buat. Aku tertegun membaca pengalaman kerjanya. “Kenapa tersenyum seperti itu?” tanya Kendrick setelah aku meletakkan kertasnya di atas meja. “Pengalaman kerjamu luar biasa. Ketiga perusahaan itu adalah perusahaan besar pasti gajinya juga besar dan aku tidak bisa memberi gaji sebesar itu jadi lebih baik kamu cari tempat kerja lain.” “Saya tidak mempermasalahkan gaji yang penting saya bisa bekerja di sini. Saya juga punya pengalaman kerja di warung makan, di tempat hiburan dan kaki lima.” “Hah? Kaki lima? Kamu pernah kerja di kaki lima?” Kendrick mengangguk dengan senyum lebarnya seakan dia bangga bisa bekerja di tempat itu. Aku terdiam sejenak mempertimbangkan untuk merekrutnya. Sejujurnya aku tidak terlalu membutuhkan karyawan baru. Sudah bekerja dengan Mia. “Saya akan melakukan yang terbaik,” ucapnya dengan penuh keyakinan. “Baiklah kamu bisa bekerja hari ini. Tugas pertamamu adalah membersihkan ruangan, halaman depan dan menata tanaman. Rumput di halaman depan mulai tinggi, kamu bisa memangkasnya,” jelasku membuat Kendrick mengerutkan alisnya. “Aku harus menyapu?” Aku mengangguk membenarkan ucapannya. Pria itu seketika mengeluarkan ponselnya dari saku. Yang membuat aku heran adalah ponselnya lebih bagus dari milikku. Harusnya aku yang lebih kasihan pada diriku sendiri. “Ponselmu bagus,” sindirku membuat dia segera menutupi label ponsel mahalnya. “Ini palsu.” “Walau palsu harganya pasti jutaan.” “Tidak, case-nya saja yang merek terkenal, di dalamnya bukan mesin ori lagi. Ayolah, siapa yang peduli dengan perangkat lunaknya. Orang-orang hanya melihat luarnya saja. Tampilan luar sudah cukup untuk bergaya.” Aku kembali menyesap teh di tanganku hingga habis tak tersisa. “Kamu lagi nyari apa sih serius banget.” “Saya lagi nyari tutorial cara nyapu.” Kendrick tampak serius melihat ponselnya. Ia lalu beranjak ke pojok ruangan di mana ada sapu yang bersandar sendirian. Tanpa melepas tatapannya dari layar ponsel, Kendrik mempraktekkan cara menyapu. Tampak wajahnya sangat kebingungan ketika memegang sapu. Gerakannya kaku dan pelan seakan memastikan debu-debu lantai sudah benar-benar bersih. “Kamu benar-benar tidak tahu cara menyapu?” tanyaku heran. Aku pikir dia bercanda. Kendrick menatapku dengan wajah polosnya. Ia mengangguk pelan membuat aku menggeleng heran. Kurebut sapu yang ada di tangannya mengabaikan sejenak video tutorial yang masih diputar. Kuberikan contoh cara menyapu agar Kendrick tidak kebingungan lagi. “Gampangkan? Sekarang giliran kamu.” Kendrick menerima sapu itu lalu mengikuti contoh yang kuberikan tadi. Gayanya yang kaku membuat dia terlihat seperti robot otomatis. Aku ingin tertawa melihat wajah dan gerakan tangannya yang sama-sama kaku dan serius. Aku belum pernah melihat orang menyapu seserius ini. “Hei jangan menertawai orang yang baru belajar.” Kendrick tampak kesal membuat aku dengan cepat mengulum tawaku. “Ternyata pengalaman tidak menjamin orang bekerja dengan baik,” sindirku membuat dia menghela napas. “Di tempat kerja yang dulu saya tidak pernah menyapu.” “Terus kerjaanmu apa?” “Keliling-keliling sambil bawa minuman,” jawabnya. “Tapi setidaknya kamu pernah memegang sapu. Sudahlah aku tinggal dulu. Selamat bekerja.” Baru saja aku duduk menyalakan laptop untuk menyiapkan materi tiba-tiba Mia datang dengan wajah shock seperti mendapakan hadiah kejutan. Mia berjalan cepat lalu duduk di hadapanku. “Mbak, benaran mas-mas yang nyapu di depan itu kerja di sini?” tanya Mia setengah berbisik. “Dia karyawan baru tolong dibantu ya Mia. Kasihan dia gak punya pekerjaan,” ucapku. “Siap Mbak, kalau cowoknya seganteng itu saya siap direpotkan 24 jam,” sahut Mia penuh antusias. “Kayaknya dia gak bisa kerja kamu ajarin dia cara nyabut rumput terus nyiram tanaman di depan, ya.” “Benar gak bisa Mbak? Agak aneh sih orangnya. Dari penampilannya emang gembel sih, tapi wajahnya ninggrat. Apa jangan-jangan ….” Kutoyor keningnya si Mia agar berhenti menghayal seperti di film-film. Untuk apa Kendrick menyusahkan hidupnya dikejar penagih hutang dan tidur beralaskan kardus di depan pintu. Orang kaya mana yang mau hidup susah. “Sudah jangan banyak mikir yang enggak-enggak lebih baik kamu kembali bekerja dan bantu si Kendrick.” “Oh namanya Kendrick. Bagus banget namanya. Gak apa-apa deh kerjaannya CS yang penting bisa perbaiki keturunan,” gumam Mia yang masih bisa kudengar jelas. Mia tampak bahagia sepanjang hari meski Kendrick sering meminta bantuannya. Bahkan sebelum Kendrick meminta Mia sudah menawarkan bantuan dengan inisiatif sendiri. “Mia … Mia, cepat banget kamu suka sama orang,” gumamku saat melihat mereka berdua mencabut rumput di halaman depan. Kendrick tampak malas-malasan berbeda sekali dengan Mia yang antusias. Mungkin dari semua rumput yang tercabut sebagian besar dilakukan oleh Mia. Ponselku bergatar satu pesan dari Intan yang membuat aku tersenyum. “Hasil USG hari ini. Semua organ anakku sudah lengkap.” Tulisnya pada keterangan foto yang Intan kirim. Betapa bahagianya Intan dan Vian menyambut anak pertama mereka. Aku bersyukur bisa menjadi bagian dari kisah mereka sejak SMA. “Jadi pengen punya anak. Kapan ya aku dipanggil mama?” gumamku. Ada perasaan sakit yang menyelimuti hatiku. Rasanya seperti diremas kuat sampai aku tidak bisa bernapas. “Jika aku diberi kesempatan menjadi seorang ibu aku berjanji tidak akan membuat anakku kekurangan kasih sayang,” gumamku. Teringat bagaimana kedua orang tuaku selalu mengabaikan diriku. Mereka ada, tapi kami tidak pernah dekat. Bicara pun hanya seperlunya dan yang paling menyedihkan adalah kami tidak pernah berlibur bersama. Mama, papa terima kasih telah merawat dan membesarkan aku hingga menjadi Aulia yang seperti sekarang. Walau kita tidak pernah bertemu lagi, tapi aku akan terus berdoa untuk kebahagiaan keluarga kalian. Terima kasih telah menjadi orang tuaku dan mengajarkan tentang kehidupan yang keras ini. Ma, Pa, anakmu rindu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN