5. Stalker

1372 Kata
Kali ini Arya ingin mendekat dengan cara yang tepat. Tanpa paksaan atau debat yang dulu pernah membuat ia dan perempuannya sama-sama tersesat. Jadi sesuai dengan yang dikatakan Alisha saat pertemuan pertama mereka setelah lebih dari dua tahun. "Aku sibuk selama seminggu ini, nggak bisa diganggu." Arya menurutinya. Selama tujuh hari ia menahan rasa untuk kembali beredar di sekitar ruang lingkup Alisha. Sungguh, baru kali ini Arya bersedia belajar sabar demi memperbaiki kesalahan yang pernah ia perbuat pada Alisha. Dan sekarang tepat pada hari ketujuh ia bersembunyi di balik bayangan Alisha, Arya berencana kembali menemuinya. Iya, sudah cukup satu minggu ini Arya dibuat cemburu dan panas hati saat membuntuti Alisha kesana kemari yang lebih banyak dihabiskan dengan Danesh, pria yang pernah menolong Alisha beberapa tahun silam. Arya sengaja tak menampakkan diri, namun ia berlakon bak remaja labil yang berubah menjadi penguntit karena selalu ingin membuntuti gadis incarannya. "Pak, file yang terakhir sudah saya cek ulang dan sudah dikirim email Pancaloka. Kata asisten Pak Anwar, paling lambat hari senin sudah ada kabar tentang tawaran kita." Suara Danu, asisten pribadinya yang baru menarik fokus Arya yang tadi sempat melanglang buana. "Good," respon Arya singkat karena ia baru ingat kalau belum mematikan laptopnya. "Kalau begitu kamu boleh pulang duluan." Arya mengamati arloji di pergelangan tangannya. Sudah jam lima lebih, pekerjaan juga sudah selesai semua, jadi ia tak punya alasan untuk menahan Danu lebih lama di kantor karena ia sudah punya rencana lain yang berkaitan dengan kehidupan pribadinya. "Siap, Pa—" "Iya sih, saya sudah bapak-bapak, tapi saya risih kalau kamu panggil seperti itu, Nu. Saya belum setua itu untuk jadi bapak kamu kan?" potong Arya kembali menyerukan protes. Padahal ia tak keberatan jika ratusan pegawai di gedung ini memanggilnya dengan sebutan 'Pak'. Namun untuk Danu pengecualian, sebab pemuda itu akan menghabiskan banyak waktu setiap harinya dengan Arya, karena itulah Arya ingin hubungan keduanya tak terlalu kaku seperti staff yang lain. "Ba- baik, Mas," ralat Danu pada akhirnya. Belum ada satu bulan ia bekerja, jadi ia hanya bisa mencari jalan aman untuk kepentingan karirnya. "Perlu saya hubungi Pak Yono untuk siapin mobil, Mas?" Danu mengeluarkan ponsel, sudah siap menghubungi supir pribadi Arya. "No, nggak usah. Yoshi sudah nunggu di bawah." Sejak hari pertama kembali ke Indonesia Arya kembali mempekerjakan Yoshi sebagai pengawalnya. Bukan tanpa alasan, sebab ia dan Yoshi sudah saling cocok setelah mengenal satu lama lain selama tahunan. Berbeda dengan Danu yang baru ia kenal dalam hitungan hari. "Settdah, Boss, kayak nggak ada cewek lain aja sih di dunia ini," komentar Yoshi diselingi gelak kecil ketika keduanya sudah berada di dalam mobil yang sama. “Elo nggak tau rasanya jadi gue, Yosh.” "Jangan deh, Boss. Jangan sampe ngerasain drama kayak si Boss sama Alisha. Mending—" Yoshi mengendikkan bahunya bersamaan. "Gue kangen sama anak gue, Yosh. Magika. Pasti dia cantik banget, udah seumuran sama Mika." Arya menoleh ke arah kiri, menatap jalanan ibu kota yang kembali padat merayap menjelang akhir pekan seperti sore ini. Benaknya penuh dengan tebakan akan wajah putri kecilnya yang sudah dua tahun lebih tak bisa ia temui. "Dua setengah tahun dong, Boss?" Yoshi memastikan lagi. Ia tahu siapa sosok yang disebut Mika itu adalah putri pertama Senopati, sekaligus cucu pertama dari trah Dwisastro. Mika dan Magika lahir di hari yang sama, hanya berbeda beberapa jam saja. Karena itulah, setiap Arya melihat Mika, pikirannya juga otomatis teringat pada putrinya sendiri, Magika. "Hmm," Arya mengangguk sekali. "Gue penasaran, sekarang dia lebih mirip Alisha atau lebih mirip sama gue," gumam Arya lantas tersenyum tipis saat mencoba membayangkan wajah mungil putrinya. "Karena itu, Boss mau deketin Alisha lagi? atau sekedar kangen sama Magika?" "Sama Alisha juga, tapi ... gue khawatir dia bakal menghindar seperti beberapa hari lalu." "Dicoba aja lagi." Arya mendecak lidah sekali. "Ya iyalah, lo kira gue bakal nyerah gitu aja apa? makanya sekarang gue nyuruh lo nganter gue ke Pilar. Itu semua demi ketemu dia lagi." Yoshi langsung meringis lebar sambil menegakkan punggung. "Siap, Boss." Arya memutar bola matanya malas. "Sepertinya menemui Alisha di sana akan lebih kondusif daripada di kantornya seperti minggu lalu." Putra bungsu Adiyatma Dwisastro itu akhirnya menyadari tindakannya mencari Alisha ke tempat kerjanya seperti pekan lalu bisa saja membuat Alisha tidak nyaman. Oleh karena itulah ia rela membuntuti kegiatan Alisha selama beberapa hari terakhir. Hingga akhirnya ia mengetahui kegiatan Alisha di luar kantor adalah menerima pekerjaan melukis abstrak di tempat lain. Salah satunya di cafe Pilar yang akan ia kunjungi saat ini. "Terus tugas saya gimana, Boss? jadi supir aja nih?" Yoshi memutar kemudi ke arah kanan saat menyadari kemacetan di depannya semakin menjadi. Arya mendesah panjang. Terutama saat menyadari tugas yang akan ia berikan pada Yoshi adalah tugas yang terdengar kekanakan sekali. "Bukan." "Terus apa tugasnya, Boss?" desak Yoshi terdengar bersemangat. Dua tahun berhenti menjadi pengawal pribadi Arya ternyata membuatnya merindukan pekerjaan tersebut. "Tolong bantu gue cari tahu ada hubungan apa antara Alisha dan Danesh," seru Arya tanpa sadar mengepalkan tangan. Teringat kedekatan Alisha dan Danesh yang sempat terekam oleh netranya selama seminggu ini. Danesh yang rajin mengantar dan menjemput Alisha ke kantor setiap hari. Belum lagi saat akhir pekan lalu Danesh mengantar Alisha ke Banten usai perempuan itu menyelesaikan gambarnya. "Danesh yang.." Yoshi menaikkan satu alisnya saat mencoba mengingat-ingat. "Cowok yang nolongin Alisha dulu, ternyata dia kenal sama Mas Awan. Gue terganggu banget sama kedekatan mereka." Arya mengerang kesal. "Cemburu, Boss?" "Ya menurut lo!?" seru Arya memelotot tajam ke arah Yoshi. "Maaf." Yoshi sontak mengatupkan bibir tak berani menyanggah apapun. Lantas sisa perjalanan keduanya hanya dilalui dalam keheningan. Yoshi enggan mengajukan pertanyaan yang berpotensi membuat atasannya kesal lagi. "Kita sudah sampai, Boss." Yoshi melirik sekilas ke samping di mana Arya sedang menyandarkan kepala sambil menutup mata. Arya mengerjap sesaat lantas mengedarkan pandangan ke segala arah. Ternyata benar, mereka berdua sudah sampai di area parkir Pijar Coffee, salah satu cafe yang sedang menggunakan jasa Alisha untuk membuat lukisan abstrak untuk diletakkan di salah satu sudut dindingnya. "Sepertinya Alisha sedang sendirian di lantai dua," imbuh Yoshi mengendikkan dagu ke arah cafe, di mana lantai duanya nampak jelas dari kejauhan. Suasana lengang di lantai dua yang hanya dikelilingi dinding kaca membuat sosok Alisha nampak begitu jelas dari tempat mereka. Alisha yang sedang fokus menyelesaikan karyanya tentu saja tak mengetahui kalau sosoknya tengah menjadi pusat atensi. “Lo tinggal duluan aja, Yosh. Nanti gue balik panggil taksi,” titah Arya sambil melepaskan sabuk pengaman tanpa melepas fokus dari Alisha yang tengah membelakanginya. “Siap, Boss, gue langsung cari tau tentang mereka berdua deh, paling lambat besok gue kasih laporan.” Arya hanya mengangguk sekali lalu melangkah santai menuju café kekinian yang sejak beberapa lalu menjadi tempat favorit terbarunya. Tak mengindahkan Yoshi yang sudah melajukan mobilnya keluar dari area coffee shop. “Frappucino sama Croffle-nya satu, lantai dua ya,” pesan Arya pada salah satu pramusaji café yang menyambut kedatangannya. “Tapi lantai dua sedang direnovasi, Kak. Mungkin tertarik menempati area out door kami di sebelah?” Pramusaji tersebut tersenyum manis saat menawarkan tempat lain sambil menunjukkan halaman mereka di sebelah barat. “No, saya di atas aja.” Arya masih bertahan dengan keinginannya. “Tap—” “Saya kenal dengan perempuan yang sedang melukis di atas, jadi saya tunggu pesanan saya di atas,” pungkas Arya langsung melenggang menaiki tangga di sebelah meja kasir. Begitu sampai di lantai dua, Arya sengaja duduk di bangku yang tak jauh dari tempat Alisha. Perempuan cantik itu sedang fokus menarikan jemarinya ke sana kemari sampai tak menyadari kedatangan Arya yang memerangkap gerakannya sedari tadi. Sampai saat pramusaji datang dan membuat Alisha keheranan. “Saya nggak ada pesan, Mbak, minuman saya masih banyak,” seru Alisha sambil tersenyum saat menyapa pramusaji yang berjalan mendekat. “Hmm, ini pesanan Mas-Mas yang di sana itu, Mbak,” jawab gadis muda itu sambil mengendikkan dagu ke belakang punggung Alisha. Begitu Alisha menoleh, senyum manis yang tadi melengkung di sudut bibirnya lesap seketika. “Arya?” ucapnya mengernyitkan kening. Menyadari keterkejutan Alisha, Arya justru mengusap leher belakangnya salah tingkah. “Eumm, maaf. Nggak bermaksud mengganggu, aku hanya … ummm, sangat menikmati kegiatan kamu melukis seperti tadi.” “Ka- kamu buntuti aku?” Arya tersenyum rikuh. “Sudah satu minggu berlalu, kamu … kamu udah nggak terlalu sibuk kan?” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN