POV Vina
(Kopi Sepesial)
'b******k banget si Rani. Gue kerjain mampus lo. Lah, mau bertingkah kaya apa sebagai nyonyah di rumah ini, aku tak peduli. Aku akan tetap tinggal disini sampai kami dapat-kan hak kami.'
"Vina! Cepatan kopinya lelet banget!" teriaknya.
"Hem, Lo minum nih, kopi campur air liur gue! Bagus gue lo jadiin babu. Gue bisa leluasa kasih racun buat lo."
"Vin lagi ngapain?" tanya Mas Anton. Mengagetkan saja.
"Ini istri pertama-mu minta dibuatin kopi. Aku kerjain saja!" jawabku singkat.
"Kamu kerjain gimana?" tanyanya.
"Aku kasih air liur! Ini kopi sudah kecampur sama air ludahku. Habis kesal."
"Jangan seperti itu, Vin. Meski begitu dia istriku."
"Tapi dia itu sudah tidak menganggap, Mas suaminya! Sudah biarkan saja!" Mas Anton terdiam.
"Vina! Lama banget sih! Cepetan!" Ya Tuhan, bikin geregetan saja manusia satu ini.
"Mas, orang gila sudah teriak-teriak. Aku antar kopinya dulu." Meski sudah kucampur air liur pun, aku masih tak ikhlas dengan perlakuan-nya.
"Ini, Bu," ucapku seraya meletakkan kopinya. 'Cepat minum, Rani. Aku mau lihat kau meminum air liurku. Biar mampus kau!'
"Lama sekali kamu! Ngapain saja di belakang!" Betul-betul menguji kesabaran.
"Bikin kopi lah buat kamu! Aneh kamu! Kamu minta kopi tapi tidak mau nunggu! Dasar sinting!" ketusku kesal.
Plak!
Satu tamparan melayang di pipiku. Sakit dan panas rasanya.
"Sudah kubilang, bukan? Jaga etika-mu kalau mau tinggal di sini!" ungkitnya. Ya, bagus. Ungkit saja terus! Dasar perempuan gila tak tahu diri.
"Mas Anton!" panggilannya. Mas Anton datang menghampiri kami.
"Ada apa?"
"Coba kamu minum kopi buatan istrimu. Aku sudah tidak ada mood untuk meminumnya," ucap Rani membuatku membulatkan mata.
"Aku tidak mau minum kopi," tolak Mas Anton.
"Loh, kenapa, Mas? Bukankah kamu paling suka kopi? Apalagi ini masih panas. Ayok, Mas minum." Mas Anton menatap wajahku. Aku diam saja pura-pura tidak terjadi apapun.
"Aku suruh minum kopi! Bukan suruh kalian berpandangan!" Tahan emosi, Vin.
"Aku tidak mau! Bukankah kamu yang minta dibuatkan kopi!" kesal Mas Anton.
"Iya, tapi tadi. Sekarang aku tak bernafsu. Kenapa menolak? Kalian kasih racun ya?" tuduhnya.
"Jangan sembarangan nuduh kamu! Bisa kena undang-undang pencemaran nama baik. Aku tuntut!" bentakku.
"Kalau begitu, coba kamu minum dan habiskan." Astagfirullah, hhhoooekkk! Mana mungkin aku meminumnya.
"Cepat minum, kalau memang tidak ada racunnya!" Ya ampun, sungguh aku melakukan ini karena terpaksa.
"Kamu lihat ya, aku akan minum kopi ini!" ucapku seraya meraih cangkir kopi di tangannya. Kulirik wajah Mas Anton, nampak bergidik jijik.
"Habis 'kan! Lihat ini! Aku tidak memberimu racun!" kesalku. Tak lama aku tidak bisa menahan mual di perutku. Segera aku berlari ke kamar mandi.
"Hhooek, hhhooeek, hhhoooekkk!" Kumuntahkan semua kopi yang telah tertelan.
"Tuh 'kan benar. Kopinya kamu kasih racun ya? Ayok ngaku!" Suara Rani membuatku kaget.
"Gila kamu aku kasih kamu racun? Sadar dong! Aku ini perempuan normal! Sempurna! Tidak seperti kamu! Paham 'kan maksudku? Bisa saja, ini tanda kalau aku hamil!"
CK!
"Aku bukan perempuan mandul seperti kamu!" cibirku. Rani terdiam.
"Betul kata, Vina, Rani! Dia perempuan sempurna. Tidak seperti kamu! 4 tahun menikah tidak juga memiliki anak! Coba kamu cek ke dokter, barang kali kamu memang tidak sehat," imbuh Mas Anton.
"Kasihan, kamu, Rani! Kamu punya semua harta suamiku. Tidak masalah! Tapi aku memiliki cinta utuh suamimu. Cinta suamimu yang tidak bisa kamu miliki seutuhnya. Lebih sakit mana? Percuma kalau banyak uang, tapi tak memiliki cinta seorang suami! Hahahahahah!" Aku tertawa lebar.
"Harta yang kamu punya, sebagian tetap akan menjadi milik Mas Anton. Tahu kenapa? Sebab, jika Mas Anton Menceraikanmu, Mas Anton akan menuntut harta gono gini! Rani Lestari! Kami tidak bodoh seperti yang kamu pikirkan! Siapa pemenangnya? Aku, Rani! Aku pemenangnya!" cibirku. Mas Anton merangkul pundakku lalu mengecup mesra keningku. Perlakuannya sungguh manis. Sudah pasti akan menyakiti hati Rani.
"Sudah kalian bicaranya? Aku dan Mas Anton belum bercerai untuk saat ini bukan?" ucapnya.
"Aku tidak akan menceraikanmu, kalau kamu mau berbuat adil dan membagi rata harta kita. Kamu harus patuh padaku! Hormati aku, dan layani aku. Jadilah kamu seperti istriku yang dulu!" tegas Mas Anton. 'Apaan sih Mas Anton ini! Malah minta Rani melayani dia! Memang aku tidak cukup! Huft, kesallll!!!'
"Oke Mas! Akan aku pertimbangkan!" jawab Rani. Aku membulat tak percaya. Apakah dia akan menuruti kemauan Mas Anton? Saingan begitu sama aku? Tak apalah, yang terpenting dia mau membagi hartanya terlebih dulu.
"Mas, perihal hinaan dari mulutmu kalau aku mandul, aku ingin menjawabnya!" Mas Anton menyeringai mendengar ucapan Rani.
"Bukan aku mandul, Mas! Tapi karena kamu saja yang tidak top dan cer! Coba, lain kali banyakin minum vitamin dulu. Belum tentu juga Vina hamil!" Rani pun berlalu setelah menghina Mas Anton secara halus. Rahang Mas Anton mengeras, dan wajahnya memerah. Sebenarnya, ku-akui ada benarnya juga ucapan Rani. Lagipula, aku mual 'kan karena air liurku yang kuminum sendiri. Bayangkan saja, dalam satu gela kopi, ada hampir setengah gelas air liur yang ku-kumpulkan. Oleh sebab itu, aku lama membuatnya.
"Untung itu kopi kamu sendiri yang minum. Kalau aku, bisa berbusa mulutku karena racun yang dihasilkan dari mulutmu," goda Mas Anton penuh tawa.
"Kasian … senjata makan tuan," ledeknya.
"Masss!!!!" Kucubit kencang pinggang-nya hingga dia mendengus kesakitan.
****
"Asalamualaikum," terdengar suara perempuan mengucap salam. Saat kulihat, perempuan itu membawa dua koper besar dan juga anak perempuannya. Kenapa aku seolah tak asing melihat perempuan itu?
"Walaikumsalam," Jawa Rani cepat. Mereka bertutur sapa khas perempuan. Yaitu, cipika dan cipiki.
"Mbak Winda!!!! Duduk, Mbak. Aku kangen banget," ucap Rani sambil mengajak perempuan yang bernama Winda itu duduk. Sedangkan anak kecil itu terlihat mulai memegang- megang barang antik yang manjadi pajangan. "Dasar anak tidak punya sopan santun!"
"Vina!!!!" teriak Rani. Ya Robb, cara dia memanggilku benar-benar memalukan. Haruskah dia berteriak sekeras itu?
"Iya, Ran. Ada apa?" jawabku kala menghampirinya.
"Ini pembantu kamu, Ran? Tidak sopan sekali!" cetuk perempuan yang tak asing untukku. Sungguh aku seperti pernah mengenalnya.
"Iya, ini dia pelakor dalam rumah tanggaku!" Nada suara Rani terdengar sinis.
"Oh, jadi ini bentuk pelakor-nya? Dari segi fisik masih cantikan kamu, Ran. Mata Anton sepertinya buta!" ucap perempuan itu merendahkan.
"Aku bukan pelakor! Jaga mulutmu, Rani!" bentakku.
"Kalau bukan pelakor apa namanya? Kamu!" lirih Perempuan yang dipanggil Winda.
"Iya, kenapa sama aku?" Mas Anton cepat datang kesini. Selamatkan aku.
"Kamu adiknya, Santi? Santi istrinya Galang? Sekarang telah memiliki anak bernama Lisna?" tanyanya detail. Hem, betul saja dugaanku. Aku ingat sekarang, perempuan ini adalah istri Mas Galang dulu. Yang tak lain kini adalah Kakak iparku. 'Matilah aku! Jangan sampai perempuan ini membalaskan dendam-nya padaku.'
"Mbak kenal dia?" tanya Rani.
"Oh, jelas kenal dong. Ini 'kan adiknya si pelakor itu! Hebat, ternyata keluarga pelakor. Jadi penasaran kehidupan mereka kedepannya seperti apa. Kok bisa ya, adiknya menuruni kelakuan Kakaknya menjadi pelakor," ucap Mbak Winda.
"Ternyata dunia ini sempit ya, Mbak. Kebetulan sekali kalau begitu," balas Santi. Sedangkan aku hanya terdiam membisu. Sungguh tega Mas Anton belum juga datang menghampiriku.
"Bagaimana kabar rumah tangga, Kakakmu?" tanya Winda.
"Kenapa, Mbak? Sakit hati ya? Kasihan sekali tidak bisa muvon! Masih kepoin mantan! Oh, jelas rumah tangga Kakak-ku sangat bahagia," jawabku.
"Mbak Winda masih belum laku ya? Apa tidak ada yang mau lagi, Mbak? Kasihan!" makiku. Jelas seburuk apapun, aku akan tetap membela Mbak Santi. Aku tidak terima ada perempuan lain yang menghinanya.
"Ada saatnya saya menunjukan kebahagiaan saya!" balasnya.
"Sekarang, kamu bawa koper Kakaku ini ke kamar! Cepat!" suruh Rani. Sialan!
Tak bisa kubantah. Aku pun membawakan koper mereka ke kamar yang telah disediakan untuknya.
'Aku harus segera memberi tahu, Mbak Santi. Kalau aku bertemu istri Mas Galang.'
Sejujurnya, aku takut semakin tersiksa di rumah ini. Apalagi setelah kedatangan Mbak Winda. Bisa saja Mbak Winda membalas rasa sakitnya padaku. Ya Tuhan, kenapa aku jadi merasa takut dan horor begini. Apa aku keluar saja dari rumah ini?
Tolong beri aku jawaban ….