firstborn

1623 Kata
Kandungan Kiara sudah memasuki usia 40 minggu. Perutnya kian membesar. Sepertinya tidak lama lagi keluarga Tantono akan menyambut anggota baru. Sebenarnya Kiara sedikit cemas dengan ukuran bayinya. Sewaktu masih berusia 25 minggu, ukuran perutnya sudah sebesar ukuran perut usia kandungan 36 minggu pada sewajarnya. Dokter kandungan pun mengatakan bahwa bayi yang dikandungnya berukuran lebih besar dibanding rata-rata. Karena itu, dokter menyarankan Kiara untuk menjalani operasi caesar saja. Namun Mas Bara tidak menyetujui hal tersebut. "Kamu ini dokter, Ki. Tentu kamu tahu anatomi dan fisiologi perempuan memang diciptakan untuk ini, untuk hamil dan melahirkan. Tidak akan terjadi apa-apa, Ki. Lagipula kita sudah ikut kelas homebirth," kata Mas Bara sepulang dari check up rutin di dokter kandungan kala itu. Kiara sebagai dokter tentu tahu bahwa anatomi dan fisiologi perempuan memang layak untuk hamil dan melahirkan. Namun Kiara sebagai dokter juga tahu bahwa gen mengendalikan semua pada tubuh makhluk hidup, termasuk mengendalikan ukuran tubuh. Gen keluarga Tantono besar dan tinggi. Sementara gen keluarga Kiara kebalikannya. Sewaktu datang di arisan keluarga Tantono, seorang sepupu yang baru saja melahirkan beberapa bulan lalu datang. Ia bercerita pengalaman melahirkannya. Mencoba melahirkan normal dan berakhir caesar karena ukuran bayi yang besar. Sepupunya itu memiliki postur tubuh yang jauh lebih tinggi dibanding Kiara. Hal itu membuatnya takut dan sedikit cemas. Bayangkan bayi Tantono yang besar keluar dari mulut rahim seorang Kiara yang hanya setinggi 155 cm. Astaga, Mas Bara saja setinggi 180 cm. Bayangkan saja bayinya keluar dari Kiara. Parahnya, Mas Bara menghendaki natural homebirth, hanya dengan bidan on-call yang siaga. Mas Bara sudah merencanakan semua dengan matang. Bidan hanya akan datang jika ada masalah yang tidak bisa diselesaikan olehnya dan Kiara. Semua proses hanya akan dilewati mereka berdua di rumah. Pegawai di rumah, termasuk asisten rumah tangga diminta untuk pulang jika sewaktu-waktu Kiara mulai kontraksi. "Ini anak kita. Kita hamil berdua. Melahirkan juga harus berdua, dong, Ki," begitu jawab Mas Bara sewaktu Kiara tanya alasannya. Jadilah mulai Kiara memasuki usia kandungan tepat 36 minggu, Mas Bara memilih bekerja dari rumah. Khawatir jika Kiara kontraksi mendadak. Perut Kiara sudah mulai turun sebenarnya. Ia bisa merasakan kepala bayinya memasuki jalur lahir, membuatnya semakin sulit untuk berjalan dan duduk. Menurut ilmu kedokteran yang ia dapat dulu serta hasil ikut kelas homebirth, justru dengan terus memaksa berjalan akan mempercepat proses kelahiran nanti. Kiara sedang mengaduk adonan puding cokelat kesukaan Mas Bara sewaktu tendangan keras ia rasakan. Bayinya memang sering menendang dan makin lama tendangannya makin kuat. Perut besarnya itu ia elus perlahan dengan tangan kiri, berharap bisa menenangkan bayinya yang mungkin sedang berusaha mencari jalan keluar. Tangan kanannya masih sibuk mengaduk adonan puding yang sudah mendidih, siap ia pindahkan ke wadah cetakan. Sebuah tangan besar mengambil alih tangannya yang mengelus perut. Ciuman mendarat di pipi Kiara, membuat semu merah seketika muncul. Aneh, mereka sudah lama kenal dan hampir satu tahun menikah namun tetap saja tiap kali Mas Bara menciumnya, semburat merah itu selalu muncul. "Sebentar, Mas, aku pindahin ini dulu," kata Kiara yang memindahkan adonan puding ke wadah sebelum kemudian memasukkannya ke dalam kulkas. Tendangan kembali diberikan bayinya, membuatnya sedikit sulit bernapas. Tidak ada ruang di dalam sana, terlalu sempit sampai membuat tendangan bayinya seakan mengenai ulu hatinya langsung. "Perut kamu makin keras, ya, Ki," kata Mas Bara yang tangannya masih mengelus perut Kiara. Mungkin Mas Bara merasakan tendangan tadi. "Iya, Mas. Kontraksi palsunya juga makin sering," jawab Kiara. "Wajar, Ki. Sudah lewat dari due date," kata Mas Bara lagi. Kali ini Kiara hanya mengangguk. Baru saja dibicarakan, kontraksi palsu itu kembali lagi. Kiara sudah biasa merasakannya, namun kali ini lebih kuat dari sebelumnya sampai ia menutup mata dan menggigit bibir bawahnya menahan diri untuk tidak melenguh kesakitan. Setelah membuka mata, ia menemukan wajah cemas Mas Bara. Tangannya masih berputar di perut buncit Kiara. Sebuah senyum muncul di bibir Mas Bara, membuat Kiara juga tersenyum. "Sepertinya sebentar lagi, Mas," kata Kiara. Senyum Mas Bara kian lebar, diciuminya wajah sang istri. Kiara tertawa geli karenanya. Hari yang mereka tunggu telah tiba. _____________ Proses melahirkan memang selalu memakan waktu lama, Kiara tahu betul itu. Apalagi untuk anak pertama. Tapi Kiara tidak pernah tahu akan selama ini. Kontraksinya sudah datang sejak pagi tadi dan hingga sore hari, pembukannya masih 4 cm. Bukan main lagi sakitnya. Ia sampai harus menanggalkan baju yang ia kenakan. Keringat terus bercucuran meski Mas Bara sudah menyalakan AC di suhu terendah. Rumah mereka sudah sepi sejak pagi tadi. Semua pegawai diliburkan oleh Mas Bara. Hanya ada mereka berdua, sebentar lagi akan menjadi bertiga. "Aku tahu apa yang bisa mempercepat pembukaannya, Ki," kata Mas Bara, berjalan menghampiri Kiara yang berdiri di bar dapur mereka dengan kedua tangan menyangga tubuh. "Teh itu lagi? Pahit, Mas, aku tidak suka," balas Kiara, masih fokus mengatur napas setelah kontraksi berakhir. "Kali ini kamu akan suka, Ki, percaya sama aku," kata Mas Bara. Atas intruksi Mas Bara, Kiara menghadapkan badan pada bar dapur, masih dengan kedua tangan menyangga tubuh. Kedua kakinya saling ia lebarkan, membuatnya merasakan kepala bayi kian ke bawah. Mas Bara menurunkan celana dalam Kiara yang sudah basah karena cairan yang keluar dari vaginanya. Kiara tidak tahu apa yang akan dilakukan Mas Bara sebelum ia merasakan sesuatu keras itu memasuki vaginanya. Yang sudah perih, menjadi kian perih. "Aku suka melihatmu begini, Ki. Kesakitan dengan perut besar, penuh berisi anakku, dan sekarang berusaha mengeluarkannya lewat lubangmu yang sempit ini," kata Mas Bara sewaktu miliknya sudah masuk semua ke dalam milik Kiara. "Dimasuki penisku saja kamu kesakitan, Ki, bagaimana dilewati kepala dan badan anakku nanti?" lanjut Mas Bara dengan napas terengah-engah. Kiara menangis terisak-isak. Perih sekali rasanya. Namun benar kata Mas Bara, setelah ia menuntaskan kegiatannya tadi beberapa kali, pembukaan Kiara naik menjadi pembukaan tujuh. Kepala bayinya kian turun, membuat Kiara makin tidak nyaman untuk berjalan. Mas Bara memaksa, dan kini ia harus berjalan mengelilingi rumah sambil bergelanyut pada pundak Mas Bara. Sesekali mereka berhenti jika kontraksi menyerang karena makin lama kontraksi makin tak tertahankan. Setelah tidak mampu lagi berjalan, Kiara kini bersandar pada meja makan. Kedua tangannya menyangga tubuhnya di meja makan. Mas Bara mengelus-elus perut Kiara yang makin turun. Elusan yang sebelumnya di perut kini semakin naik ke atas. Kiara yang memejamkan mata menikmati kontraksi tidak tahu kapan tangan Mas Bara bergerak melepas kait bra-nya. "Mas!" pekik Kiara sambil mencoba menahan posisi bra miliknya. "Ini akan membantu mempercepat pembukaan, Ki. Mau sampai kapan kamu begini? Ini sudah jam 11 malam," kata Mas Bara. Kiara memilih pasrah pada suaminya yang lebih tua lima tahun itu. Sesuai dugaannya, p****g milik Kiara dipilin oleh Mas Bara. Payudaranya yang sudah sakit karena produksi ASI itu makin sakit rasanya, meski harus ia akui, sakit yang enak. Kiara tidak tahu ia harus berfokus pada kontraksi yang kian menjadi dan kian lama berakhirnya, atau pada kenikmatan yang sedang Mas Bara coba berikan. Mas Bara yang sedari sore tadi sudah bertelanjang d**a itu mengulum putingnya dengan lidah, membuat Kiara mengeluarkan erangan di sela-sela kontraksi yang dirasakan. Air ketuban Kiara pecah, disusul kontraksi yang semakin kencang, membuat teriakan keluar dari mulutnya. Mas Bara mengakhiri aktivitasnya dan bergegas mencari kain. "Sakit, Mas." Ini kali pertama Kiara mengeluh sepanjang proses pembukaan berlangsung. Rasa ingin mengejan sudah tak bisa ditahan lagi oleh Kiara. "Mas, aku ingin mengejan," kata Kiara yang menangis kian deras. Tangannya bergerak kasar di perutnya, seakan berharap sakitnya akan hilang dengan ia melakukan itu. Setelah kembali dengan kain dan menutup basah karena air ketuban tadi, Mas Bara membopong Kiara ke kamar mereka di lantai dua. Semua perlengkapan sudah tersedia di sana. "Sepertinya sudah pembukaan 10, Ki," kata Mas Bara, mengeluarkan dua jemarinya dari lubang istrinya yang masih meraung kesakitan. Kiara mengikuti instingnya, seperti yang diinstruksikan di kelas homebirth. Ia bangkit berdiri dan mengalungkan tangannya pada leher Mas Bara. Ia percaya gravitasi akan memudahkan bayinya untuk turun. Kontraksi datang, ia mengejan dalam pelukan Mas Bara yang tangannya sibuk mengelus punggung Kiara. Kiara mengejan di setiap kontraksi yang muncul. Ia bisa merasakan kepala bayi yang perlahan menyembul keluar. Rasanya Kiara seperti dibelah menjadi dua. Setiap kali Kiara berhenti mengejan, kepala bayinya akan kembali masuk ke dalam, seakan usahanya mengejan sia-sia. Kepala bayinya terlalu besar. "Mas, kepalanya besar, Mas," isak Kiara. Mas Bara masih mengelus punggungnya dan sesekali mencium puncak kepala Kiara. Kiara mengejan beberapa kali dan barulah ia merasakan apa yang orang bilang ring of fire. Saat ukuran terbesar kepala menyembul keluar. Teriak kesakitan tidak akan membuat sakitnya hilang, jadilah Kiara diam sambil mengatur napas mempersiapkan diri mengejan jika kontraksi datang. "Bisa tolong aku jongkok, Mas? Biar dia lahir langsung ditangkap Papanya," kata Kiara mendongak pada Mas Bara yang mengangguk. Kiara kini berjongkok bersandar pada tempat tidur mereka. Di bawahnya sudah ada tumpukan kain untuk menampung darah dan cairan yang keluar. Kepala bayinya masih menggantung, belum keluar semua. Mas Bara yang duduk di hadapannya membersihkan puncak kepala bayi mereka dengan handuk hangat sekaligus untuk memberi efek relaksasi pada area kewanitaan Kiara. Kontraksi kembali datang dan dengan tenaga yang tersisa, Kiara mengejan. Kini seluruh kepala bayi sudah keluar. Dengan sedikit dorongan, seluruh tubuh bayinya berhasil keluar. Sesuai perhitungan Kiara, bayi mereka langsung ditangkap oleh Papanya. Lelahnya seharian rasanya hilang saat mendengar tangisan pertama bayinya yang berada di gendongan Mas Bara. "Papa Bara," panggil Kiara. Rasa sakit karena mengeluarkan bayi besar itu lewat lubangnya seakan hilang melihat pemandangan ayah dan anak di hadapannya. Kiara melirik jam di nakas samping tempat tidur. Pukul 00:01. Sudah berganti hari rupanya. "Selamat ulang tahun, Papa Bara," kata Kiara. Bayinya memilih untuk dilahirkan di hari yang sama dengan Papanya. Mas Bara mencium puncak kepala istrinya sambil mengucap terima kasih berkali-kali. "Selamat ulang tahun juga.." Tangan Mas Bara menyibak kaki bayi mereka, melihat jenis kelaminnya. "Selamat ulang tahun juga, Alexander," kata Mas Bara. Bayi pertama mereka laki-laki, seperti yang diidamkan Mas Bara. "Laki-laki, Mas," kata Kiara sewaktu menerima bayinya dari Mas Bara untuk ia susui. "Iya, Ki. Minum banyak ya, Alex, biar bisa cepat jadi pelindung untuk adik-adikmu nanti," kata Mas Bara, mencium puncak kepala Kiara yang sedang menyusui Alex. Ketika Mas Bara berkata Alex harus cepat menjadi pelindung untuk adik-adiknya, ia tidak sedang bercanda. Wajar saja jika para tamu undangan di ulang tahun pertama Alex terkejut, sebab perut Kiara sudah kembali buncit terisi janin dengan usia kandungan enam bulan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN