"Did Cayanne slapped me last night? My cheeks are kinda sore. Apakah Cayanne menamparku semalam? Pipiku agak perih."
Lontaran Jensen itu membuat Lovarie dan Auriga saling tatap sejenak. Auriga merasa dia harus membanting setir pembicaraan sebelum makin jauh. "We don't know. Wanna play 'Truth or Dare'? Kami tidak tahu. Mau main 'Kejujuran atau Tantangan'?" tawarnya.
Lovarie mengangguk setuju. "Boleh. Lo punya botolnya?"
Auriga bangkit, berjalan ke arah dapur untuk mencari botol kosong. "Gue enggak punya botol kosong!" serunya dari dapur supaya Lovarie dapat mendengar.
"He said he doesn't have the bottle, Jen. Dia bilang dia tidak punya botolnya, Jen," ucap Lovarie pada Jensen yang masih mengusap-usapkan handuk ke rambut basah.
Jensen tampak berpikir sesaat. "Lova, you have some liquor, right? We can drink that and use the bottle. Problem solve. Lova, kamu punya minuman keras, 'kan? Kita bisa minum itu dan pakai botolnya. Masalah terpecahkan."
Mata Lovarie menatap Jensen tajam. Dia tidak suka dengan sikap Jensen yang menganggap enteng segala hal. "No more drunk. Tidak ada mabuk lagi."
"C'mon, Lova, just one bottle doesn't make me drunk! Don't be annoying. Ayolah, Lova, hanya sebotol tidak akan membuatku mabuk. Jangan menyebalkan," rengek Jensen sembari menggoyangkan lengan Lovarie.
Gadis Asia itu menggeleng. "No means no. Tidak berarti tidak."
Wajah Jensen tertekuk. Dia menatap sekitar ruang tamu Auriga yang memang tidak terlihat ada botol. Auriga pun masih berkutat di dapur, mungkin mencari. Maka, Jensen berkata, "Okay, I can take the bottle from your house by my own. Oke, aku bisa ambil sendiri botolnya dari rumahmu."
"Don't you dare! Or .... Jangan pernah kamu berani! Atau ...."
Senyum miring Jensen tampak. "Or what, Babe? Atau apa, Sayang?"
Lovarie menggigit lidahnya sendiri, lalu dengan kaku menjawab, "O-or I'll kiss you! A-atau aku akan menciummu!" Sungguh, Lovarie justru berharap Jensen memilih ambil botol di rumahnya saja daripada pilihan bodoh itu. Lovarie merutuki mulutnya yang sembarangan bicara.
"Honestly, I was surprised. You never kissing someone, right? So, why did you challenge me? Jujur, aku terkejut. Kamu tidak pernah berciuman, 'kan? Jadi, kenapa kamu menantangku?" Mata Lovarie membulat karena ucapan Jensen. Hah? Apa? Menantang? Belum juga Lovarie paham, Jensen sudah mendekatkan wajahnya. "I'll steal your first kiss. It'll be good, not as bad as you think. God, finally I can kiss you. Aku akan mencuri ciuman pertamamu. Itu akan baik-baik saja, tidak seburuk yang ada di pikiranmu. Ya Tuhan, akhirmya aku dapat menciummu."
Demi apa pun, Lovarie tidak tahu harus bagaimana. Tubuhnya kaku. Dia bahkan merasa ini mimpi. Jensen akan menciumnya. Ketika sadar. Gadis bawahi!
Benar saja, Jensen menempelkan bibirnya pada bibir tipis Lovarie. Melumatnya sedikit, membuat Lovarie mabuk kepayang. It feels so good. Namun, detik berikutnya, Jensen melepas tautan bibir mereka. "It wasn't your first kiss."
Ucapan Jensen membuat Lovarie menelan ludah. Dia harus menjawab apa? Tadi memang bukan ciuman pertamanya karena yang pertama sudah diambil Jensen semalam. Cih, mana berani Lovarie bilang begitu.
"Yep. It was her second kiss. The first already stole by you last night. When you're drunk and assumed her as Cayanne. How bastard you are. Ya. Itu ciuman keduanya. Yang pertama sudah kamu curi semalam. Ketika kamu mabuk dan menganggapnya sebagai Cayanne. Betapa bajingannya kamu," sahut Auriga sembari berjalan santai, lantas duduk di sofa.
"RIGA!" seru Lovarie tertahan.
Jensen mengernyit dan terkekeh pelan. "He's kidding, doesn't he, Lova? Dia bercanda, 'kan, Lova?"
Giliran Lovarie yang mematung. Dia tidak tahu harus menjawab apa. Melihat wajah Jensen, dia kembali teringat pada kejadian semalam. Di mana Jensen mencium Lovarie dan menganggapnya adalah Cayanne. Lovarie menggeleng pelan. Memberi tahu kebenaran bisa saja merusak hubungannya dengan Jensen.
"He is. Don't be serious, kissing isn't a big deal for me. Benar. Jangan terlalu serius, ciuman bukanlah hal penting bagiku. Ga, lo dapet botolnya?" tanya Lovarie mengalihkan pembicaraan.
Ketika menoleh, Lovarie dapat melihat Auriga mengulas senyum culas. Membuat hatinya diliputi perasaan bersalah. "Dapet. Enggak perlu pake drama ciuman itu juga masih bisa main 'Truth or Dare', kok."
Lovarie merebut botol dari tangan Auriga. "Enggak usah nyindir. Lo yang bikin gue terpaksa bohong."
Satu alis Auriga terangkat. "Oh, ya? Sejak kapan pernyataan kebenaran memicu seseorang berbuat kebohongan? Jangan salahin orang lain kalo lo sendiri yang memutuskan sesuatu. Lo milih bohong, tapi nyalahin gue. Yah, enggak papa. Manusia emang sering cari pembenaran. Gue emang blak-blakan, sori kalo tersinggung."
Sebelum makin keruh, rupanya Jensen sadar ada sesuatu yang salah. Dia segera menengahi, "Hei, hei, calm down. What happened here? Am I missing something? Hei, hei, tenang. Ada apa ini? Apakah aku melewatkan sesuatu?"
Lovarie memosisikan botol di meja. "Just a little conversation between two stubborn teenagers. Hanya percakapan kecil antara dua remaja keras kepala," sahutnya. Botol kosong dengan tutup sampanye sudah berputar.
Makin pelan, pelan, sangat pelan, dan gotcha! Lovarie kena pertama. Gadis itu mengumpat dalam bahasa Indonesia. Dia agak kapok dengan dare dari Jensen beberapa bulan lalu. Jadi, mau tak mau, Lovarie memilih truth.
"One question each person. Jensen first. Satu orang satu pertanyaan. Jensen pertama," kata Auriga.
Jensen mengusap-usap dagunya. "Hm ... lemme think a moment. Hm ... biarkan aku berpikir sebentar. Beberapa detik berikutnya, Jensen menjentikkan jari. "Mention the initial of ... your crush! Sebutkan inisial dari ... orang yang kamu suka!"
"Anjing, gue harus jawab apa?!" teriak Lovarie histeris. Dia menatap Auriga, meminta tolong.
Wajah Jensen merengut. "Speak English! Bicara bahasa Inggris!"
Senyum Auriga muncul. "This is time to confess, maybe? Ini waktu untuk mengaku, mungkin?"
"f**k, okay. A."
Auriga melongo. Mengapa Lovarie justru menyebut inisial A? Bisa-bisa Jensen betulan mengira Lovarie menyukainya. Meski begitu, tak dapat disangkal bahwa Auriga berharap Lovarie benar-benar ... menyukainya.
Jensen sudah berteriak heboh sejak tadi. "I know it, I know it! A for Auriga, right? Oh my God, Lova, you should tell me early! Auriga, did you hear it? She's into you! Aku tahu itu, aku tahu itu! A untuk Auriga, 'kan? Ya Tuhan, Lova, harusnya kamu memberitahuku lebih cepat. Auriga, kamu dengar itu? Dia menyukaimu!"
Baik Lovarie maupun Auriga tidak tahu harus merespons apa. Lovarie menatap Auriga. Kali ini dengan tatapan meminta maaf. Lelaki berkemeja itu mengalihkan pandangan. "I'm not deaf. So, here's my question. Why are you hidden your feeling for him? Aku tidak tuli. Jadi, ini pertanyaanku. Kenapa kamu menyembunyikan perasaanmu dari dia?"
Jensen sudah berseru-seru heboh, sedangkan Auriga dan Lovarie saling diam. Tentu saja Auriga tidak sebodoh itu. Dia tahu, maksud Lovarie menyebut inisial 'A' untuk Ackles, mama belakang Jensen. Mana mungkin Lovarie menyukainya. Apalagi mereka baru bertemu.
"Because I don't deserve for him. He's so high like a little star in the sky and I just penguin, bird who can't fly. Karena aku tidak pantas untuknya. Dia sangat tinggi seperti bintang kecil di langit dan aku hanyalah penguin, burung yang tidak bisa terbang."
Tidak ada kebohongan dalam raut wajah Lovarie. Gadis itu sungguh-sungguh ketika mengatakannya. Auriga bahkan merasa bersalah karena bertanya demikian. "Maaf, gue cuma mau tau kenapa lo simpen perasaan kayak gitu. Gue tau, kok, 'A' itu buat nama belakang dia, 'kan?"
Lovarie memutar botol sembari bergumam, "Gue jadi ngeri karena tebakan lo bener semua."
Auriga terkekeh, tetapi sejurus kemudian kekehan tersebut hilang karena botol mengarah padanya. "s**t. Sial," umpat Auriga.
Jensen tersenyum miring. "C'mon, choose truth and confess your feeling! Ayo pilih kejujuran dan akui perasaanmu!"
Kalau benar Jensen akan menanyakan perasaannya para Lovarie, maka celaka. Jika dia mengiakan, peluang Jensen bersama Lovarie akan mengecil. Namun, jika menolak, dia takut Lovarie akan tersinggung. Sial, tidak ada pilihan aman.
Hela napas terdengar dari Auriga. "Dare. Tantangan."
Ini cukup unik karena Lovarie dan Jensen langsung bermain batu-gunting-kertas untuk menentukan siapa yang memberi Auriga tantangan. Malang bagi Lovarie, karena Jensen mengeluarkan gunting, sedangkan dia kertas.
Kali ini Jensen mengusap-usap tangannya. "The dare is ... kiss Lova. Tantangannya adalah ... cium Lova."
Lovarie menggeram. Sejak kemarin dia dipusingkan dengan hal ciuman. Seakan itu adalah hal normal untuk sebuah permainan. Seakan ciuman hanya untuk main-main. Dia melirik Auriga yang sama-sama keberatan.
"Jensen, no. You need my permission. Jensen, tidak. Kamu butuh izinku," ucap Lovarie.
Bahu Jensen terangkat. "Why? You said kissing isn't a big deal for you. Forgot? You hear that, Auriga? Kenapa? Kamu bilang ciuman bukan masalah besar bagimu. Lupa? Kamu dengar itu, Auriga?"
Auriga yang menganut prinsip hidup kejujuran lantas mengangguk. "Let's do it quickly. Ayo lakukan dengan cepat. Tutup mata lo." Lelaki itu mendekatkan wajah pada Lovarie yang sudah menutup mata.
Ciuman sekilas yang membuat perasaan Auriga dan Lovarie meragu. Seperti ada koneksi yang tercipta dari sana. Padahal, mereka baru kenal belum genap sebulan. Lovarie bisa merasakannya. Ke depan, keadaan makin tak terkendali.
Lelaki berkemeja itu kembali duduk, menatap Jensen yang rupanya mengambil foto Auriga dan Lovarie yang berciuman. "Delete it, Jensen. Hapus itu, Jensen," tuturnya.
Jensen mengutak-atik ponselnya sebentar, lalu meletakkan benda itu di meja. "Already deleted and sent it for you two. Don't forget to check it later. Sudah dihapus dan kukirim itu pada kalian. Jangan lupa cek nanti."
Lovarie tidak segera membuka ponsel. Dia menatap Jensen tajam. "I'm mad at you! Aku marah padamu!"
Alis Jensen mengerut. "About that recent kiss? It means nothing, right? I often played this game with my friends and they've been kissing once or twice. Even there are s*x scene. So, why are you concerned about it? Tentang ciuman barusan itu? Tidak ada artinya, 'kan? Aku sering bermain permainan ini dengan teman-temanku dan mereka sudah berciuman sekali atau dua kali. Bahkan ada adegan seks. Jadi, kenapa kamu mengkhawatirkan itu?"
Gadis Asia itu bangkit, menunjuk wajah Jensen. "Because I'm not your friend's typical. I appreciate kiss and not make it like a game. I don't care with your perspective about me. Ancient, outdated, fool, silly, or anything. I'm done. Karena aku bukan tipikal temanmu. Aku menghargai ciuman dan tidak membuatnya seperti permainan. Aku tidak peduli dengan perspektifmu tentangku. Kuno, usang, bodoh, konyol, atau apa pun. Aku selesai."
***