Direkturku, Mantan Kekasihku

1484 Kata
Hari ini adalah hari pertamaku kembali bekerja setelah menghabiskan cuti selama lima hari, khusus untuk mengunjungi mama dan papaku di Yogyakarta. Sebenarnya, liburku terhitung cukup lama jika ditambah dengan akhir pekan. Meski begitu, tetap saja aku belum puas melepas rindu pada mereka. Pagi ini, aku kembali pada rutinitasku di Bandung. Hari ini pilihanku jatuh pada blus lengan panjang berwarna peach aksen ruffle di bagian d**a, kemudian dipadu padankan dengan rok span berwarna hitam panjang tepat di bawah lutut. Aku memoles wajahku menampilkan kesan natural. “Beda banget, ya, aura yang habis liburan,” ujar Rita. “Jelas dong.” Sengaja kuucapkan dengan nada sombong padanya. Rita, dia adalah rekan kerja wanita seruangan denganku. Selain Rita, ada juga Dimas dan Reno, kedua pria ini juga tim dalam divisiku. Aku bekerja di sebuah perusahaan manufaktur setelah lulus kuliah, posisiku dalam perusahaan ini adalah sebagai Senior Partnership Contract. Selama bekerja di sini, aku bersyukur karena memiliki rekan kerja yang baik dan lingkungan kerja yang sangat nyaman. Aku menyiapkan beberapa oleh-oleh untuk mereka, tidak banyak hanya beberapa jenis makanan khas Yogyakarta. Nah, yang special adalah batik yang sengaja aku bawa dari butik mamaku. Aku mengangguk dan tersenyum kala mereka bersahutan mengucapkan terima kasih padaku karena sudah membawakan buah tangan. “Welcome home, Jingga.” Dimas, aku tahu itu suaranya. Selama cuti beberapa pekerjaan kualihkan padanya, tidak gratis. Tentu saja aku menyiapkan banyak sesajen untuknya. “Sudah dicek Pak Zein dan ku-print semua, silakan lanjut tanda tangan beliau dan direktur,” sambung Dimas. “Sekalian atuh, Dim.” Aku sengaja memelas untuk mendapatkan simpatinya, mengedipkan sebelah mata menggodanya. “Sudah kamu saja, sekalian kenalan dengan direktur baru.” Direktur baru? Benar, sebelum cuti aku mendapat kabar bahwa Pak Tomi, direktur perusahaan tempatku bekerja memutuskan untuk pensiun. Direktur terbaik versiku itu akan digantikan oleh keponakannya yang merupakan karyawan berprestasi dan membanggakan dari kantor pusat di Jepang. Semoga saja direktur baru ini memiliki sifat yang sama baiknya seperti Pak Tomi, itu adalah harapanku. “Oh, ya, bagaimana acara penyambutannya lancar?” “Penyambutan apa, batal. Langsung kerja tuh, Pak Bos, di hari pertamanya, sadis,” ujar Reno. Tawaku lepas begitu saja mendengar Reno mengatai direktur baru kami. Kabarnya kehadiran direktur itu menarik perhatian seisi kantor, khususnya karyawati yang terpesona oleh kharismanya. Aku belum bertemu dengan pria berusia dua puluh delapan tahun itu dan tidak penasaran juga. Ada kabar selanjutnya ternyata direktur baru itu sudah menikah dan memiliki anak. “Ibarat kata sudah terbang tinggi, kemudian dijatuhkan begitu saja.” Itu yang dikatakan Rita saat dia memperlihatkan foto seorang pria menggendong anak kecil tengah membukakan pintu mobil untuk seorang wanita. Dalam foto itu, aku tak melihat wajah ketiganya karena foto itu diambil dari arah belakang. Rita mengatakan foto itu dia dapat dari group fanbase direktur, belum ada seminggu sudah terbentuk group gibah yang isinya kebanyakan karyawati. “Tarik napas dulu, Ga. Jangan tersepona, ya, sama direktur baru, sudah ada pemiliknya, kecuali mau saingan denganku menjadi istri mudanya.” “Terpesona ….” Kami kompak meneriaki Rita meralat ucapannya. Dia hanya tertawa, lalu memeletkan lidahnya. Nakal sekali, bisa-bisanya dia berkeinginan menjadi istri muda direktur. Aku terkekeh geli mengingat candaannya. Aku mengawali pekerjaanku pagi ini menuju ruangan Pak Zein, beliau adalah manager pemasaran sekaligus atasanku. Begitu mendapat perintah untuk masuk, aku membuka pintu dan mendekati beliau tengah menyesap kopi, sepertinya dia baru selesai menyantap sarapannya. “Jingga, gimana-gimana?” tanyanya santai. “Saya butuh tanda tangan Bapak.” Aku menyerahkan map berisi dokumen yang harus ia tandatangani. Pak Zein membubuhkan tanda tangannya dan mengembalikan map padaku. Secepat itu, karena sebelumnya beliau sudah memeriksa dan meminta Dimas merevisi beberapa kesalahan. “Teruskan ke ruangan direktur, Jingga,” titahnya. Sebelum meninggalkan ruangannya, aku memberikan sebuah paperbag berisi oleh-oleh yang sama dengan ketiga rekan di ruanganku. Beliau pun tak kalah senang saat menerima pemberianku. Aku mengetuk pintu satu-satunya ruangan di lantai empat bersiap memperkenalkan diri karena sepertinya hanya aku yang belum bertemu dan menyapanya. Setelah mendengar seruan masuk dari dalam, aku meraih gagang pintu dan membukanya. “Permisi, Pak—” Aku terdiam di tempat saat melihat lelaki yang duduk di meja direktur di hadapanku. Kakiku terasa berat untuk melangkah. Aku tak dapat menyembunyikan betapa terkejutnya aku saat ini, dia pun memalingkan wajahnya begitu melihatku. “Ya, nama?” tanyanya. Aku mengernyitkan dahi, tidak salah pertanyaannya? Untuk apa dia menanyakan namaku, memangnya dia amnesia sampai tak mengingatku. “Saya, Pak?” “Memang ada orang lain di sini selain kamu?” Hatiku terasa sesak mendengar ucapanny. Ini kali pertama aku mendengar gaya bicaranya yang seperti ini, ketus. Tatapannya, ah, aku bingung hingga kehilangan fokus. “Kalau kamu ke ruangan saya hanya untuk membuang waktu saya, sebaiknya kamu keluar dan lanjutkan pekerjaanmu!” Aku tersenyum kecut dan mendekat, tatapan tajam dan cara bicaranya darimana dia belajar kasar begini. Kak Damar, tak kusangka mantan kekasihku adalah direktur baruku. “Maaf, Pak. Saya Jingga, Senior Partnership Contract. Saya mau meminta tanda tangan Bapak untuk laporan bulanan—” kalimatku terputus saat mendengar deringan panggilan masuk. Bukan dari ponselku karena aku tidak membawanya, tetapi dari ponsel yang tergeletak bebas di atas meja di hadapanku. Dinda, mataku membulat begitu saja saat membaca nama yang tertera di layar ponsel itu. Kami saling menatap hingga panggilan itu berhenti. “Letakkan saja di sana, saya akan periksa nanti.” Kak Damar menunjuk salah satu sudut meja. Aku melihat ekspresi yang berbeda kali ini, dia tampak seperti salah tingkah. “Kamu bisa kembali ke ruanganmu,” sambungnya. “Maaf, Pak. Berkas ini sudah ditanda tangani Pak Zein dan beliau—” lagi-lagi kalimatku terhenti karena deringan panggilan dari orang yang sama. “Saya permisi, Pak.” Tidak ada jawaban, aku berbalik untuk keluar ruangan. Aku harus memperhatikan langkahku, setidaknya sampai benar-benar keluar dari ruangan ini. Tubuhku tiba-tiba lemas, pandanganku buram karena genangan air mata yang sudah menumpuk. Air mataku lolos begitu saja saat mendengar Kak Damar menerima panggilan telepon tersebut. “Kalian sudah sampai mana? Baiklah, Dinda, hati hati.” Kalimat yang kudengar itu lembut sekali, sangat berbeda saat dia berbicara denganku tadi. Begitu keluar, aku merutuki diriku yang begitu emotional. Kuhapus jejak air mata di pipiku sebelum kembali ke ruangan. Apa sebaiknya aku mampir ke toilet dulu? Aku harus memperbaiki penampilanku yang tampak menyedihkan ini. *** Delapan tahun yang lalu “Kenapa cemberut, hm? Yang ada Kakak nggak tenang tinggalin kamu kalau begini,” ujarnya. Aku dan Kak Damar sangat dekat, kedua orang tua kami bersahabat sedari masa sekolah. Kami bahkan memiliki jadwal rutin keluarga bersama entah itu makan bersama atau liburan bersama. Dia menatapku lekat, saat ini kami berada di sebuah tempat makan favoritku. Aku menoleh, memaksakan senyum seadanya dan dia malah tertawa, lalu menarik pipiku sesuka hatinya. Ah, akhirnya perut kenyang, tapi hati tak tenang. Setelah menghabiskan waktu bersama seharian, kami pulang karena waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam. Jujur, aku masih ingin berlama-lama bersamanya, perasaan semacam apa itu. Yang jelas, aku merasa nyaman di dekatnya dan tak terbayangkan kala berpisah darinya yang akan melanjutkan kuliah di London. Aku menyandangkan sling bag ke bahuku ketika kami sudah berada di depan rumahku. Aku terkejut saat pintu mobil tiba-tiba terkunci, Kak Damar mengambil sesuatu dari dashboard mobil—sebuah kotak beludru berwarna biru. “Biasa saja, ini bukan adegan mau melamar.” Sudah seperti cenayang saja, dengan tepat dia bisa membaca pikiranku, duh, aku malu. “Jingga.” “Hm.” Dia terkekeh melihat ekspresiku saat ini. Jelas aku kesal, usil sekali dia. “Kakak belum pernah mengatakan ini—Kakak menyayangimu, Jingga.” Kak Damar meraih kedua tanganku, menyerongkan badannya hingga kami saling berhadapan. “Kamu mau menerima perasaan Kakak?” Aku terdiam menatapnya lekat dan dia tersenyum, manis sekali. “Jingga—” Aku menyernyitkan dahi saat Kak Damar mencubit bibirku. “Jangan buru-buru, kamu boleh pikirkan dulu. Setidaknya sampai kamu yakin dengan perasaanmu. Saat hari itu tiba, kamu cukup pakai kalungnya.” Aku mengangguk patuh, lalu memasukkan kotak itu ke dalam tasku. “Jingga jawab saat antar Kakak di Bandara, gimana?” “Sounds good.” Dia mengelus puncak kepalaku lembut, tunggu, apa ini? aku merasakan sesuatu yang kenyal di pelipisku. Bukannya terlena, aku malah memukul lengannya dan dia tertawa. “Maaf,” ucapnya. Dia kembali mengelus kepalaku, untung saja cahaya di mobil saat ini meremang, jadi dia tak dapat melihat rona merah di wajahku. *** Pagi sekali aku sudah sampai di rumah Kak Damar. Setelah sarapan bersama kami berangkat menuju Bandara. Kak Damar menarik tanganku menuju sudut ruangan yang tampak sepi saat kami semua duduk di ruang tunggu. “Your time’s up,” ujarnya. Dia mengerutkan dahinya saat aku memberi kotak kalungnya. Kemudian, aku menyeka rambut mengisyaratkannya untuk memakaikan kalungnya langsung. “Jingga pandai menunggu, Kak.” Tanpa ragu Kak Damar memakaikan langsung kalungnya ke leherku. “Terima kasih, Sayang.” Sudah tiba waktunya penumpang memasuki pesawat. Tiba-tiba saja dadaku terasa sesak melihat Kak Damar memeluk Ayah dan Bundanya. Hubungan jarak jauh, mampukah kami melewatinya?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN