Panik Dan Cemas Bersamaan

1161 Kata
Kami sudah sampai di tempat makan pilihan Ganda yaitu restoran korea yang mengusung tema all you can eat. Ganda mengatakan kalau restoran ini jauh lebih enak dari tempat pertama kali kami bertemu. “Gimana enak, gak?” Ganda memberikan daging yang sudah dia panggang ke piringku. “Enak … Aa’ sering ke sini?” Aku tak canggung memanggilnya begitu, tapi sang empunya terus tersenyum tiap kali mendengar aku memanggilnya dengan sebutan baru itu. “Ini kali kedua aku ke sini.” Ganda masih sibuk dengan daging yang dia panggang, aku juga ikut membantu membolak-balik daging yang tampak pas tingkat kematangannya. “Ga, cobain.” Ganda membungkus daging yang dia panggang memakai bumbu racikkannya dengan daun selada, lalu mengulurkan tangannya ke arahku dan mengangguk meyakinkanku. Meski sedikit ragu akhirnya aku memajukan tubuhku dan membuka mulut menerima suapan darinya. “Gimana?” tanyanya. Dia terkekeh saat aku menjawab dengan mengacungkan kedua jempolku ke arahnya, dia pikir lucu apa. Aku terkejut saat seorang anak kecil tiba-tiba berdiri di sampingku. “Arion?” kejutku. “Aku benar, tante cantik, yeah … yeah … tante.” Dengan girangnya Arion merangkul lenganku, aku celingukan mencari seseorang tapi tak menemukan orang yang aku cari. Aku mengurai pelukan Arion pada lenganku. “Arion sama siapa di sini?” tanyaku. “Om Papa dan Mama,” jawabnya. ‘Deg Mama Seketika dadaku terasa sesak, aku bahkan bernapas pendek dari mulut. Panik, tiba-tiba aku merasa ya panik, ya cemas juga bersamaan. “Jingga.” “Jingga!” Aku mendapati Ganda sudah bersimpuh di hadapanku. “Lihat, aku, Ga,” pintanya. Dengan napas terengah-engah aku menatapnya dan mengikuti arahannya. “Inheal, exheal, good.” Ganda menyilangkan kedua tanganku di depan dadaku dengan posisi senyaman mungkin. “One more, Ga. Inheal, exheal.” Aku membuka mataku dan jauh lebih tenang, Arion sudah duduk di kursi yang diduduki Ganda tadi. Dia terdiam menatapku dan matanya tampak berkaca. “Are you ok?” lirihnya. Aku hanya tersenyum dan mengangguk. “Sudah lebih baik?” tanya Ganda. Dia masih bersimpuh di hadapanku, dia berdiri dan merapikan kursiku setelah aku menjawab pertanyaanya. Ganda mendekat mengelus puncak kepalaku lembut, saking nyamannya aku menyandarkan kepalaku di pinggangnya. “Arion.” Aku menegakkan dudukku kembali melihat wanita yang mendekati Arion, dia tampak terkejut ketika melihatku. “Ji—Jingga,” panggilnya. Dia tersenyum, aku bisa melihat betapa tak ikhlasnya dia tersenyum padaku. Aku tak tersenyum, pun tak menjawab panggilannya, aku hanya menatapnya saja dalam diam. Kemudian dia mengalihkan pandangannya pada Arion. “Sayang, ayo, makan dulu.” Dinda. Arion turun dari kursinya dengan patuh, pintar sekali anak ini. Aku memperhatikan interaksi ibu dan anak di hadapanku ini, ternyata benar Arion lebih mirip ibunya, tapi iris matanya sedikit berbeda. “Maaf, kalau Arion mengganggu makan malam kalian, ya,” ucap Dinda. “Tidak sama sekali.” Itu bukan aku, bukan aku yang menanggapi ucapannya tapi Ganda yang masih berdiri di sampingku, dia meletakkan tangannya di bahuku. “Permisi kalau begitu,” sambung Dinda. Saat dia mengandeng tangan Arion dan berjalan menjauh, anak kecil itu berbalik dan lari kembali memelukku. Aku tersentak kemudian mengelus punggungnya lembut. “Tante, jangan peluk-peluk Om ganteng nanti Papa sedih,” bisiknya. Aku yakin hanya aku yang mendengarnya karena suaranya sangat kecil. “I won’t tell him,” lanjutnya. Kemudian dia berlari menghampiri Dinda yang menunggunya, dia juga berulang kali berbalik hanya untuk melambaikan tangan padaku. Apa maksudnya? Sebenarnya aku bingung dengan sikap Arion, sejak dia melihatku pertama kali dia seolah sudah mengenalku lama. “Mau pulang saja?” tanya Ganda. “Nggak, masih lapar.” Aku mendongak tersenyum menatap Ganda yang masih berdiri di sampingku. “Yuk, makan lagi,” sambungku. Kami melanjutkan makan dengan tenang, Ganda meracik bumbu dan tak pernah gagal. Dia lebih jago dariku soal rasa. “Kamu suka yang mana bumbunya, Ga?” Aku tak dapat menahan tawa melihat mulut Ganda belepotan karena mengunyah sambil bicara. “Aa’ … makan dulu baru bicara.” Aku membantunya membersihkan saos yang menempel di sudut bibirnya. “Terima kasih,” ujarnya. “Jingga,” sapa seseorang. “Kak Dedi.” Aku tersenyum kecut, aku yakin dia datang bersama dengan Dinda. Pantas saja tadi Arion menyebut Om Papa, mungkin yang anak itu maksud ‘Om’ adalah Kak Dedi. Dari sekian banyak tempat makan di Bandung kenapa mereka makan di sini, sih. “Nah, kan benar. Aku pangling lihat kamu tadi, makin cantik soalnya,” ujar Kak Dedi. Kini Kak Dedi beralih menatap Ganda yang masih sibuk dengan panggangannya. Dia mengangkat dagunya, seolah bertanya padaku siapa pria yang duduk bersamaku saat ini. “Aa’ kenalin, ini Kak Dedi, te—temanku di Yogyakarta.” Aku bingung bagaimana mengenalkan Kak Dedi pada Ganda, karena aku sendiri mengenal Kak Dedi karena dia adalah sahabat mantan kekasihku. Kak Dedi mengulurkan tangannya dan disambut dengan ramah oleh Ganda. Tak banyak pembicaraan dari pertemuan yang tak disengaja ini, Kak Dedi pun undur diri dan meninggalkan kami. Aku mengikuti arah Kak Dedi berjalan, dia menghampiri meja yang agak jauh dari mejaku. Oh, itu dia orang yang aku cari sedari tadi, ternyata dia tengah melihat ke arahku. Tatapannya seperti ingin menelanku hidup-hidup, aku jadi enggan lama-lama melihatnya menakutkan. *** Aku dan Ganda sudah berada di halaman parkir apartemenku, di sepanjang perjalanan tadi aku menceritakan tentang Dinda dan apa yang aku rasakan dipertemuan pertamaku tadi. Aku terus membagi kisahku pada Ganda, entah kenapa aku nyaman bercerita padanya, dengan Dimas saja aku tak sedetail ini. “A’—” “Terima kasih untuk malam ini, ya, Ga,” ujar Ganda memotong kalimatku. “Padahal aku yang ditraktir.” Aku tersenyum memamerkan lesung di kedua pipiku. “Terima kasih … sering-sering, ya, traktir aku makan enak. Bye.” Aku menyandangkan sling bag di bahuku, Ganda menahan lenganku saat aku akan membuka pintu mobilnya. “Aa’ ….” Ganda melepaskan lenganku lalu meraih tanganku, aku tak dapat mengartikan tatapan Ganda saat ini. Dia masih betah menggenggam tanganku, menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi dan memejamkan matanya. “A’ ….” Aku menarik tanganku perlahan tapi dia menahannya. “Biarkan begini, Ga, lima menit saja,” ujarnya. Aku menelisik wajahnya, entah apa yang sedang dia pikirkan aku tak bisa menebak, dia terlihat lelah tapi nyaman, susah menjelaskannya. Akhirnya Ganda melepas genggamannya, dia tersenyum menatapku. “Aa’ pulang ke apartemen atau—” Aku tak melanjutkan kalimatku saat Ganda mengelus puncak kepalaku. “Aa’ balik ke rumah sakit lagi, kamu masuk sekarang, ya, bersih-bersih lalu istirahat.” Aku mengangguk patuh dan keluar dari mobilnya, sejujurnya aku bingung dengan sikapnya tapi aku urungkan niat untuk bertanya. Aku berbalik saat memasuki lobby apartemen, aku terkekeh geli saat melihat Ganda membuka lebar kaca jendela mobilnya dan melambaikan tangan ke arahku, tentu saja dengan suka cita aku menyambutnya. Di parkiran apartemen. Dari kejauhan Ganda melihat Jingga masuk ke dalam lift, kini pandangannya beralih pada spion tengah mobilnya. Dia menyeringai melihat mobil yang ikut terparkir tak jauh di belakangnya, mobil yang mengikuti mereka sejak keluar dari restoran tadi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN