Nomor Tak Dikenal

1150 Kata
Aku memilih tak menanggapi pertanyaannya, kenapa juga dia harus memperjelas pertanyaannya di depan Bunda. Aku mengabaikannya mengambil piring yang sudah berisi nasi dan lauk, Bunda yang menyiapkan untukku. “Ah, aslinya kamu juga senang pasti ‘kan kita makan bertiga gini, Damar.” Aku melirik ke arah Pak Damar dia hanya mengedikkan bahunya acuh. Aku makan dalam diam seraya berpikir, apa ya maksud Bunda berkata seperti tadi, bukannya Pak Damar sudah memiliki istri dan anak? Untuk apa dia merasa senang, dia bahkan bersikap dingin dan ketus padaku tandanya dia membenciku ‘kan karena perpisahan kami yang aku pikir juga cukup sadis untuk dikenang. “Sayang, tambah lagi dong,” ujar Bunda. Aku menelisik wajah Bunda dari samping. “Kenapa, Sayang?” Bunda merapikan rambutku membelainya lembut. “Kamu makin cantik aja, sih, iyakan Damar?” “Biasa aja.” Pak Damar tak menoleh dia fokus pada makanannya, dan Bunda terkekeh mendengar jawabannya. “Jaim banget, kamu nanti antar Bunda ke bandara ‘kan? Jingga ikut ya, Sayang,” pinta Bunda. “Bunda!” seru Pak Damar tampaknya dia tak setuju. “Kenapa, sih, mau protes? Bunda itu masih kangen banget sama Jingga.” Aku hanya meringis, Bunda tampak santai mengutarakan perasaannya seolah lupa kalau anaknya ini sudah memiliki anak dan istri. *** Kami sudah di perjalanan kembali ke kantor setelah mengantar Bunda ke bandara, sebenarnya aku ingin menanyakan keberadaan istrinya tapi aku takut dia marah lagi, aku ingat ucapannya saat kami di Sukabumi untuk tidak mengusik kehidupan pribadinya. Begitu mengingat nama kota itu, aku jadi ingat besok akan melakukan perjalanan bisnis selama 3 hari di sana dengan Bos menyebalkan ini. Suara deringan dari ponselku memecahkan keheningan karena sepanjang perjalanan kami memilih diam. Aku menoleh ke arah Pak Damar dan dia mempersilakan aku mengangkat telepon meski belum sempat aku ucapkan maksudku. “Waalaikumsalam, boleh A’ tapi ini aku masih di jalan mau balik ke kantor, ok, see you.” Setelah selesai menerima panggilan telepon pun kami masih saja memilih diam. Saat tiba di parkiran kantor, aku sudah melihat mobil Ganda terparkir. Kantor tampak sepi karena ini sudah pukul 17.35, aku sudah memastikan tak ada barangku yang tertinggal di ruangan, jadi aku putuskan untuk langsung pulang saja. “Kamu tidak masuk?” tanya Pak Damar setelah aku meminta izin untuk langsung pulang. “Tidak, Pak, barang-barang saya tidak ada yang tertinggal di ruangan.” “Lalu kamu tidak finger print?” Ah, iya benar juga aku lupa. Aku meringis dan akhirnya mengekori Pak Damar memasuki kantor. “Kamu gak lupakan besok kita harus berangkat pagi?” tanyanya, saat aku berjalan mendekati mesin absensi. “Saya ingat, Pak.” “Apa kamu mau pergi ke sesuatu tempat dulu setelah ini?” Aku menoleh ke arahnya dengan tatapan datar. “Saya cuma mau pastikan kamu tidak pulang kemalaman seperti tempo hari, saya tidak mau jadwal besok berantakan karena kamu terlambat,” lanjutnya. Aku menghela napas pelan. “Bapak tidak perlu khawatir, saya profesional dalam pekerjaan, permisi, Pak.” Aku meninggalkannya setelah selesai finger print. “Ba ….” Aku memukul lengan Ganda bermaksud hendak mengejutkannya, ternyata dia tak terkejut sama sekali, dia tengah berbicara dengan seseorang melalui sambungan telepon seraya mengelus lembut kepalaku. Aku masuk ke dalam mobilnya saat dia membukakan pintu untukku. “Maaf, ya, tadi Rey telepon. Kalau kita makan di cafe kamu keberatan atau nggak?” tanyanya. Dia masih berdiri disampingku menahan pintu. “Nggak sama sekali.” “Oke, kita berangkat.” Dia menutup pelan pintu untukku dan bergegas masuk ke dalam mobil. Dia bilang mendadak harus ke cafe karena ada hal penting yang harus diselesaikan, kami memang tidak ada acara khusus hanya mau makan malam bersama saja, karena beberapa hari tak bertemu. Tahu kenapa? Ya, tentu karena jam terbangnya yang tinggi di rumah sakit. Akhirnya aku makan lebih dulu, karena Ganda tak kunjung kembali. Lagi-lagi dia mengirim makanan melalui waiters cafe untukku. “Hah … selesai juga.” Ganda mengelus kepalaku lembut sebelum duduk, setelahnya badannya melorot di sofa tepat di sampingku. Sekarang dia tengah memejamkan matanya. Aku menelisik wajahnya dari samping sepertinya di kelelahan. “Aa’ ….” “Hm.” “Buka dong matanya, makan sini.” Aku mengarah sendok padanya dan dia melahapnya. “Hm … enak, mau lagi,” rengeknya membuat aku terkekeh, padahal tadi wajahnya tampak lusuh sekarang sudah sumringah saja. *** Aku sudah di perjalanan menuju Sukabumi, tadi aku tak terlambat hanya saja aku belum sempat sarapan. Pak Damar berhenti di pinggir jalan membeli bubur ayam setelah mendengar suara nyaring dari perutku, sungguh aku malu sekali. Awalnya aku menolak, Pak Damar bilang dia tak mau repot kalau nantinya aku sakit dan merusak perjalanan bisnisnya. Hari ini agenda kami full hingga malam, setelah selesai makan malam bersama klien kami memutuskan mencari hotel. Sejak tiba di Sukabumi kami belum melakukan check-in hotel, barang-barang bawaan kami pun masih tertata di jok belakang mobil seharian. Akhirnya keputusan jatuh pada hotel terakhir kami berkunjung ke sini, setelah Pak Damar melakukan check-in dia menghampiriku yang tengah duduk di lobby hotel memberikan kartu akses kamar. Aku menyernyitkan dahi melihat nomor yang tertera di kartu itu, pasalnya ini nomor yang sama dengan kunjungan kami beberapa minggu lalu. Connecting room. “Kenapa? Hanya ini yang ada, bukannya sebelumnya tidak masalah? Lagi pula saya tidak akan berbuat hal aneh padamu.” “Saya percaya itu.” “Ya, memang harus percaya.” Dia menyelonong meninggalkanku. “Besok tidak perlu buru-buru, Pak Yoga menginformasikan pertemuannya dimulai pukul 10. Jadi kamu bisa istirahat dulu, toh tadi kita seharian tidak sempat untuk sekedar merenggangkan badan,” lanjutnya. “Iya, Pak.” “Besok kamu sarapan sendiri saja, saya akan menggunakan layanan kamar untuk sarapan,” sambungnya lagi. Aku hanya mengangguk, deringan dari ponselku memecahkan keheningan. Aku menyernyitkan dahi melihat layar ponselku, pasalnya aku tak mengenali nomor itu jadi aku putuskan untuk tak menjawab. “Kenapa tidak dijawab?” tanya Pak Damar. “Tidak apa-apa, Pak, saya permisi kalau begitu.” Aku berhenti di depan pintu kamarku, satu pesan masuk. Aku urungkan niat untuk membuka pintu, aku kembali menyernyitkan dahi melihat foto yang dikirim nomor yang tadi meneleponku. Foto aku dan Pak Damar di bandara saat mengantar Bunda, detik berikutnya muncul foto aku dan Pak Damar berada di dalam mobil, sepertinya ini foto sesaat sebelum kami berangkat ke sukabumi tepatnya di parkiran kantor. Pak Damar mendekat ke arahku, sekilas dilihat seperti dia menciumku padahal dia tengah membantu memasangkan seat belt, aku menoleh ke arah Pak Damar dan dia menatapku bingung. Selanjutnya masuk lagi foto saat aku menyuapi Ganda kemarin malam di cafe miliknya. Tanganku bergetar saat membaca pesan singkat yang masuk. 08227xxxxxxx Pelakor! Munafik kau jalang! Dada ku terasa sesak, napasku tak beraturan, detik berikutnya ponselku terlepas dari genggamanku. “Jingga.” Aku masih mengatur napas sebaik mungkin. “Jingga, kenapa? Ada yang sakit?” “Kak,” lirihku. “Iya, Kakak di sini, Ga. Apa yang sakit?” ‘Bugh!’
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN