I'm Ok, You're Not!

1398 Kata
Aku sangat senang mendengar kabar bahwa Tiara, sahabatku, akan berkunjung ke Bandung untuk melakukan perjalanan bisnisnya dan dia ingin menghabiskan weekend bersamaku di Bandung. Hari ini, aku memilih untuk memakai dress batik berkerah sanghai. Panjang dress-ku hingga lutut dan membentuk tubuhku yang ideal. Rapat divisiku hari ini akan diadakan pukul sepuluh pagi. Reno yang bertanggung jawab menyiapkan ruangan, rapat kali ini akan dihadiri langsung oleh direktur, karena adanya perubahan jadwal penandatangan kontrak dengan klien, aku tidak hadir dalam rapat kali ini. Dimas mengomeliku saat berulang kali aku menatap wajahku di cermin, aku terkekeh melihatnya terus mengomentari penampilanku, padahal aku hanya memoles sedikit wajahku agar tak terlihat kusam. Kami sudah di lobby kantor bisa-bisanya Dimas memintaku kembali ke ruangan untuk mengganti sepatu hak tinggi yang kupakai saat ini dengan flat shoes. Enggan beradu mulut dengannya, sudahlah, aku turuti saja, aku kembali ke ruangan dan dia terus berlalu ke tempat mobilnya terparkir. Aku tak menyadari Kak Damar berdiri di belakangku, dia juga menunggu pintu lift terbuka. “Ehem.” “Silakan, Pak.” Begitu menyadari keberadaan Kak Damar aku mempersilakan dia memasuki lift terlebih dahulu. “Tidak masuk?” “I—iya, Pak.” Suasana tampak menegangkan, yang ada hanya keheningan. Ketika lift berhenti di lantai tiga tepat di mana ruanganku berada, aku keluar lebih dulu. “Saya harap ini kali terakhir saya melihat kamu memakai rok, dress atau sejenisnya ke kantor.” Aku membalikkan badan mendengar ucapan Kak Damar dan melihat ke arah ujung dress yang kupakai. Pintu lift kembali tertutup, meninggalkan aku yang tampak bingung. Rita juga tak kalah bingung melihatku kembali ke ruangan, aku lihat dia masih menyiapkan beberapa berkas. “Ta.” “Hm, kenapa?” Aku meminta pendapatnya tentang penampilanku hari ini, apa ada yang salah dengan pakaianku. Rita mendekat dan mencolek daguku setengah menggoda. “Nggak, cantik, seksi.” Aku memutar bola mataku mendengar tanggapannya, dia malah mengomel dan mengusirku untuk segera pergi, buru-buru aku mengganti sepatu lalu turun menyusul Dimas. Aku masih memikirkan ucapan Kak Damar karena aku merasa tak ada yang salah dengan penampilanku. Aku memang terbiasa memakai blus atau kemeja dengan rok span sebagai bawahannya, atau dress, dan memang jarang memakai celana panjang. Sangat aneh, sebelumnya tidak ada yang menegurku secara khusus tentang apa yang aku kenakan, sejauh ini aku menilai penampilanku tetap masuk kategori sopan. *** Aku berlari menghampiri Tiara dan memeluknya erat, sepertinya dia sudah lama menungguku di lobby kantor. Terakhir kali aku bertemu dengannya saat aku pulang ke Yogyakarta beberapa bulan lalu. Saat ini kami sudah berada di dalam mobil, Tiara bilang dia membawakan beberapa barang titipan dari mamaku, ah, senangnya. Aku memintanya me-list beberapa kegiatan yang harus kami lakukan bersama selama dua hari ini. Sebelum pulang aku mengajak Tiara mampir ke swalayan yang tak jauh dari apartemenku untuk belanja, aku baru ingat kalau stok di kulkas sudah menipis. “Ti, malam ini mau makan apa, pesan online atau masak?” Kami mengitari tiap rak di swalayan mengambil beberapa cemilan dan minuman. “Masak, yuk, rabokki,” ujar Tiara. Dia mengambil satu pax kemasan topokki dan aku mengiyakan, selanjutkan kami mengambil sayuran, daging slice dan keju. Setelah dirasa cukup, kami menyudahi belanja-belanja tipis ini dan membayarnya. Aku mengajak Tiara mampir ke salah satu stand di food court yang menyediakan jajanan asal korea, kami kembali ke parkiran setelah membeli kimchi dan odeng. Baru saja akan memasuki mobil, langkah kami terhenti ketika melihat Kak Damar dari kejauhan. Kak Damar dengan lembut menurunkan seorang anak kecil dari gendongannya. “Mama ….” Anak kecil itu tiba-tiba berlari ke arah wanita yang sedang membawa barang belanjaan dan Kak Damar dengan sigap mengambil barang belanjaan memasukkannya ke dalam mobilnya. “Kenapa lari, sih? Bahaya loh.” Wanita itu dengan hati-hati menggendong anak kecil itu melihat ke kiri dan kanan jalan. “Sudah semua, kita pulang?” Kak Damar mengelus kepala anak kecil itu lembut. “Let’s go!” sorak riang anak kecil bertopi itu. Pemandangan seperti apa ini, dadaku sesak menyaksikannya. Aku masih melihat hingga mobil yang dikendarai Kak Damar menghilang dari pandanganku. Kak Dinda, gumamku. “Jingga.” Tiara menyentuh lembut bahuku, aku menyeringai lalu merogoh tasku mengeluarkan kunci mobil. Sepanjang perjalanan aku tetap diam hanya fokus pada jalan di depan. Ketika mobil berhenti di lampu merah, aku melihat seorang pria yang menggendong anak kecil sedang menyeberangi jalan, dan itu mengingatkanku pada kejadian yang baru saja terjadi di basement swalayan. Tiara dengan cepat menegurku saat suara klakson dari kendaraan lain terdengar bersahutan. Aku menyadari bahwa lampu lalu lintas telah berubah menjadi hijau dan gegas melanjutkan perjalanan. Setelah sampai di apartemen, Tiara merebahkan tubuhnya di sofa, sementara aku berlalu ke kamar membersihkan diri. “Ti, gak bersih-bersih dulu?” tanyaku pada Tiara. Setelah selesai mandi aku berjalan ke dapur menyusun belanjaan yang tadi kami beli ke dalam kulkas lalu mengolah rabokki yang menjadi menu makan malam. Aku berjalan ke ruang tamu yang juga berfungsi sebagai ruang nonton dengan membawa sepanci rabokki. Tiara yang selesai berganti baju, dengan antusias membantuku membawa peralatan makan dan menata meja. “Mau lanjut nonton drama kemarin, ah,” ujarku. Aku meraih remot mencari drama yang ingin aku tonton sambil komat-kamit menceritakan alur ceritanya pada Tiara, katanya dia belum nonton drama terbaru ini. “Jingga.” Aku tak menjawab hanya melirik ke arah Tiara sambil menyeruput ramen buatanku, pas sekali rasanya, enak. “Ada yang mau kamu ceritakan ke aku?” Sebenarnya aku tahu maksud Tiara tapi aku sengaja saja mengisenginya. “Apa tuh?” “Yo mbuh.” Aku tak dapat menahan tawa melihat eskpresinya, sebenarnya aku gak tahu harus mulai dari mana. Akhirnya aku menceritakan pada Tiara tentang jabatan yang Kak Damar emban di perusahaan tempatku bekerja, lalu sikapnya yang berubah dingin padaku, sesingkat itu saja. Aku meminta Tiara untuk tak menceritakan hal ini pada kedua orang tuaku, aku belum siap cerita pada mereka. “Lalu, yang tadi?” tanya Tiara, mungkin yang dia maksud kejadian yang kami lihat bersama tadi di basement swalayan. “Sejak awal di kantor tuh udah beredar kabar tentang direktur kami yang sudah menikah, ya, sepertinya kabar itu benar.” Aku lanjut melahap ramen yang sudah hampir habis, sepertinya aku benar-benar lapar entah sudah berapa kali aku menambah. Tiara meraih sebelah tanganku ketika melihat ada genangan di kedua mataku. “Jingga.” “I’m ok, Ti.” Aku tertawa sumbang, bisa-bisanya ada air yang menggenang di mataku, mungkin karena ramen ini pedas, iya benar begitu ‘kan. “You’re not.” Seketika air mataku lolos begitu saja. “Pertama kali lihat Kak Damar, rasanya aku pengen lari dan peluk dia, serindu itu aku, Ti. Gak tau diri banget, ya.” Tiara diam saja, dia tak menanggapi ucapanku, dia hanya mengelus pundakku lembut. “Sekarang hubungan kami hanya atasan dan karyawan baik itu di dalam maupun luar kantor.” Aku menghapus jejek air mata di pipiku sudah cukup aku tak mau lagi berlarut-larut. Patah hatiku sudah selesai sejak lama, bukannya aku sudah baik-baik saja sebelumnya, toh, mereka berdua adalah orang yang sama dengan delapan tahun yang lalu. Suara bel membuatku menyernitkan dahi, siapa yang datang malam begini. Ah, ternyata si paling posesif, habislah aku kalau dia melihat mataku sembab begini. Aku melirik Tiara sebelum membuka pintu, dia mengulum senyum seolah tahu siapa yang ada di balik pintu. “Kamu menangis?” tanya Dimas, tanpa mengucap salam. Aku segera kabur ke dapur mengambilkannya minum. “Jingga!” “Waalaikumsalam,” ujar Tiara mengingatkan Dimas. “Assalamu’alaikum, kenapa dia?” tanya Dimas penasaran. Dia sudah duduk di samping Tiara, sesekali melirikku di dapur. Aku rasa dia tak akan berhenti bertanya sampai mendapat jawabannya. “Waalaikumsalam,” jawabku dan Tiara bersamaan. Aku kembali dari dapur meletakkan segelas orange jus di hadapannya, aku sengaja melayaninya begini barang kali bisa mengurangi omelannya. Aslinya kalau dia datang tanpa diundang begini aku tinggal tidur. “Kalau sudah diam begini aku tahu alasanmu menangis. Kamu terlalu berharga untuk menangisinya, Jingga. Kamu harus segera berdamai dengan masa lalumu, life must go on,” ujar Dimas. Dia meraihku dalam dekapannya, sajenku berhasil, dia tak mencak-mencak seperti dulu kala tahu aku menangisi mantan. Aku sudah baik-baik saja kok, sebelum kembali bertemu dengannya. “Jadi apa besok agenda kita, Ga,” tanya Tiara saat aku melepas pelukan Dimas. Benar juga kami sudah menulis apa-apa saja kegiatan yang akan kami lakukan bersama weekend ini sebelum Tiara kembali ke Yogyakarta. “Cancel saja agenda kalian, temani aku saja besok." Eh, kemana?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN