Aku kembali menguatkan diri, menggelengkan kepala untuk menghilangkan perasaan tidak nyaman tadi. Mendapat celah lengahnya Kino, aku segera menghentakkan kaki dan mengalungkan keduanya di leher besar milik Kino.
Pitingan di kedua tanganku mengendor, kumanfaatkan hal itu dengan membebaskan diri dan menduduki badan besar Kino di bahunya.
Kino berusaha melepaskanku yang kini mencengkram lehernya.
"Maju lo semua, sekali putar, patah leher bos lo - lo orang!" Ancamku.
Kino menyuruh anak buahnya mundur, tangannya melemah untuk melepaskan diri dari cengkraman dan jepitan kakiku.
"Gue kasih tahu sama kalian, ini Kino tukang bully yang kalian semua takuti. Dia gak punya apa - apa kecuali badan besar dan otak yang sebesar biji kacang. Dan para kacung - kacung yang pengecut ini, sama tololnya. Mulai hari ini, lawan siapapun yang menindas kalian. Di dalam sini, kita semua sama. Sama - sama manusia dengan catatan kriminal. Kita sama rendah, di mata orang - orang diluar sana. Elo, simpan syahwat lo dan lampiaskan ke orang yang sukarela lo pake. Bukan memaksa mereka menuruti nafsu b***t lo!" Atraksi terakhir sebelum melepaskan diri dari bahu Kino, aku memberikannya kenang - kenangan dengan mematahkan pergelangan tangan kanannya.
Kino meraung - raung kesakitan.
Melepaskan Kino, aku baru menyadari d**a dan wajahku yang rasanya membengkak.
Beberapa petugas kesehatan menghampiri Kino, aku beranjak dari kantin. Seseorang menahan lenganku.
"Ayo ke klinik, Abang juga butuh perawatan." Sekar menarik lenganku pelan dan mengawati wajahku dengan seksama.
"Pake es batu juga membaik." Jawabku, menolak bantuannya dengan halus.
Sekar mencengkram pergelangan tanganku dengan erat.
"Kalau gak mau kena infeksi, saya bersihkan sekarang. Disini, bukan tempat yang bersih untuk punya luka terbuka." Sekar menarikku dengan paksa.
Aku baru menyadari, pelipisku robek. Mungkin kena cincin yang dipakai Kino saat dia menghantam wajahku.
Sekar menarik lenganku ke belakang dan rasanya, seperti mau patah.
"Lengan Abang juga cedera sepertinya, hindari olahraga berat dan angkat barble. Saya akan bebat lengannya."
Aku diam dan pasrah mendapatkan perawatan dari Sekar. Di bangsal seberang, Kino juga mendapatkan perawatan untuk lengannya yang patah.
Tidak akan masalah jika tidak ada yang buka mulut tentang peristiwa tadi. Dan disini sudah terbiasa. Korban Gunadi dan Kino yang mati saja sudah banyak, tapi tidak ada tindakan tegas untuk mereka semua.
"Kenapa?" Tanya Sekar pelan.
"Hm?" Aku tidak mengerti maksud pertanyaannya.
"Kenapa Abang bela mereka?" Sekar melirikku dan kembali ke luka - luka yang sedang dibersihkannya.
"Saya gak bela siapa - siapa." Jawabku.
Sekar menghela napas pelan, "Abang tahu kan resikonya melawan gerombolan Kino atau Gunadi?"
"Gak tahu. Apa?" Aku menantangnya, Sekar menatap kedua mataku lekat - lekat.
"Kamu baru aja bunuh diri." Lanjutnya.
Sekar melemparkan kapas yang sudah basah dengan darahku ke dalam mangkuk stainless berisi air. Menuangkan alkohol ke kapas bersih dan menekannya lembut ke pelipisku.
"Saya hanya melakukan hal yang benar."
Sekar melakukan sentuhan akhir dengan kain kasa dan plester aid. Lalu membebat lenganku dan menulis sesuatu disana.
"Done. Gak ada obat, tapi tolong, hindari melakukan hal - hal berat. Termasuk, menjadi jagoan seperti tadi." Pesannya.
"Terima kasih, Dok." Jawabku dan beranjak dari Klinik.
Di kain yang membebat lenganku, terdapat tulisan.
'Baru lengan yang cedera, bukan hati '
Membuatku menggelengkan kepala dan tertawa membacanya.
Sekar.
Rio masih memandangi tulisan tangan Sekar di kain yang membebat lenganku.
"Bisa aja dia nikung." Bisiknya ke Said.
Aku hanya menggelengkan kepala, malas menanggapi ocehan Rio.
"Ck, gue pura - pura diare apa ya. Eh tapi gak mungkin Sekar coret - coret di bungkus obatnya." Lanjut Rio.
Igor menepuk kepalanya, "minta patahin tangan lo sama Giri. Dijamin, perban lo rame gambar bunga nanti."
Kami tertawa mendengar candaan Igor.
"Girindra Asta!" Panggil salah satu sipir.
"Mampus lo, Bro! Kena lo disidang ulang."
"Kenapa ya? Ketahuan Bang Giri yang patahin tangan si Kino?" Said berbisik.
Aku mengedikkan bahu. Berdiri, aku mengangkat tangan ke arah sipir yang memanggil.
"Ada yang besuk. Tiga puluh menit dari sekarang." Teriaknya lagi.
"Waahh, bulan ini ulang tahun lo kali ya Gi? Banyak banget yang besuk dari kemaren." Rio ikut semangat.
"Bukan." Ulang tahunku dua bulan lalu harusnya, tapi tidak ada satupun keluarga atau teman yang datang. "Gue kesana dulu."
Aku beranjak meninggalkan mereka bertiga dan berjalan ke ruang besuk. Membuka pintunya secara perlahan dan melihat yang menjengukku berdiri disana. Membelakangi pintu.
"Trinity." Sapaku, gadis itu berbalik.
Wajahnya yang kacau cukup menggambarkan keadaannya beberapa bulan ke belakang.
Tangan Trinity menggenggam tas dengan erat, di matanya, amarah itu masih ada dan menyala.
Perlahan, aku mendekati gadisku yang masih bergeming di tempatnya. Kedua mata itu kini berkaca - kaca.
"Gue benci elo." Tiga kata pertama yang penuh penekanan. "Kenapa lo masih hidup? Kenapa gak mati aja sekalian?" Lanjutnya lagi.
Dengan tenang, sekuat tenaga meredam emosinya dalam - dalam.
Kuraih wajahnya dengan tangan kiri, Trinity menepisnya cepat.
"Mereka gak bisa matiin lo disini?" Trinity menekan dadaku.
Tepat di tempat Kino meninjunya kemarin.
"Aku sehat. Aku harap kamu juga sehat." Jawabku, keluar dari topik yang dia ingin bahas.
"KENAPA LO GAK MATI AJA SEKALIAN? HAH?"
"Aku rindu kamu, Trinity."
"b******k! b******k!" Trinity memukul - mukul dadaku sekarang.
Airmatanya mengalir deras.
"Aku juga rindu kamu, Trinity." Kupeluk dia yang meronta - ronta.
Trinity menangis tersedu - sedu. Sejak kedatangannya yang pertama, Trinity semakin sering mengunjungiku. Meskipun dia hanya melampiaskan marah, mengomel dan menangis padaku.
Aku tidak keberatan. Selama bisa memandangi wajahnya. Selama bisa melihatnya berada di dekatku.
Aku tidak menghakiminya. Semua wajar. Trinity hanya sedang bingung dan berduka. Aku mengerti perasaannya.
Hari berganti dengan cepat, amarah Trinity masih rutin kuterima. Hampir setiap hari. Hingga semua penjaga mengenalnya.
Begitu juga hari ini.
"Mas Giri, ada mbak yang biasa." Indra, seorang sipir junior memanggilku dengan sopan.
"Ehem, ada yang minta jatah." Rio meledek.
"Ciee enak banget sih, yang dikangenin terus." Said menggoda.
Hanya Igor yang tahu, bagaimana interaksi Trinity dan aku setiap ia datang membesuk. Kami pernah berbarengan mendapatkan kunjungan, di ruangan yang bersebelahan juga ketika itu.
Trinity terlihat lebih segar hari ini. Ia mengenakan baju formal dan make up yang meski tipis, tetap kentara.
Kami duduk berhadapan, dengan meja kecil sebagai pemisahnya.
Trinity mengeluarkan laptop dan mulai menggambar tanpa mempedulikanku.
"Gue baru pulang wawancara untuk magang di konsultan Arsitektur. Tapi kayaknya ditolak. Mereka terang - terangan bilang, disain gue kayak gambar rumah anak TK--"
"Ka--"
"Sst! Lo gak boleh ngomong! Dengerin gue aja." Potongnya, aku mengangguk dan mempersilakan ia melanjutkan ceritanya.
Aku mendengarkan Trinity dengan seksama. Memperhatikan dirinya yang sedang merancang sebuah rumah. Trinity terus menceritakan tentang kegiatannya, hingga teringat Oscar dan kembali melampiaskan amarahnya padaku.
Dia memukul - mukul meja dengan kesal sekarang, aku menghentikan tindakannya.
"Jangan pukul meja, tangan kamu luka nanti. Pukul aku aja." Aku berdiri memunggungi Trinity.
Memberikan punggung untuk dijadikan tempat Trinity melampiaskan kesal.
Dia mulai memukul - mukul pelan, sambil mencaci maki perbuatanku pada Oscar malam itu. Dimana Trinity ikut menyaksikan tragedi naas yang merenggut nyawa Kakaknya.
Hingga tangisnya terdengar. Dia menyesal telah mengenalku. Menyesal ikut denganku malam itu. Menyesal, pernah mencintaiku.
Dia menyesali segalanya.
Meluapkan marah, kesal dan kebenciannya di dadaku.
"Keluarkan semuanya. Sampai sesak di dadamu hilang. Sampai kamu lega." Bisikku.
•••