Reina sudah selesai dengan tugasnya saat jam istirahat tiba. Seluruh peralatan 'perang'nya, yakni alat pembersih dan tumpukan kain linen bersih dalam troley kerja miliknya, ia rapikan di tempat penyimpanan sebelum akhirnya ia turun untuk istirahat ke kantin.
Jadwal shift satu hari itu Reina kebagian membersihkan area kamar di lantai lima. Bersyukur tentu saja gadis itu panjatkan pada Tuhan sebab ia merasa beruntung bisa terhindar dari sosok Rian, yaitu teman sekolahnya yang hari itu resmi menjadi atasannya sebagai manajer room division di hotel tempat Reina bekerja.
Bagaimana bisa dikatakan beruntung? Tentu saja Reina merasa beruntung karena ruangan di mana manajer itu berada berada di lantai dua yang biasanya langganan menjadi area Reina bekerja sehari-hari.
Cukup sudah perasaan kaget gadis itu rasakan ketika bertemu kembali dengan Rian setelah lima tahun tidak bertemu. Area parkir di mana hampir membuat Reina terluka, menjadi saksi bisu saat Rian yang merupakan cinta pertama Reina —yang menjelma menjadi sosok pria yang semakin tampan di tengah kecerdasan otaknya, muncul dengan raut wajah yang sama kaget dengannya.
Terkejut, kaget, dan entah perasaan apalagi yang Reina atau Rian rasakan kala itu. Ditambah informasi yang akhirnya Reina terima ketika mendapatkan kejutan berikutnya di mana Rian adalah manajer divisi kamar yang baru, menggantikan sosok Bu Winda.
Padahal pergantian Eksekutif House Keeper baru saja bagian housekeeping alami. Ternyata pergantian jabatan itu pun bergantian dengan keluarnya Bu Winda yang mendadak, yang tidak diketahui oleh pegawai lain.
Kini sosok Rian hadir di tengah ketentraman hidup Reina. Ketentraman yang sulit ia rasakan setelah lelaki itu menyakiti hatinya saat terakhir kali ia menyatakan perasaan cintanya saat SMA dulu.
"Woy! Rein!" seru Jefry ketika bertemu muka dengan Reina di lantai basement di mana kantin khusus karyawan berada.
Reina yang terlihat melamun sembari membawa gelas thumbler kesayangannya, terlihat tak fokus berjalan meski langkahnya tepat mengarah ke kantin.
"Eh, Jefry! Kenapa?" tanya Reina yang kembali tersadar dari lamunannya.
"Kenapa?" sahut lelaki itu heran. "Kamu tuh yang kenapa!" tukas Jefry seraya mengernyit.
Reina hanya membalas tersenyum canggung. Meski gadis itu tidak berkata lagi, tetapi keduanya tetap melangkah tak berhenti hingga sampai di pintu kantin.
Tampak sudah banyak karyawan yang menempati bangku kayu panjang dengan makanan di atas meja, di depan masing-masing. Ada yang terlihat khusyu makan, ada juga yang sembari tertawa cekakak cekikik dengan tangan yang menyendokkan makanan ke dalam mulut.
"Reina!" panggil Desi salah satu temannya seraya mengangkat tangan dan melambai supaya ia menghampiri.
Gadis itu tentu saja tak membuang kesempatan. Daripada bersusah mencari tempat duduk di tengah banyaknya karyawan terutama laki-laki yang mendominasi, Reina memilih untuk mendekati Desi yang sudah lebih dulu duduk bersama teman perempuannya yang lain.
"Kamu mau ikut gabung sama kami juga, Jef?" tanya Desi ketika sahabat Reina itu terus saja mengekor.
Tak ayal Reina dan teman perempuannya yang lain menengok, menatap satu-satunya lelaki yang berada di tengah mereka.
"Ehm, a-aku cuma mau anter Reina aja kok!" seru Jefry yang tiba-tiba canggung. Beda halnya dengan Reina yang terlihat cuek dan seolah tak peduli dengan keberadaan Jefry yang berdiri di sebelahnya.
Meski semua karyawan tahu mengenai kedekatan antara Reina dan Jefry —sebagai sahabat, tetap saja Jefry kerap malu jika selalu digoda oleh teman-temannya yang lain.
"Jefry!" Suara laki-laki yang pastinya akan Jefry 'sembah' kakinya karena sudah menyelamatkan dirinya dari situasi yang tidak mengenakan.
Ternyata Danu yang memanggil Jefry tadi. Lelaki yang juga bekerja di bagian housekeeping bagian garden atau taman.
"Aku gabung ke sana yah, Rei?" ucap Jefry yang mengetahui ketidaktenteraman sang sahabat setelah munculnya sosok Rian di hadapan mereka.
"Hem!" sahut Reina, sekali lagi cuek.
Lelaki itu pun menghampiri kawannya sesama lelaki, membiarkan Reina duduk bersama dengan kawannya yang lain.
"Kamu kenapa, Rei?" Pertanyaan Desi tiba-tiba yang sempat Jefry curi dengar sebelum ia duduk.
"Ah, enggak kenapa-kenapa. Emang kenapa yah?" Reina bertanya balik.
"Enggak kenapa-kenapa sih, tapi keliatan agak murung aja. Yakin enggak ada apa-apa, kan?" Kembali Desi memastikan dengan didukung temannya yang lain, yang juga memandang Reina serius.
"Yakin-lah! Aku baik-baik aja kok!" Reina berusaha menampilkan wajah ceria seperti biasanya. Ia tentu saja tidak mau kegelisahan yang saat ini ia rasakan, diketahui oleh teman-temannya itu.
"Syukur deh kalo gitu. Terus kamu enggak mau ambil makanan sekarang?"
"Menunya apa hari ini?" tanya Reina sembari melihat ke arah kotak makan Desi yang berisi menu makan siang. Ada nasi, lauk pauk dan buah, ada di dalam kotak makan khusus karyawan.
Ya, hotel di mana Reina bekerja, memang menyiapkan makan siang gratis untuk seluruh karyawan. Ada petugas kantin yang selalu stand by menyediakan makanan untuk para karyawan makan di waktu istirahat siang mereka.
"Kayanya enak. Ya udah aku ambil dulu ke sana!" serunya sambil beranjak berdiri.
Gadis itu pun berjalan menuju meja panjang dan cukup besar, yang menampung banyak kotak makanan bersusun yang sudah terisi makanan di dalamnya. Reina baru akan mengambil satu, tetapi aksinya terhenti ketika Jefry sudah menyodorkan sebuah kotak makan itu kepadanya.
"Makasih, Jef!" ucap Reina tulus sambil tersenyum.
"Rein!" panggil Jefry cepat karena melihat Reina sudah akan berbalik dan kembali ke tempat teman-temannya.
"Ya?"
"Apakah kamu baik-baik saja?" tanya Jefry yang jujur saja mengkhawatirkan sahabatnya tersebut.
"Kenapa sih orang-orang menanyakan pertanyaan yang sama ke aku. Aku baik-baik saja, Jef. Emang kenapa?" Reina sedikit menaikkan intonasi suaranya meski ia tekan supaya tidak terdengar orang lain.
"Rian! Ada Rian yang tiba-tiba muncul, dan aku sangat tahu kalau kamu sudah bertemu dengannya bukan?"
Reina dan Jefry memang beda bagian. Reina bekerja di bagian room attendant sedangkan sang sahabat bekerja di bagian laundry. Tubuh Jefry yang tegap dan besar, menjadi alasan utama manajer personalia dulu menerimanya. Meski terdengar lucu dan tak masuk akal, tetapi kenyataannya memang seperti itu.
"Jika melihat nilai akademis kamu, jujur saja kamu tidak masuk kriteria. Tapi, melihat postur tubuhmu yang terlihat besar dan sepertinya kuat, maka saya memberimu kesempatan untuk bergabung di perusahaan ini untuk bekerja di bagian laundry," ujar sang manajer personalia kala itu.
Percaya atau tidak, hal yang sama pun manajer yang sama itu katakan kepada Reina dulu.
"Saya ingin melihat sejauh mana kinerja kerjamu di sini. Ilmu yang kamu miliki meski tidak dibarengi nilai yang memadai, seharusnya bisa kamu aplikasikan ketika bekerja nanti. Sebagai anak yatim dan kini menjadi tulang punggung keluarga demi menafkahi ibu atau keluargamu, saya harap kamu bersungguh-sungguh dalam memegang kepercayaan yang saya berikan."
Pak Chandra, adalah sang manajer personalia. Lelaki paruh baya yang begitu baik dan pastinya bijaksana, sama sekali tidak menyesal ketika menerima dua sahabat itu bekerja. Keduanya betul-betul bekerja sesuai dengan prosedur pekerjaan di masing-masing bagian.
Kembali pada percakapan Reina dan Jefry di depan meja besar, gadis itu kini terlihat menunduk ketika sang sahabat menanyakan sosok lelaki yang sejatinya sudah ingin ia lupakan tersebut.
"Kamu tidak baik-baik saja bukan, Rein?"