Melarikan Diri

1304 Kata
Reina mencoba memberontak. Sikap Rian yang tiba-tiba merengkuhnya, membuat gadis itu panik sebab khawatir akan menjadi perhatian orang-orang yang lewat di area ruang loker. "Rian! Lepaskan aku!" pinta Reina sedikit meninggikan suaranya. "Tidak!" "Apa kamu sudah gila? Kita ini sedang di tempat kerja. Banyak orang yang mungkin saja akan melihat ke arah kita. Jangan bersikap bodoh seperti ini!" hardik Reina kesal sembari masih mencoba melepaskan pelukan lelaki itu. Perlahan Rian melonggarkan pelukannya, tetapi itu hanya sedikit tindakan memberi napas bagi Reina agar tidak merasa sesak karena ulahnya. "Beri aku kesempatan untuk bicara, baru aku akan melepaskanmu!" "Aku sudah memberimu waktu, tetapi kamu meminta lebih." "Aku tidak leluasa berbicara di sini." "Di sini atau di tempat lain bagiku sama saja. Jangan menganggap kita memiliki hubungan spesial sehingga kamu merasa yakin sekali bahwa aku akan menyetujui permintaanmu. Di sini atau tidak sama sekali?" ancam Reina dengan kedua tangan berusaha melepas rengkuhan Rian padanya. "Kalau begitu aku akan memaksa!" Dengan gerakan cepat, Rian melepas pelukannya lalu menarik tangan Reina supaya ikut dengannya. Gadis itu tentu saja kaget. Ia berusaha terus melepaskan genggaman tangan Rian meski tenaga yang ia miliki hampir habis. Beruntungnya Reina, ketika mereka hampir sampai dengan mobil berwarna hitam di deretan parkiran khusus jajaran direksi, ada seorang security hotel yang tengah berjalan mengontrol. "S-selamat sore, Pak Rian! Reina?" sapa si petugas yang kemudian heran melihat Rian yang seperti tengah memaksa Reina. "Selamat sore, Pak Budi!" balas Rian yang mengetahui nama si security dari seragam yang dikenakan. Melihat ada orang lain di antara ia dan Reina, lelaki itu pun kemudian melepas tangan temannya itu dari genggaman. "Sore, Pak Budi. Terima kasih Bapak ada di sini. Maaf, saya udah harus pulang. Bisakah Pak Budi antar Pak Rian ke ruangannya. Beliau baru di sini, jadi lupa arah jalan pulang ke ruangan!" seru Reina yang bersiap untuk ancang kaki dari sana. Rian menengok kesal pada Reina. Namun, seolah tidak memiliki pilihan apalagi sang gadis yang sudah berlari meninggalkan, mau tak mau Rian pun melanjutkan sandiwara yang Reina mulai. "Tidak perlu mengantar saya, Pak Budi. Beri tahu saya saja, ada di mana lift-nya," sahut Rian pura-pura, padahal jelas sebelumnya ia baru saja keluar dari lift ketika menyusul Reina turun. Sosok Pak Budi yang tidak tahu apa-apa, hanya menatap datar lelaki di hadapannya saat ini. Tidak mengerti akan kondisi apa yang baru saja terjadi antara Reina dan manajer baru itu, Pa Budi pun memilih untuk menjawab pertanyaan yang Rian ajukan. "Pak Rian kembali ke jalan yang tadi dilewati, kemudian belok kiri. Di sana udah kelihatan lift-nya." Rian mengikuti arahan sang security. Ia pun tersenyum dan mengangguk. "Oh, baik. Terima kasih informasinya. Kalau begitu saya permisi, Pak!" "Sama-sama, Pak Rian!" Rian kemudian melangkah kembali ke arah lift. Jam kerja yang memang belum berakhir, memaksanya untuk kembali melanjutkan pekerjaan yang baru saja ia pegang. Urusan Reina yang sebelumnya akan ia prioritaskan, harus gagal karena gadis itu berhasil melarikan diri. "Kenapa sulit sekali, Rein. Aku hanya ingin bicara dan meminta maaf. Meski masih ada hari esok, aku tak mau terus menunda lagi setelah apa yang sudah aku lakukan kepadamu di masa lalu," gumam Rian seiring langkahnya yang sudah masuk ke dalam lift untuk mengantarnya ke lantai atas. Sedangkan di tempat lain, Reina yang akhirnya berhasil melarikan diri, terpaksa meninggalkan sepeda motornya di parkiran sebab tak ingin membuang waktunya yang malah akan kembali bertemu dengan Rian. Karena Reina yakin lelaki itu akan mudah melepaskan diri dari security, yang mungkin saja mencurigai adanya satu peristiwa di antara mereka tadi. Saat ini Reina tengah berdiri di halte bus dekat hotel tempatnya bekerja. Ia menunggu datangnya ojek online yang sudah ia pesan. Tidak sampai lima menit, motor matik yang dikendarai lelaki berjaket hijau, mendekat ke arahnya dan menghampiri. "Dengan Mbak Reina?" tanya si mas ojek. "Iya. Saya Reina." "Ah iya, saya Heri. Ini helm-nya, Mbak!" seru si mas ojek bernama Heri sembari menyerahkan pelindung kepala kepada Reina. "Ah iya. Makasih!" Reina mengambil helm yang Heri sodorkan. Gadis itu pun memakainya dena segera naik ke atas motor. "Alamat sesuai dengan yang tertulis di aplikasi, Mbak?" "Iya, Mas." "Ok. Jalan sekarang?" "Iya." Motor ojek online itu pun mulai membelah jalan raya, meninggalkan halte yang masih dihiasi beberapa orang yang mungkin sedang menunggu angkutan transportasi yang dituju. Bangunan hotel, tempat di mana Reina bekerja, semakin mengecil seiring perjalanan gadis itu pulang ke rumah. Meninggalkan rasa kesal di hati Reina sebab aksi Rian yang sama sekali tidak ia duga. Di sepanjang perjalanan, Reina hanya diam sembari memperhatikan jalan. Perjalanan pulang yang biasanya memakan waktu setengah jam dengan lalu lintas normal, sepertinya akan sedikit terlambat sebab aktifitas jalan raya yang terlihat mulai padat. Reina kembali teringat akan aksi Rian di tempat mereka terakhir bertemu tadi. Reina yang sama sekali tidak menduga akan hadirnya sosok Rian di tempat kerjanya, semakin tak mengerti dengan ulah mantan temannya itu yang tiba-tiba bersikap agresif. Sikap yang tak mungkin lelaki itu lakukan sebab yang Reina tahu —bahkan hafal, bahwa sosok lelaki itu adalah lelaki dingin dan pendiam. Tak banyak bicara apalagi bersikap sok perhatian. Tapi, apa yang ia lihat hari ini, sungguh bukanlah Rian yang ia kenal dulu. Ada apa dengannya? Apakah ada sesuatu yang merubah kepribadiannya. Sedangkan lelaki yang dulu Reina sukai, adalah lelaki yang pintar dan tak pernah membuat ulah. "Sudah sampai, Mbak! Ini rumahnya bukan?" Suara sang ojek membuyarkan lamunan Reina. "Eh, iya, Mas. Di sini!" Motor kemudian berhenti perlahan. Reina pun bersiap turun dan segera menyiapkan uang untuk ongkos ojek. "Ini, Mas!" seru Reina sembari menyerahkan uang dan helm kepada mas ojek. "Kembaliannya, Mbak. Sebentar!" "Eh, enggak usah. Buat Mas-nya aja." Reina memotong pergerakan si mas ojek yang sudah akan mengambil uang kembalian dari tas di pinggangnya. "Ah, makasih, Mbak Reina!" "Sama-sama." Terlihat sekali si lelaki itu senang, padahal kembalian sisa uang Reina hanya beberapa ribu saja. Melihat itu, membuat Reina ingat masa-masa ketika ia dan sang ibu harus kehilangan sang ayah di tengah impiannya yang masih bersekolah dan ingin menggapai cita-cita. Uang sekian ribu yang harus ibunya kumpulkan demi kelangsungan hidup mereka sehari-hari, begitu berharga untuk mereka simpan dan tabung. Hingga akhirnya, rupiah demi rupiah yang ibunya kumpulkan dari berjualan bisa membuat mereka akhirnya bertahan. Seperti halnya yang ia saksikan kali ini, tukang ojek yang mungkin saja mendapatkan penghasilan hanya dari menjadi tukang ojek online, mengumpulkan rupiah demi rupiah untuk kehidupan keluarganya di rumah. Ah, betapa hidup memang harus banyak-banyak manusia syukuri. Termasuk Reina, yang akhirnya bisa mendapatkan pekerjaan setelah luka yang Rian torehkan mampu membuatnya menjadi sosok perempuan tangguh di tengah keterbatasan ekonomi keluarganya. Ia yang terluka sebab penghinaan yang sejatinya karena ulahnya sendiri, mampu membuatnya bangkit bersamaan dengan kondisi sang ayah yang pergi meninggalkan dunia untuk selamanya. "Assalamu'alaikum!" sapa Reina sedikit berteriak saat tiba di depan pintu rumah. Gerbang pagar yang tidak ibunya kunci, memudahkan gadis itu masuk ke halaman. "Wa'alaikum salam!" jawab seseorang dari dalam setelah Reina masuk ke dalam rumah tanpa menunggu seseorang membukakan pintu. "Baru pulang?" tanya sang ibu yang ternyata sedang duduk bersantai di depan TV. "Iya, Bu!" jawab Reina seraya menghampiri Bu Cintya dan mencium telapak tangan wanita yang usianya mendekati usia paruh baya itu. "Kok Ibu enggak denger suara motor kamu?" Ibu Cintya menatap wajah sang putri menyidik. Reina yang sudah menebak bahwa pertanyaan itu pasti akan ibunya ajukan, memilih bicara jujur demi topik yang enggan ia bahas. "Reina tinggalin di parkiran hotel, Bu." "Kenapa? Mogok?" tanya wanita itu lagi. "Enggak kok, Bu!" "Terus?" Bu Cintya menatap putrinya bingung. Gadis itu yang sudah akan beranjak menuju kamar, seketika menghentikan langkahnya sebelum melanjutkan. "Ada Rian di hotel. Reina sengaja ninggalin motor di sana karena menghindari lelaki itu, Bu!" Bu Cintya sempat terkejut ketika nama Rian disebut oleh putrinya itu. Tapi, melihat sosok Reina yang sepertinya menghindari pertanyaan yang ingin ibunya lontarkan, malah terlihat melanjutkan langkahnya menuju kamar. "Nanti Reina ceritain. Sekarang Reina mau istirahat, mau mandi juga!" seru gadis itu sesaat sebelum masuk ke dal
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN