Apa yang Reina lakukan terhadap Rian, bukanlah sikap sombong yang tidak pernah ia pikirkan sebelumnya. Mendapati sosok lelaki yang sudah lama tidak ada dalam kesehariannya, apalagi ada kenangan buruk di antara mereka, membuat Reina harus mengambil sikap itu.
Gadis itu sempat heran ketika Rian terkejut ketika ia bersikap cuek dan tak peduli. Mengapa ia kaget? Bukankah selama kami sekolah dulu lelaki itu pun tak pernah menganggapnya ada. Lantas, kenapa sekarang lelaki itu kaget begitu mendapat balasan darinya? Begitu pikir Reina bertanya. Namun, hanya sekejap prasangka yang tak berkelanjutan.
Selepas gadis itu menyelesaikan kewajibannya, sosok Rian sudah tak ada ketika dirinya akan mengenakan sepatunya kembali.
Yunita juga tak lama selesai. Akhirnya keduanya pun kembali menuju markas mereka untuk segera menyelesaikan pekerjaan yang belum tuntas.
Lantai dua adalah tempat di mana base camp divisi housekeeping berada, termasuk ruangan manajer room division yang saat ini ditempati Rian, menggantikan sosok Bu Winda yang memilih resign karena mendapat pengalaman bekerja di tempat lain.
Ruangan Rian tepat bersebelahan dengan markas housekeeping. Tempat itu pula yang tadi digunakan sebagai tempat perkenalan Rian sebagai manajer baru di hotel bintang lima tersebut. Tempat di mana sosok seorang gadis terkejut untuk kedua kalinya saat tahu jika lelaki yang sudah membuatnya patah hati itu saat ini menjadi atasannya bekerja.
Takdir hidup seseorang memang tidak ada yang pernah tahu bagaimana perjalanannya. Di saat seorang insan sudah menutup hati dan matanya untuk seorang lelaki dalam kehidupannya, Tuhan justru mempermainkan jalan takdirnya.
Itulah yang saat ini terjadi pada Reina. Seorang gadis yang dulu sempat tertatih demi menata hati dan melupakan cinta pertamanya, kini hati yang sudah kuat setelah tak terisi nama si lelaki, harus pecah berkeping manakala mereka dipertemukan kembali.
"Jangan pernah tergoda dengan pesonanya, Rein. Mau bagaimana pun lelaki itu sudah membuatmu kehilangan harga diri di depan banyak orang," ucap Jefry ketika mereka bertemu dan bicara saat berjalan menuju markas.
"Tidak sepenuhnya ia bersalah, Jef. Kamu tahu pasti kalau aku yang sudah menjatuhkan harga diriku sendiri waktu itu," sahut Reina datar.
"Jadi, kamu memaafkannya?" seru Jefry seolah tak terima.
Reina memandang sahabatnya itu, ada raut kecewa ketika Jefry bertanya demikian.
"Tidak ada yang salah dalam kisah masa laluku dulu. Jadi, aku pikir tidak ada yang harus aku maafkan dalam hal ini."
"Kamu masih belum melupakannya, iya?"
Perasaan suka yang Jefry miliki terhadap Reina sejak keduanya masih sekolah, membuat rasa khawatir hadir dalam diri lelaki itu jika melihat gadis yang ia sukai itu menderita.
"Kamu tidak perlu mengkhawatirkan aku, Jef, aku sudah lama sekali menghapus namanya di dalam sini!" ucap Reina sembari menunjuk dadanya.
"Benarkah?"
Reina mengangguk. "Sejauh ini aku sama sekali tidak terpengaruh dengan kehadirannya. Lagipula, ia juga tidak melakukan apa-apa, ia murni bekerja di sini sebagai manajer. Jadi, kenapa kita seperti orang yang ke-GR-an gini sih!" seru Reina tertawa.
Yunita yang berjalan sambil menelepon seseorang, tidak fokus mendengar obrolan antara dua sahabat itu. Ia hanya menoleh sebentar ketika Reina tertawa, entah apa yang dibicarakan.
"Iya juga sih, kamu bener. Ya, mudah-mudahan saja si Rian itu bener kerja di sini bukan karena sengaja cari kamu karena perasaan bersalah yang menghantui."
"Jangan berlebihan, Jef. Aku ini memang siapa harus dicari oleh siswa pintar kaya dia."
"Mana kita tahu kalau dia memang ngerasa salah setelah kejadian penolakan terakhir kali itu. Sebab yang aku pernah denger dari anak-anak dan aku juga sempat lihat sendiri, Rian sering merhatiin kamu paska kejadian itu."
"Tahu ah, aku enggak pernah peduli lagi setelah itu. Jadi, aku enggak merhatiin tuh!" sahut Reina saat ketiganya sudah berdiri di depan lift.
Ketiganya menunggu. Tak lama Yunita selesai dengan obrolannya bersama seseorang.
"Eh, Jefry! Kamu mau ke atas juga?" seru Yunita tiba-tiba.
"Eh, enggak. Aku cuma nemenin Reina aja, soalnya dianggurin sama temennya yang teleponan terus!"
"Yee, bolehnya kesel. Reina aja 'b' aja tuh!"
"Ya iyalah si Reina biasa, 'kan aku temenin ngobrol. Bukan dianggurin."
"So what gitu loh!"
"Shut! Ini apaan sih? Kalian tuh ribut mulu," sahut Reina meredam keributan.
"Jefry, makasih karena udah nemenin aku sampai sini. Sana balik lagi ke tempat kamu sendiri!" usir Reina pelan.
"Hem, ok deh. Kalau gitu aku balik ke ruangan laundry, yah!" seru Jefry seraya berjalan meninggalkan dua perempuan itu di depan lift.
"Dan kamu, Yunita, ayo kita masuk!" ajak Reina ketika lift berbunyi dan terbuka pintunya.
***
Menjelang pergantian shift, Reina hampir merampungkan pekerjaannya. Lebih dari sebagian daftar ruangan yang harus ia check, sudah ia periksa. Tersisa beberapa kamar, gadis itu biarkan supaya menjadi tugas karyawan yang shift berikutnya.
Reina bersiap mendorong trolley kerjanya ke gudang penyimpanan. Nantinya trolley itu akan digunakan juga oleh room attendant yang lain.
Gadis itu tinggal sendirian di markas saat semua karyawan shift pagi sudah lebih dulu pulang, termasuk juga Yunita. Ia yang sejak tadi berbicara dengan seseorang melalui sambungan teleponnya, ternyata sudah memiliki janji untuk bertemu.
Reina juga sudah mau pulang, tetapi Aldi —sang kapten, memintanya untuk menjaga ruangan itu sebentar sebab ia ada perlu dengan Bu Cici —sang eksekutif housekeeper, yang hari itu adalah hari terakhirnya bekerja.
"Janji yah, Mas, cuma sebentar. Aku sendirian ini," lirih Reina ketika lelaki itu memintanya menunggu.
"Iya, janji. Orang cuma mau nyerahin laporan ini doang kok!"
"Ya udah, iya sana!" tukas Reina sambil tangannya ia kibaskan, tanda mengusir.
Kini sudah hampir lima belas menit Reina menunggu, tetapi sosok Aldi tak kunjung muncul. Perasaan takut karena ditinggal sendiri, membuatnya tak banyak bergerak dan hanya diam di kursi yang ada di ruangan markas tersebut. Mencoba menghalau pikiran buruk yang menghantui dan berkelebat di dalam bayangannya, Reina memilih memainkan komputer dan bermain game di layar terang tersebut.
Di tengah asik dan khusu-nya Reina mengasah otak-nya yang sedikit tumpul, tiba-tiba terdengar suara ketukan dari arah pintu.
Reina masih membiarkan, hingga ketukan yang ketiga kali akhirnya membuat Reina beranjak bangun.
Kaget, itulah yang Reina rasakan ketika Rian adalah sosok yang berdiri di depan pintu dan orang yang sudah mengagetkannya.
"Reina."
"Selamat siang, Pak Rian. Ada yang bisa saya bantu?" sapa Reina senormal mungkin.
Untuk yang kesekian kalinya Rian terkejut mendapati sikap Reina yang seolah lupa dengan dirinya.
"Bagaimana kabar kamu, Rein?"
"Maaf, ada perlu apakah Bapak datang ke ruangan ini?" Gadis itu mengalihkan pertanyaan si lelaki.
"Reina, ini aku Rian."
Kali ini Reina tidak menjawab. Ia membisu di tengah tatanan hatinya yang harus ia coba atur kembali seperti semula.
"Reina, apakah kamu lupa aku siapa?"
"Maaf, Pak Rian. Tentu saja saya tahu kalau Bapak adalah manajer room division di hotel ini. Bapak adalah atasan saya, bagaimana saya bisa tidak tahu akan hal itu." Reina tersenyum kemudian menunduk.
"Bukan itu maksudku, kamu tidak lupa 'kan kalau aku adalah Rian Nataharja? Kita teman satu sekolah di SMA dulu."
Reina diam tidak langsung menjawab. Mau bagaimana pun Reina menghapus nama itu, tetap saja sosok Rian mudah gadis itu kenali. Bukan karena masih adanya perasaan suka di dalam hatinya, bukan. Tapi, memori seorang dewasa memang tidak akan mudah melupakan jika bukan karena faktor hilang ingatan akibat benturan.
"Tentu saja saya ingat. Tapi, maaf saat ini Bapak adalah atasan saya. Itu saja yang saya ingat dan pahami."
"Kamu bisa memanggilku Rian jika sedang tidak ada —!"
"Maaf, Pak Rian. Sepertinya itu bukan ide yang baik!" potong Reina cepat. "Mau ada orang atau tidak, saat ini Anda adalah atasan saya. Orang yang harus saya hormati jika sedang bekerja."
Rian menghela napas kasar. Bagaimana bisa sosok perempuan yang ia tahu kadar kepintarannya di bawah rata-rata itu, mampu bicara formal dan sopan seperti barusan.
"Kamu belum menjawab pertanyaanku, Rein!"
"Yang mana, Pak?"
"Bagaimana kabar kamu sekarang?"
Sepertinya Reina harus mengakhiri obrolan mereka saat ini. Jengah Reina rasakan jika berlama-lama ngobrol dengan lelaki tampan di depannya itu.
"Jika Anda bertanya kabar saya sekarang, tentu jawabannya adalah sangat baik. Tapi, saya harap Anda tidak menanyakan kabar saya yang dulu karena itu masih membekas dan menyakitkan."
"Ya ampun, Rein. Maafkan aku!" ujar Rian dengan suaranya lirih.
***