Karangan Bunga dari Mantan

1234 Kata
"Di mana pengantin lelakinya?" Aku celingak-celinguk mencari keberadaan Pak Alvin. Tadi dia sudah duduk tenang di tempat akad nikah. Sekarang dia seperti hilang ditelan bumi. Kulihat semua yang ada di ruangan dengan wajah panik dan aku pun berdiri. "Bu, emangnya tadi Pak Alvin mau ke mana?" tanyaku pada Ibu mertua. Dia duduk tepat di belakangku. "Dia nggak bilang apa-apa, lho. Mungkin dia mau ambil sesuatu di mobil," jawabnya sambil menepuk pundakku. Pak Alvin menyebalkan. Pergi ke mana dia? "Bella, emangnya Pak Alvin nggak bilang ke kamu?" tanya Marini sembari menyenggol lenganku. "Mana kutempe. Emangnya aku itu kamera CCTV dia yang harus tahu pergi ke mana dia." "Jangan sampai pernikahan ini batal. Gara-gara pengantin pria kabur," celetuknya. Sahabatku yang satu ini mulai membuatku takut. Iya, sangat takut. Aku tidak tahu jadinya bagaimana kalau Pak Alvin tidak melanjutkan pernikahan ini? Pasti Ibuku dan keluarga Fahri juga akan kecewa. "Aku cari dia dulu. Mungkin dia ada di luar lagi merokok." "Jangan, biar aku aja yang cari!" urai Marini sambil menarik tanganku. Dia tidak mau kalau aku beranjak keluar. Kulihat dua sahabatku bergegas beranjak keluar dari rumah. Pandanganku juga mengedar menyelisik memperhatikan sekitar. Atmosfer yang kurasakan di dalam rumahku seperti panas. Dekorasi berwarna putih serta bunga-bunga segar tidak membuatku tersenyum. Seharusnya aku senang karena putih melambangkan suci dan setia. Kalau bisa memilih aku juga mau beranjak dari sini dan pergi ke Negeri Antah berantah. Akan tetapi, demi Ibu membuatku bertahan di sini mengorbankan perasaanku. "Bu, aku mau ke kamar dulu. Kayaknya aku mau pipis," bisikku pada Ibu. Lantas dengan langkah terburu-buru aku menuju ke kamar mandi yang letaknya ada di dapur. Aku malas ke kamar, makanya mencari kamar mandi yang terdekat. Tiba-tiba saja langkahku terhenti kala mendengar ada orang yang lagi mengobrol di halaman belakang tepat di belakang dapur. Kepoku menari-nari di benak. Kemudian aku memutar badan dan menyelisik siapa yang ada di halaman belakang? Di sana memang ada tempat untuk beristirahat dengan kursi rotan untuk selonjoran enak sambil menikmati semilir angin ditambah teh manis hangat dan singkong keju. Di depannya ada kebun cabai. Berhubung Ibu dan aku pecinta pedas. Di saat si cabai lagi meroket tinggi harganya, kami bisa petik di kebun belakang. Cabai saja jual mahal, masa aku tidak jual mahal, sih?! Sebenarnya aku malas menguping pembicaraan orang, tetapi ini membuatku tertarik dengan siapa Pak Alvin berbicara dengan seorang wanita berparas ayu dengan memakai baju batik modern? Aku berdiri di balik pilar yang ada di belakang dapur. Bersembunyi dengan kepo yang tinggi. "Delia, tolong ngertiin saya." "Aku baru pulang dari Australia. Tapi, aku malah nemuin pacarku mau kawin sama wanita lain. Jadi hubungan kita selama delapan tahun itu nggak ada artinya, Vin?!" Aku terbelalak sambil mengatur napas. Berupaya agar kentutku tidak membahana di dalam kondisi seperti ini. Jelas sekali kudengar percakapan mereka berdua. "Harusnya kamu nggak datang ke sini? Siapa yang ngabarin kamu saya ada di sini?" "Vin, kamu mau ngehindar dariku? Itu nggak penting aku tahu dari mana? Hari ini kamu nikah." Diam-diam aku melongok dan melihat Pak Alvin lagi mendekap erat tubuh wanita itu. Dasar playboy, rupanya dia sudah memiliki kekasih yang cukup lama pacarannya. Itu delapan tahun pacaran atau kredit rumah? Aku bergumam terus dalam hati dengan sorot mata tajam. "Del, saya harus menikahi Arabella demi amanat Fahri dan demi keluarga juga. Jadi saya minta waktu agar kamu mengerti. Lagian pernikahan ini hanya pura-pura. Saya akan menikahimu juga nanti." "Jangan pernah percaya sama omongan lelaki berengsek kayak dia!" seruku sambil melipat kedua tanganku dan memangkas jarak mendekati mereka. "Kamu ngapain di sini? Nggak usah ikut campur!" sentak Pak Alvin. "Vin, kamu jahat!" Kemudian wanita itu melewatiku begitu saja. Aku dapat melihat kalau dia lagi menitikkan bulir-bulir air mata. Pak Alvin pun tiba-tiba mencengkram erat lenganku dengan sangat kuat dan kurasakan sakit. Dia sembari mencodongkan tubuhnya dan kami berserobok saling memandang. "Sudah saya tegaskan. Jangan ikut campur urusan saya! Kamu itu hanya istri pilihan keluarga saya. Bukan saya yang memilihmu. Selamat datang, Arabella. Kamu akan mengikuti permainan saya." Pak Alvin mendesaah dengan tatapan menajam. Dia bak ingin menguliti setiap inci kulitku. "Pak Alvin, tak pernah mau menjawab. Menikah denganku karena apa? Jadi ini jawabannya kalau Pak Alvin semata-mata bersikap manis semuanya bohong. Demi keluarga saja." "Jangan lupa perjanjian kontrak pernikahan kita. Dan saya tak akan pernah mencintaimu karena saya hanya mencintai Delia. Kamu jauh berbeda sekali dengan dia. Kamu hanya tukang kentut yang bodooh dan sifatmu seperti kanak-kanak. Dasar kutilang, daada rata," bisiknya. Jantungku seakan berhenti berdetak seketika itu juga. Lelaki tersebut lolos menghinaku dengan tatapan menyalang. "Arabella!" "Alvin!" Suara Ibu memecahkan keheningan aku dan dia. Kemudian Pak Alvin bergegas beranjak pergi. Aku lalu mengekori dari belakang. "Lho, kalian di sini? Ayo, cepat pak penghulu udah nungguin!" Ibu menghambur mendekatiku. * Rasanya hatiku bergetar hebat dalam d**a bergemuruh. Aku seperti menyerahkan jiwa ragaku pada orang yang tidak pernah sama sekali mencintaiku dan ini sangat menyesakkan. Aku bak lilin yang lagi menyala, cahaya itu tertiup angin. Entah kapan angin itu dapat mematikan api si lilin? Atau nyala api itu dapat membakar diriku demi kebahagiaan orang lain. Suara sah menghiasi indra pendengaranku. Saat dia menyebut namaku dengan lengkap bersama nama ayahku. Harusnya aku bahagia, tetapi ini justru duniaku terasa jungkir balik dan seperti ada dua batu yang ditaruh di atas pundakku. Berpura-pura untuk tersenyum lebar di depan orang banyak, sangat menyakitkan padahal hatiku tersayat pisau yang lukanya tidak akan pernah orang tahu. Kalau ini bukan hari pernikahanku, melainkan aku seperti lagi menggali tanah kuburanku sendiri, hidup bersama lelaki playboy cap gajah duduk. Kuremas-remas kebaya merah yang kukenakan sembari mengerjap saat suara mertuaku meminta Pak Alvin mengecup dahiku. Iya, kami sudah sah menjadi suami istri. Kami pun diminta berdiri berhadapan. Aku tidak tahu ada apa di sorot mata seorang Pak Alvin? Tidak bisa kutebak. Saat tangannya meraup bingkai wajahku. Kami bertatapan satu sama lain, tetapi aku tidak mendapatkan tatapan seberkas cinta seperti Fahri menatapku yang bisa membuatku luluh dengan hitungan detik. Pak Alvin mengecup dahiku sesuai permintaan Ibu mertua. Kecupan itu berlangsung perkiraan dua detik. Cahaya bidikan kamera dapat kurasakan. Lantas Pak Alvin mengurai kecupannya. Mau tidak mau aku pun harus membungkukkan badan dan mengulurkan tangan mengajak Pak Alvin bersalaman kemudian kukecup punggung tangannya dengan berat hati. Padahal ingin kugigit jarinya sampai putus. Terdengar suara sahabatku paling berisik. Mungkin mereka baper melihatku menikah dengan Pak dosen. Suara tepuk tangan bergemuruh menyambut gembira kebahagiaan di mana aku dan Pak Alvin sudah masuk ke gerbang pernikahan. Kemudian aku berdiri tegak dan tersenyum manis pada Pak Alvin. "Selamat datang suamiku ke dalam permainan Miss kentut." "Kamu mengancam saya?" protesnya mendesis. "Kalian masih di sini? Cepat duduk di pelaminan," tegur Ibu mertua. Lantas kami digiring agar duduk di kursi pelaminan. Aku menghela napas panjang dan berat sembari mengerjap. Kala Delia menghampiri kami. Wanita itu melangkah gontai dan kini berdiri tegak tepat di hadapan Pak Alvin. Apa yang akan terjadi? Apakah Delia akan menangis meraung-raung sambil memeluk Pak Alvin? Aku terus melirik dengan tatapan nanar ke arah Delia. Tiba-tiba terdengar suara ayah mertua membentak Pak Alvin yang membuat aku menyunggingkan senyum tipis dan kulirik Pak Alvin wajahnya mendadak pucat-pasi saat membaca karangan bunga yang baru tiba. "Selamat menjalani hidup baru, Alvin. Dari lima puluh lima mantanmu yang pernah seranjang denganmu dan dua puluh gebetan yang kena PHP serta digosting." "Alvin! Apa-apaan ini?!" Ayah mertua memecahkan keheningan dan sambil berkacak pinggang. "Mampus, Pak Alvin. Emangnya enak dikirim karangan bunga segede babon, syukurin aja dapat kado dari mantan," bisikku seraya mendekati bibirku ke telinganya.

Cerita bagus bermula dari sini

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN