Kutatap lamat-lamat dua lelaki tampan yang duduk di hadapanku. Rasanya kali ini kakiku tidak berpijak di lantai, seakan mengambang. Seketika tahu kalau Pak Alvin Sandjaya adalah kakak Fahri.
Bruuut!
Breet!!
“Apa ini?” tanya Fahri, kulihat dia celingak-celinguk. Sejurus kemudian kembali melontarkan kata, “Siapa yang kentut?”
“Sorry, gas alamku mulai memberikan sinyal,” jawabku malu-malu. Maluku di Ambon, mau kutaruh di mana ini muka cantikku saat ini?
Acara kopi darat yang seharusnya romantis, gagal total karena kebiasaanku tidak ada akhlak. Bisa-bisanya ini si kentut tidak bilang-bilang saat keluar. Inilah salah satunya faktor kusulit dapat pacar karena terkenal Miss kentut.
“Mau ke toilet?” ucap Pak Alvin.
Kemungkinan besar dia mengejek dari nada bicaranya terdengar renyah dan sangat menyebalkan bagiku.
Malam ini aku sudah melakukan dua kesalahan. Ingin rasanya aku hilang dari muka bumi ini. Andaikan mempunyai kekuatan menghilang dari tempat. Pasti aku sudah menghilang dari hadapan Fahri dan Pak Alvin.
Di sekitarku lautan manusia yang juga sama sedang menikmati secangkir kopi atau secantik cokelat hangat dan ada juga yang makan malam. Aku malu dan langsung bangkit berdiri. Hanya aku yang kentut di ruangan sebesar ini.
“Aku tak enak badan. Sorry, mau pulang.”
“Kamu tak enak badan, aku antar, yah,” timpal Fahri. Dia langsung berdiri dan mengulurkan tangannya kepadaku.
Aku malu-malu kucing. Pipiku merona sambil membalas uluran tangannya. Iya, ini baru pria idaman, meski tahu aku Miss kentut, tetapi tetap bersikap jantan dan mau mengantarku pulang.
“Hati-hati, Ri. Di dalam mobil kamu bakal cium bangke.”
Sontak kulirik Pak Alvin. Ingin rasanya kutenggelamkan Pak Alvin ke lautan Samudera Hindia. Dia kira aku itu mayat bau bangkai.
“Tenang, Pak Alvin. Ini akan aman, ‘kan udah keluar barusan.”
“Awas, jaga ilermu juga,” tandas Pak Alvin.
Ya salam ... dia masih membahas soal ilerku. Aku langsung membungkukkan badan sebagai permintaan maaf.
“Maaf, Pak. Saya ketiduran.”
“Kakak Alvin, sudahlah jangan menggodanya. Ayo, pulang,” cetus Fahri sambil tersenyum lebar dan menggandeng tanganku.
Kami berjalan bersisian beranjak dari restoran.
“Kamu cantik malam ini,” bisik Fahri.
“Terima kasih,” jawabku tersipu malu-malu. Dipastikan jika wajahku saat ini seperti tomat merah.
Aku memang melakukan kesalahan. Meskipun demikian, ternyata Fahri masih bisa memujiku karena aku memang cantik anaknya Bapak Putra.
Fahri sangat hangat dan sopan. Sepanjang perjalanan, kami berdialog hangat. Bahkan, Fahri mengajakku untuk bertemu lagi.
Perjalanan pulang memakan waktu sekitar satu jam. Rasanya aku tak ingin turun dari mobil. Saat mobil Fahri berhenti di depan rumahku.
“Mau ke rumah dulu,” anakku sambil hendak membuka pintu mobil.
“Tunggu,” sahutnya.
Tiba-tiba Fahri turun dari mobil terlebih dahulu, lantas dia membukakan pintu mobil untukku. Dia memperlakukanku layaknya seorang Putri Raja. Tak sia-sia aku pergi ke salon mempercantik tampilan. Meskipun, terlambat dan bertemu dengan Pak Alvin.
“Terima kasih, ini sudah malam. Tak enak kalau aku bertamu malam-malam,” jawabnya sembari tersenyum tipis.
Melihat senyumannya jantungku mulai beraksi lagi berdegup kencang seperti genderang mau perang lagi.
“Terima kasih, malam ini,” uraiku lembut.
“Sama-sama,” balas Fahri sembari membuka pintu mobil, lalu dia menghilang dari pandanganku.
Kutatap mobil Fahri melaju lambat-laun menjauh dari pandangan dan menghilang. Lalu aku melangkah pasti masuk ke halaman rumah. Tampak Ibuku ternyata sudah berdiri di depan rumah dan entah sejak kapan dia sudah berada di sana?
“Bagaimana kopi daratnya lancar?” tanya Ibu.
“Lancar. Meskipun ada kendala sedikit,” jawabku singkat.
“Coba ceritakan apa yang terjadi?”
Ibu langsung mengapit lenganku. Kami masuk bersama ke rumah. Tampak wajahnya sumringah, kulihat jika Ibu sangat senang saat mendengar ceritaku tentang Fahri.
Kami pun duduk di sofa panjang di ruangan depan televisi. Barang-barang di rumah dominan warna hijau karena Ibu menyukai warna hijau dari gorden pun serta cat tembok. Untungnya, Ibuku tak mau mewarnai rambutnya berwarna hijau.
“Cepatlah menikah. Kamu sudah berusia dua puluh sembilan tahun. Marini saja sudah menikah. Teman-temanmu pun sudah menikah. Ibu mau melihatmu bahagia mempunyai pasangan. Umur ‘kan nggak ada yang tahu,” selorohnya dan kulihat mata Ibu berembun berkaca-kaca. Terdengar dari suaranya panik dan gelisah karena aku sampai detik ini masih nyaman status sendiri.
“Bu, jangan bilang seperti itu. Ibu pasti bisa melihatku menikah,” jawabku. Lekas kudekap Ibu. Seperempat jam kami berpelukan, lalu Ibu mengurai pelukanku. Terlihat sekali ada air mata luruh membasahi pipinya. Lekas aku mengusap air mata Ibu dan aku berjanji akan mengabulkan permintaannya yang ingin melihatku menikah.
Pasca Ibu kehilangan Bapak sering sakit-sakitan. Ibu mengalami penyakit komplikasi darah tinggi, diabetes, serta penyakit ginjal. Di depanku Ibu selalu menunjukkan baik-baik saja, tetapi selalu berbicara tentang kematian dan itu sangat memukul hatiku yang terdalam. Kehilangan Bapak saja sudah cukup aku depresi.
Siapa sih yang betah hidup sendirian dalam kesepian? Tak usah dijabarkan lagi bagaimana sepi itu menggerogoti kehidupanku.
Lantas kutuntun Ibu masuk ke dalam kamar.
“Ibu tidur saja. Istirahat, sudah minum obat?” tanyaku sembari melirik ke arah obat yang ada di meja dekat tempat tidur.
“Sudah, Bella. Semoga pria itu jodohmu, yah,” lirihnya.
“Amin, Bu.” Aku menyelimuti Ibu dengan selimut berbahan wol. Kemudian aku berdiri dan beranjak keluar dari kamar Ibu.
Tiba di dalam kamar. Aku merebahkan tubuh di kasur. Kutatap lekat langit-langit kamar dan pikiranku mengawang satu minggu yang lalu kala aku berkumpul dengan Marini dan Adiba di warung bakso tempat favorit kami bertukar cerita. Menikmati bakso sekaligus menjadi pendengar cerita juga.
“Bagaimana apa kamu sudah punya calon?” tanya Marini menatapku nanar.
“Belum, calon apa? Pacar aja nggak punya. Gini jadi jomlo akut,” jawabku singkat.
“Kenapa kamu tak terima si Aris?” lanjut Adiba, kulihat dia sambil menyuruput jus semangka.
“Aku nggak mau sama dia. Belum apa-apa sudah ngajak anu di kasur sebelum nikah. Dia memang pedekate ceritanya. Tapi, otaknya kayak gitu."
“Ihk, si Aris penjahat kelamin juga,” cetus Marini kulihat raut wajahnya berdengkus kesal.
“Terus si Alexander bagaimana? Dia ‘kan tergila-gila ke kamu. Kenapa kamu tak terima saja? Belok kiri ada duda, belok kanan ada suami orang, terus kalau lurus ada berondong. Eh, giliran mau putar balik ada mantan? Gimana coba mau pilih yang mana?"
Dua sahabatku ini memang khawatir dengan kejomloanku ini yang tidak kunjung ada hilal jodohku. Mereka berdua sering memberikan beberapa kandidat agar aku mempunyai pasangan. Namun, belum ada yang cocok yang dapat menarik hatiku.
Setelah mendengar nama Alexander. Bibirku mengatup rapat. Dia adalah mantanku. Marini dan Adiba duduk tepat di depanku. Aku bisa tahu raut wajah mereka dan ekpresi keduanya kala membicarakan Alexander. Mungkin mereka juga tidak mau jika aku kembali masuk ke dalam pelukan Alexander.
“Huss, janganlah. Dia ‘kan sudah punya bini. Kayak nggak ada laki-laki lain aja,” bantah Marini sambil mendelik tajam mungkin dia mengingatkan. Itu yang kulihat.
“Iya, juga. Lalu bagaimana? Kamu cari jodoh saja di radio,” cetus Adiba.
Suara petir menggelegar membuat lamunanku buyar. Terdengar suara rinai hujan menyapa bumi. Aku pun tersenyum getir. Malam ini hujan turun seperti tahu jika aku sedang dilema tentang jodoh.
*
“Pagi,” sapa Marini yang baru menikah tiga bulan yang lalu. Aku pun melempar senyum sambil melambaikan tangan kepadanya.
Kami bekerja di bank. Pagi ini masih lenggang belum ada nasabah datang, karena kami duduk berdampingan, maka mudah menjadi tim gibahin diri sendiri. Aku ceritakan pengalaman semalam bertemu dengan Fahri.
Marini terlihat antusias mendengarkan ceritaku. Bahkan, dia pun setuju jika aku bersama Fahri.
“Hari ini kamu kuliah jam berapa?” tanyanya.
“Aku masuk malam, memangnya kenapa?” balasku.
“Aku mau ajak kamu nonton. Suamiku sibuk. Eh, iya. Andaikan kalau bisa milih kamu mau sama Fahri atau dosen barumu?”
“Ajak Adiba saja.”
“Apalagi dia. Gila kerja. Nggak bakal mau nonton,” keluh Marini.
Lalu Marini kembali melontarkan tanya tentang aku harus pilih siapa?
Tiba-tiba sudah ada beberapa nasabah yang masuk dan kami pun kembali ke rutinitas.
Menjelang sore. Aku baru keluar dari gedung putih. Di jalanan masih ada sisa genangan hujan semalam. Marini membawa mobil mengajakku pulang bersama. Namun, baru saja aku hendak membuka pintu mobil Marini. Terdengar seseorang memanggilku.
Spontan aku menoleh ke sumber suara.
“Kamu? Ngapain ada di sini?” tanyaku terbelalak.