Hari Bahagia

1295 Kata
“Maukah kau menikah denganku, menjadi Ibu untuk anakku kelak?” tanyanya lirih. Aku terbelalak mendengar penuturan lelaki tampan yang berdiri di hadapanku. Fahri mengajakku ke arena ice skating. Dia sembari berputar dan meluncur di atas es, lalu mengajukan pertanyaan itu. Tak berselang lama. Datang lima lelaki membawa buket bunga mawar merah serta tulisan Arabella Purnamasari, will you marry me. Kulihat mereka melempar senyum dan sudut mataku kini ke arah Fahri. “Ada nama yang selalu tertulis di dalam hati. Tapi, belum tentu dia tertulis di atas buku nikah dan aku ingin kamu tertulis di keduanya, Arabella?” ucapnya sambil berlutut di hadapanku seraya menunjukkan cincin. Aku terkesima dan terkesiap, dengan pandanganku yang mengedar berkeliling. Jutaan pasangan mata tertuju kepadaku. Fahri melamar dengan cara yang tidak biasa. Padahal kami baru bertemu dan dia mau memutuskan ke jenjang pernikahan secepatnya. Tubuhku seakan mau limbung, tetapi dengan sigap Fahri memegangi lenganku dengan tatapan sayu. “Bagaimana kamu mau ‘kan?” “Terima!” “Terima!” “Ayo, terima!” Riuh tepuk tangan bergemuruh serta ucapan terima menghiasi alam benak pikiran. Aku terharu dan tak bisa berkata apa-apa. Lidahku kelu. Air mata tiba-tiba luruh. Kakiku menggigil bukan karena menginjak es, melainkan saat Fahri langsung menyematkan cincin permata di jari manisku. Lalu Fahri mengusap air mataku dengan lembut sembari berbisik, “Tak usah dijawab. Aku sudah tahu. Kalau kau menginginkan ini juga. Aku akan membahagiakanmu.” Ya Tuhan, semalam aku bermimpi apa? Fahri melamarku seperti ini. Sangat romantis dan mampu meluluhkan hatiku. Aku pun mengangguk pelan dan Fahri langsung memberikan bungket bunga mawar merah kepadaku. Lantas Fahri mendekapku erat di tengah arena ice skating dilihat sejuta pasang mata yang menyaksikanku dilamar. Yeah, aku sebentar lagi menikah, Bu. Breettt! Duutttt! Dasar kentut tak ada akhlak. Merusak momen romantisku lagi ‘kan. Sungguh memalukan ini. “Maaf,” ucapku sambil menggelamkan wajahku di dadaa bidang Fahri. Hangat sekali yang kurasa saat ini. “Tak apa-apa, aku akan terima apa kekurangan dan kelebihanmu.” “Ahh, jadi semakin cintaaah aku sama kamu,” balasku sembari mengulum senyum semanis mungkin dan tanganku melingkar di lehernya. Kami saling bertatapan, Fahri mendekati bibirku. Lekas aku memalingkan wajah sembari mencubit hidungnya. “Jangan dulu.” Terdengar gelak tawa membahana, mereka menyaksikan kekonyolanku. Lalu Fahri menggandeng pinggangku. Iya, kami saat ini meluncur bermain di atas es dengan perasaan bahagia. * “Kamu dilamar oleh Fahri!” Marini dan Adiba berseru bersamaan. Mereka berdua langsung memelukku. “Selamat, Bella. Kamu akan menjadi seorang istri.” “Terima kasih,” balasku menyunggingkan senyum simpul. Fahri mengantarku ke kafe di mana tempat bekerja Adiba dan aku sudah mengatur pertemuan dengan dua sahabatku. Hari ini bolos tak kuliah. Aku ingin memberikan kabar gembira ini secara langsung kepada mereka. Kami bertiga duduk bercengkrama seraya berdialog hangat, sedangkan Fahri langsung pulang setelah dia berkenalan dengan Marini dan Adiba. “Jadi kamu pilih Fahri daripada kakaknya Pak Alvin padahal ganteng, lho,” cetus Adiba. “Eh, jangan kata orang dia itu playboy parah pokoknya. Celap-celup sana-sini,” lanjutnya sembari mengendikkan bahu. Itu yang kulihat. Aku yang melihat Adiba seperti itu terkekeh kecil. Bisa-bisanya dia dapat informasi seputar Pak Alvin. “Kau kira teh main celupin saja,” protes Marini sambil menoyor kepala Adiba. Melihat Marini menoyor kepala Adiba, disusul suara tawa Marini, aku pun tertawa renyah. Lalu Marini melirikku dengan tatapan menajam dan berucap, “Kentutmu gimana masih membahana?” “Itu mah sudah menjadi bagian hidupku,” jawabku seraya mengerlingkan mata. “Aku akan bayangin saat malam pertama si Arabella sama Fahri bagaimana? Kalau Fahri menikah dengan Miss kentut,” pungkas Adiba kata-katanya tepat mengejekku. Rasanya inginku beri sambal ke mulutnya. Bibir Adiba tebal di bagian bawahnya. Pikiranku liar ingin kucubit saja bibir bawahnya agar tambah dower. Namun, aku tak jahil seperti itu. Aku hanya garuk-garuk kepala yang sebenarnya tak gatal. * Dua minggu kemudian. Aku meremas-remas buku-buku jariku sendiri. Tegang, takut, dan malu menjadi satu. Hari yang ditunggu sudah tiba. Di sampingku Fahri duduk dan mengucapkan ijab kabul. Dekorasi pelaminan dominan warna putih serta bunga mawar putih dan bunga aster banyak menghiasi. Lampu-lampu gantung berwarna-warni sebagai pelengkap seperti batu kristal yang berkilauan. Tampak romantis dan elegan. Pernikahan kami di dalam gedung. Jantungku kembali memompa cepat. Haru dan bahagia mengalir ke sekujur tubuhku. Aku tak kuasa mengangkat wajah, saking malu. Kini aku menjadi pusat perhatian dari sepasang mata ratusan tamu undangan yang menyaksikan Fahri sedang mengucapkan janji suci. Suara sah menggema seantero ruangan, bersamaan dengan suara kentutku yang diam-diam ikut merayakan pesta pernikahanku. “Bau apa ini?” tanya Pak penghulu. “Mungkin ada yang buang sampah,” balas Fahri singkat. Aku pun menatap nanar Fahri. Oh, dia menyelamatkanku dari hari yang istimewa ini. Bila mereka semua tahu. Mau taruh di mana mukaku yang cantik kata Ibu. Kulihat tangan lelaki itu terulur meremas punggung tanganku dan rasanya terasa hangat serta aku pun nyaman berada di sampingnya. Senyum Fahri mampu mengalihkan duniaku. Kini aku miliknya. Kami saling memandang, hingga Pak penghulu meminta kami untuk tanda tangan di buku nikah. Akhirnya, aku punya buku nikah juga. Terima kasih, Tuhan. Mengirimkan Fahri ke kehidupanku yang tadinya kelabu dan datar. Usai acara ijab kabul. Kami duduk bersanding di kursi pelaminan berwarna emas. Kebaya merah muda menambah tampilanku semakin anggun dan cantik. Kami seperti Ratu dan Raja satu hari. Banyak yang bilang pangling melihatku. Begini rasanya menjadi Ratu ditemani Raja tampan yang memakai jas berwarna putih tulang. Meskipun, siger Sunda menghiasi kepala, membuat kepalaku terasa berat dan sedikit pusing. Ditambah memakai bulu mata cetar membahana, saat berkedip saja rasanya berat, dan mata terasa mengantuk. Akan tetapi, aku menikmati berjalannya semua proses di hari bahagiaku bersama Fahri. Sudut mataku menangkap sileut tubuh lelaki yang berjalan ke arah kami. Siapa lagi jika bukan Pak Alvin, dia melempar senyum manis. Sementara semua keluarga dan sahabat sudah mengucapkan selamat kepadaku dan Fahri dan ini Pak Alvin baru menaiki panggung pelaminan paling terakhir. Kakak ipar sombong yang menyebalkan. “Kakakmu tak marah kalau dilangkahi?” bisikku kepada Fahri. “Dia tak masalah. Kakakku ini tak pernah percaya dengan cinta,” jawab Fahri sembari berdiri. Aku tertegun sejenak mencerna jawaban Fahri. Ambigu sekali, bukankah kata Adiba Pak Alvin adalah playboy yang sering berganti pasangan. Lalu itu namanya apa? Pacaran tak didasari cinta. “Arabella?” tegur Fahri membuatku terhenyak dan langsung berdiri sembari melempar senyum kepada Pak Alvin yang sudah berdiri di depanku. “Selamat kini kau masuk ke keluarga kami. Jangan pernah menyakiti hati Fahri,” ucap Pak Alvin sembari mengulurkan tangannya mengajak bersalaman. “Seharusnya aku yang berucap seperti itu. Semoga Fahri tak menghianati kepercayaanku,” sahutku. Pak Alvin terkekeh kecil dan menepuk pundak Fahri. “Tenang saja dia ini pria setia.” “Kak, aku mau ke kamar mandi dulu. Tunggu di sini saja dulu,” ucap Fahri. kulirik langsung Fahri berlari menuruni tangga pelaminan. “Hai, ke mana kamu?!” panggil Pak Alvin. Apa? Aku saat ini duduk bersanding dengan Pak Alvin. Tamu undangan datang silih-berganti, sedangkan Fahri belum kunjung datang juga hampir tiga puluh menit. Tampak aku melihat wajah ibu Fahri cemas yang duduk di sampingku. Lolos dia berkata, “Fahri ke mana? Sedang ganti baju?” “Saya tak tahu, Bu,” jawabku singkat. “Mungkin dia ganti baju,” timpal Pak Alvin tenang sambil bermain ponsel dan kupergoki dia senyum-senyum sendiri sambil melihat ponsel. “Lebih baik Pak Alvin cari Fahri. Daripada duduk di sini. Memangnya Pak Alvin pengantin?” rutukku berdengkus kesal dan mulutku mengerucut lima sentimeter. “Lantas jika saya duduk di sini dan menjadi pengantinmu kenapa?” sahut Pak Alvin seakan kemungkinan menantang. “Ahhh, amit-amit jabang bayi. Jangan sampai aku menikah dengan Pak Alvin,” balasku sambil memalingkan wajah. “Alvin, cari adikmu. Kenapa dia tak kunjung datang?” titah wanita paruh baya yang memakai baju kebaya modern berwarna merah maroon.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN