Stella meyeruak masuk ke dalam kamar inap ibunya dengan perasaan campur aduk.Itulah yang selalu ia lakukan selama lima tahun terakhir setiap kali ia merasa kacau. Jika ia berada jauh dari ibunya, maka kalung liontin salju milik ibunyalah yang menjadi penggantinya. Sebuah kalung yang diberikan oleh seseorang yang sangat dicintai oleh Sarah. Ayah kandung Stella. Dulu sebelum ibunya mengalami kecelakaan itu, ia akan lari ke dalam pelukan ibunya yang menenangkan. Namun, kini hanya ini yang bisa dia lakukan.
"Maafkan aku, Bu. Seandainya Josh tidak mengancam, aku tidak akan melakukan ini semua. Maafkan aku."
Stella menangis sembari menggenggam tangan sang ibu. Stella sebenarnya adalah gadis yang cengeng dan rapuh, tapi keadaan yang memaksanya harus bersikap tegar dan berani.
Seseorang yang ada di luar kamar inap Sarah yang terbuka, mendengar semua perkataan Stella. Ia semakin dibuat bingung oleh kehidupan yang dijalani Stella. Apa sebenarnya yang dialami Stella? Ia tidak tahu dan akan mencari tahu. Sebenarnya, tadi dia tidak ingin mengikuti Stella, namun kecurigaan yang ia pendam terhadap Stella membuatnya menjadi penasaran dan menghadapkannya pada satu hal yang tidak ia ketahui tentang Stella. Saat perjalanan mengantarkan Stella pulang, bukan rumah Stella yang akan dituju, melainkan arah lain, dan itu membuatnya curiga.
"Turunkan aku di perempatan itu." Stella menunjuk sebuah perempatan jalan.
"Kenapa tidak di depan rumahmu saja?" tanya Alex bingung.
"Tolong Bapak turunkan aku di sana!" Mohon Stella pada Alex, masih menunjukkan sopan santunnya, karena ia pikir Alex masihlah atasannya.
"Jangan panggil aku Bapak saat kita hanya berdua, karena aku tidak setua itu!" ujar Alex agak kesal. Jika Stella memanggilnya Bapak ia merasa seolah seperti laki-laki tua.
Begitu tiba di perempatan jalan, Stella pun segera turun dari mobil Alex, tanpa sepatah kata pun. Ketika Stella sudah pergi menjauh, Alex yang masih berada di tempat semula, segera memarkirkan mobilnya di pinggir jalan dan keluar mengikuti Stella. Ia tidak peduli dengan tatapan kagum para gadis yang melihatnya. Ia semakin curiga pada Stella, karena ia tahu jalan ke rumah gadis itu bukan melewati jalan ini. Ia akan membuat perhitungan pada Stella jika sampai Stella berani bermain di belakangnya, yang nota bene, saat ini dia adalah calon suami Stella.
Namun, ia semakin bingung saat Stella memasuki rumah sakit yang ternyata adalah milik dokter pribadi keluarganya.
Dan inilah satu fakta yang ia temui, ternyata Stella masih memiliki seorang ibu yang sedang koma. Alex benar-benar merasa bahwa untuk pertama kalinya ia sangat perduli pada seorang wanita yang baru saja ia kenal.
*****
Drrtt ... drrtt ....
Stella terbangun dari tidurnya saat ia merasakan ponsel miliknya bergetar. Ia sempat tertidur di samping ranjang ibunya dengan menggenggam tangannya setelah ia selesai mandi. Ini sudah tengah malam, siapa yang meneleponnya selarut ini?
Setelah Stella menemukan ponselnya di dalam tas, ia melihat id caller Max di sana. Segera ia mengangkat telepon dari Max. Ia tidak tahu untuk apa Max meneleponnya semalam ini.
"Halo!"
"Stella, datanglah kemari! Karen mabuk! Dan aku tidak bisa mengantarnya pulang, kau tahu sendiri bukan?" ujar Max sedikit panik di seberang sana, terdengar dentuman suara musik yang sangat keras.
"Ada apa dengannya?" tanya Stella seraya mengganti bajunya dengan kemeja panjang yang ia bawa dari rumah.
"Entahlah, sepertinya masalah William," ujar Max santai. Stella pun segera keluar kamar inap ibunya, setelah sebelumnya ia sempatkan mencium kening ibunya, lama.
*****
Dentuman musik yang sangat keras membuat gendang telinga Stella sakit. Ia tidak pernah habis pikir, bagaimana orang-orang yang berada di club ini tahan mendengar suara musik sekeras itu dan dipenuhi asap rokok, yang seperti kabut tipis menyelimuti ruangan.
"Max!" seru Stella saat mendapati Max yang menjaga Karen di pojok ruangan. Stella percaya pada Max, tidak mungkin Max menyakiti Karena yang juga adalah sahabatnya dari masa kuliah. Bahkan Max bisa dikatakan adalah seorang ayah bagi Stella dan Karen, Max yang selalu menjaga mereka berdua.
"Dia tampak tidak baik," ujar Max setelah Stella mendekat.
"Aku tidak ingin pulang," seru Karen yang bersandar di sofa dengan mata tertutup.
"Baiklah, kau ini selalu mengganggu waktu tidurku saja," kesal Stella pada Karen. Max yang sudah biasa mendengar ocehan kedua teman wanitanya ini hanya menggeleng dan berjalan menuju bar.
Stella duduk di samping Karen seraya memainkan ponselnya. Stella tidak tega melihat Karen seperti ini. "Aku benar-benar akan membunuh William," geram Stella.
"Ayo, Karen." Stella memapah Karen keluar dari club. Saat melewati bar, Stella berpamitan pada Max yang sedang melayani pelanggan.
"Max, kami pulang," pamit Stella. Ia tidak melihat jika ada seseorang yang terkejut mendengar suaranya, dan sedang melihatnya.
"Perlu bantuan?" tanya Max. Sebenarnya tidak penting pertanyaan itu, karena Stella sudah biasa memapah tubuh mungil Karen. Untungnya, Stella memiliki tubuh tinggi bak seorang model, dan tidak dipungkiri tubuh Stella memang tubuh seorang model.
"Tidak perlu." Stella segera berlalu begitu saja tanpa menunggu balasan dari Max.
"Kenapa dia kemari?" tanya pelanggan itu pada Max.
"Siapa yang kau maksud? Stella?" tanya Max balik. Karena merasa heran pada sobat lamanya ini, untuk pertama kalinya sobatnya ini bertanya tentang wanita.
"Ya."
"Dia menjemput Karen. Kenapa kau bertanya soal Stella? Tidak biasanya kau bertanya soal wanita?"
"Dia calon istriku."
Spontan Max membelalakkan matanya.
"Apa?" tanya Max tidak percaya akan apa yang dia dengar.
Alex dan Max, mereka adalah teman dari masa sekolah dasar. Hanya saja mereka berpisah waktu Alex melanjutkan kuliahnya di luar negeri.
"Setahuku, Stella tidak pernah menjalin hubungan dengan seorang pria, apalagi kau. Ck ... aku pun tidak pernah membayangkan jika dirimu akan menikah dengannya."
Max mencoba mengingat-ingat pada masa mereka kuliah dulu. Setiap pria yang menyatakan cinta pada Stella, akan ditolak mentah-mentah oleh gadis itu. Padahal pria itu adalah primadona di kampus mereka dulu.
"Berarti bagus, aku tidak perlu mengotori tanganku untuk menghajar pria-pria yang telah berhubungan dengannya."
"Padahal aku baru mau menyatakan cinta pada Stella," canda Max menggoda Alex. Dan terbukti, Alex sudah mengepalkan tangan di atas meja bar.
"Aku bercanda. Kau ini, mana mungkin aku merebut calon istri orang! Apalagi jika pria itu adalah kau, teman baikku. Kami hanya berteman dari masa kuliah."
Alex merasa lega setelah mendengar pernyataan Max. Entah mengapa, ia merasa marah saat tadi mendengar Max akan menyatakan cinta pada Stella.
"Ngomong-ngomong soal pernikahan, Jessica tahu soal ini? Ingat Lex, aku tidak ingin temanku Stella, masuk dalam perangkap Jessica," saran Max kepada Alex. Ia tidak ingin jika Stella dalam bahaya karena ulah Jessica -- perempuan yang terobsesi pada Alex -- yang tidak terima pernikahan Alex dan Stella.
Dulu pernah, waktu itu Alex bersama seorang wanita cantik dan Jessica melihatnya, perempuan ular itu langsung menjambak si wanita yang berani mendekati Alex. Bahkan Jessica juga menculik wanita itu, entah apa yang dilakukannya, tapi sampai saat ini wanita tersebut tidak pernah lagi terlihat di club ini.
Jessica memang mencintai Alex, namun sayangnya Alex tidak mempunyai perasaan apapun pada Jessica, sampai-sampai Jessica rela hanya sekedar menjadi pacar main-main Alex.
Alex juga sudah pernah mengatakan berkali-kali pada Jessica bahwa dia tidak akan pernah bisa mencintainya. Jessica bukan tipe perempuan yang Alex inginkan. Namun, Jessica pikir Alex akan mencintainya suatu saat nanti, seperti cerita n****+-n****+ yang pernah ia baca. Dan Alex tahu, bahwa Jessica adalah wanita berbahaya yang akan melakukan apa pun untuk mencapai tujuannya.
*****
Stella keluar dari mobil Karen dan memapah Karen memasuki rumahnya. Karen memang membawa mobil saat pergi ke club tadi. Ia membaringkan tubuh Karen di atas tempat tidur. Stella sengaja membawa Karen ke rumahnya, karena tidak mungkin ia meninggalkan Karen sendirian di apartemen wanita itu sendirian.
"William," Karen mengigau, menyebut nama William, kekasihnya.
"Minumlah dulu!" Stella memapah Karen yang setengah sadar untuk minum, yang segera dituruti oleh gadis itu.
"Sudah lebih baik?" tanya Stella pada Karen, setelah selesai meneguk air putih yang ia berikan.
"Hanya saja, aku masih merasa pusing." ujar Karen dengan mata sembab.
"Tidurlah, nanti pusingnya akan hilang," kata Stella. Tanpa balasan lagi, Karen segera tidur, ia memang merasa benar-benar pusing.
Stella merasa kasihan pada Karen, ia sangat mengenal temannya ini. Jika Karen sudah lari ke club, itu berarti ia sudah tidak sanggup lagi menghadapi masalahnya.
?????