Matahari terik siang itu tidak menghalangi langkah kaki Viona untuk melangkah pergi dari depan Lembaga pemasyarakatan Kota. Rupanya gadis yang kerap dipanggil Viona itu baru keluar dari tempat itu untuk menjenguk ibunya yang sudah ditahan disana selama satu tahun yang lalu, namun bagi Viona itu bukan apa-apa, karena ibunya di vonis seumur hidup berada didalam penjara karena kasus pembunuhan ayahnya sendiri.
Dengusan panjang gadis itu yang seakan sesak ketika melihat ibunya disana yang tubuhnya kian kurus setiap Viona menjenguknya.
Saat itu Viona masih duduk di bangku kelas tiga SMA, setiap bulan ia selalu menyempatkan diri untuk mengunjungi ibunya, meski hanya membawa nasi bungkus yang biasa ia titipkan di kantin sekolah dan di warung dekat rumahnya. Meski tidak banyak keuntungan yang ia dapat, namun ia begitu bersyukur bisa hidup cukup dan tidak kekurangan apapun. Bahkan setiap harinya ia bisa menabung meski hanya sebesar dua puluh ribu rupiah untuk bekal nanti membayar pendaftaran kuliahnya. Meski ia hanya seorang anak korban broken home yang parah bahkan sampai ayahnya dibunuh oleh ibunya sendiri. Namun Viona tidak pernah mengeluh pada tuhan. Karena ia tahu, tuhan lebih tahu bahwa ia mampu untuk melewatinya. Dan Viona hanya bisa tegar untuk melewati semampunya.
Viona lalu menyeberang jalan raya. Didepan lapas tepat terdapat alun-alun Kota yang sangat rindang. Gadis itu segera berteduh disana sembari melihat kendaraan dan orang yang lalu-lalang di jalan depannya. Ia duduk disalah satu bangku yang muat untuk duduk dua orang.
Lagi-lagi gadis itu menghela nafas dalam-dalam saat mengingat satu tahun yang lalu ketika ia masuk sekolah dengan keadaan ibunya yang baru masuk penjara dan ayahnya yang baru dikebumikan. Padahal saat itu sudah satu minggu berlangsung. Namun ketika ia masuk sekolah, bukannya dukungan atau simpati yang ia dapat dari teman-temannya. Melainkan cemoohan seorang anak pembunuh dan seorang anak tukang judi. Ya...suara-suara itu lah yang selama satu, dua bulan, bahkan sampai tiga bulan terus terdengar dan terngiang di telinga Viona. Satu dua hari Viona down saat mendengarnya, bahkan satu minggu ia putuskan untuk tidak masuk sekolah. Namun karena ia anak yang berprestasi, Kepala sekolah dan Wali kelasnya datang untuk memintanya masuk sekolah kembali. Alasannya karena sayang jika beasiswanya harus diberikan pada siswi lain selain Viona. Akhirnya dengan bujukan itu, Viona mau bersekolah kembali.
Meski hari-hari yang ia lalui sendiri begitu berat, namun lama kelamaan semua itu sudah menjadi biasa bagi dirinya. Bahkan saat ia harus tersudut karena masalah tunggakan listrik rumah serta iyuran bayar sampah setiap bulannya membuat gadis itu memutar otaknya untuk menghasilkan sesuatu dan bisa dijual. Dan saat itu keahliannya hanya masak dan juga jualan pakaian online. Satu bulan, dua bulan, Viona menunggak dan telat membayarnya. Namun di bulan yang ke tiga, ia sudah lancar membayarnya tepat waktu. Dan untuk kesehariannya ia tetap melakukan kegiatan itu. Berjualan nasi bungkus yang dititipkan dan juga berjualan baju online.
Terlihat gadis itu tengah mendongak menatap celah-celah kecil dedaunan yang bisa diterobos cahaya matahari siang menjelang sore itu menerpa wajahnya, hingga membuatnya memejamkan kedua matanya untuk sesaat menikmati panasnya sengatan cahaya siang itu. Dengan kedua tangan yang menopang tubuhnya agar condong kebelakang.
"Nyes...!" tiba-tiba rasa dingin yang kuat menyentuh keningnya. Rupanya ada seseorang disana yang sengaja jahil padanya dengan menempelkan dasar botol minuman dingin di keningnya. Sontak membuat Viona tersentak kaget saat itu. Gadis itu dengan segera membuka kedua matanya.
"Edvan! apa-apaan sih kamu ini? bikin kaget aja tahu nggak!" ucap Viona pada lelaki yang kerap disapa Edvan itu. Edvan adalah teman sekelasnya. Dimana saat semua teman mencela, mencemooh dirinya, dan menjauh darinya. Edvan lah yang menemaninya saat itu. Bagi Viona, Edvan adalah teman yang paling baik, meski lelaki itu selalu jahil padanya, dan Edvan paling tahu permasalahan apa yang gadis itu alami karena keduanya bertempat tinggal disatu lingkungan yang sana. Dan untuk semua kejahilan Edvan itu Viona tidak pernah ingin marah padanya.
"Tuh minum! ngelamun aja sendirian disini. Dibawah pohon gede lagi! kesambet tahu rasa ntar!" ucap lelaki itu pada Viona, lalu memberikan satu botol minuman dingin yang tadi sempat sesaat menempel di kening gadis itu. Viona pun hanya tertawa lebar tanpa suara untuk menanggapinya. Hingga terlihat gigi-giginya putih yang berjajar rapi saat itu. Sembari satu tangannya menerima botol minuman dari tangan Edvan.
"Udah senyum pasta giginya! ampe kering tuh gigi!" ucap Edvan yang seketika membuat Viona mengatupkan bibirnya seketika. Namun gadis itu tidak tahu jika sekilas tadi Edvan tersenyum ketika melihat tingkah konyolnya. Sengaja lelaki itu sembunyikan dari dirinya.
"Kamu ngapain lewat sini?" tanya Viona yang penasaran, bukan kali pertama, kedua, atau ketiganya lelaki itu selalu berpapasan disana. Selalu bertepatan pula dengan saat Viona menjenguk ibunya. Karena tempat itu lumayan jauh dari rumah dan sekolah tempat keduanya menimba ilmu.
"Kenapa? nggak boleh? emang ini jalan nenek moyang lu?" tanya Edvan disana yang membuat Viona memanyunkan bibirnya seketika.
"Kenapa bisa tepat disaat yang sama?" tanya Viona lagi pada Edvan.
"Ya karena kebetulan aku lewat sini, dan juga karena aku mau lewat sini! masalah buat lu?!" ucap Viona lagi saat itu yang menjawab kata-katanya sendiri disana. Karena ia sudah hafal apa yang akan temannya itu katakan ketika ia menanyakan hal itu padanya. Dan lagi-lagi tanpa Viona ketahui, Edvan terkikik menahan tawanya disana.
"Satu jam gue muter-muter gara-gara nyari tu buku yang lu rekomendasiin pada Bu Guru! dasar anak emasnya Wali kelas...!" ucap gerutu Edvan disana dengan bohongnya. Karena memang ia tidak tahu lagi harus bohong apa lagi agar temannya itu tidak curiga padanya. Viona pun terlihat hanya manggut-manggut saat itu yang memang merasa apa yang Edvan ucapkan masuk akal.
"Terus? kok lu nyalahin gue sih? tuh...temen-temen yang lain juga pada nyari udah ketemu...lu sendiri yang bingung kek begini. Tanya dong makanya ke gue..." ucap Viona pada temannya itu.
"Hemz...lu malah nyalahin gue lagi! ntar gue ke rumah lu ya...mo pinjem buku lu...awas lu kalau bilang nggak mau minjemin!" ucap ancaman Edvan pada Viona. Dan saat itu terlihat gadis itu tengah terkikik.
"Ketawa lagi! seneng lu temen susah?" ucap Edvan dengan candanya.
"Oke, oke Van...gue pinjemin!" ucap balasan Viona yang tanpa gadis itu sadari membuat Edvan sekilas menyunggingkan senyumannya.
"Sekarang lu tanggung jawab dong!" tiba-tiba ucap Edvan disana. Yang langsung membuat Viona menoleh keheranan menatap lelaki dengan lesung pipi di salah satu pipinya itu.
"Hah! tanggung jawab apaan Van? jangan ngada-ngada deh! emangnya gue ngapain lu?!" ucap Viona dengan gerutu sewotnya. Karena memang saat itu Viona merasa tidak sedang melakukan apapun yang merugikan Edvan.