Sembilan

1937 Kata
"Kenapa Than?" Lea saat ini berada di taman bermain, tak jauh dari sekolah SMAnya dan Nathan. Ya mereka dulu pernah berpacaran sejak SMA dan sering menghabiskan waktu berdua di tempat ini. Langit sudah gelap karena hari yang semakin larut. Mereka harus janjian di waktu semalam ini karena Lea yang memang harus lembur menyelesaikan pekerjaannya di akhir bulan. Nathan terlihat tampan dengan kemeja fit body juga dasi yang melingkar rapi di lehernya. Sebagai lulusan kampus luar negeri ternama, tentu dia juga mendapatkan kerjaan yang bonafid, gaji yang besar, juga tunjangan lainnya. Beda sekali dengan Lea. Bahkan dari kabar yang di dengar, dia sudah mempunyai rumah pribadi di kawasan cukup elit, dan mobil yang digunakannya adalah mobil pribadi. Beruntung Lea malam ini mengenakan baju yang didapat dari model pemotretan Ale kala itu, setidaknya tidak terlalu timpang pakaian mereka. Mereka berdua duduk di bangku taman, Nathan tersenyum ke arah Lea, senyum hangat yang entah kenapa terasa berbeda. Lea seolah kehilangan tatapan mata yang selama ini ditunjukkan padanya, sorot matanya berbeda, seolah bukan Nathan yang dikenal. Nathan menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. Wajahnya mendongak, menatap langit yang bertabur bintang malam ini. Indah! "Malam ini, mungkin terakhir kalinya kita bisa berduaan kayak gini, bisa manggil dengan sebutan aku-kamu," Nathan menggantung kata-katanya. Diturunkan wajahnya, mereka berdua saling bertatapan. "Mau peluk kamu boleh? Untuk terakhir?" Lea bimbang namun dia mengangguk pelan. Dan tangan kekar Nathan merengkuh tubuhnya, dengan sangat kuat. Ada rasa gemetar seolah takut kehilangan namun ada rasa lain yang menyeruak, apakah Nathan akan pergi? Lea balas memeluk Nathan, sambil menepuk punggung lelaki itu, dan pelukan Nathan menjadi semakin erat. "Bulan depan aku mau nikah, aku mau lepasin semua perasaan yang ada ke kamu, setelah ini... semuanya gak akan lagi sama, kita akan jadi orang yang berbeda, aku pernah berjanji akan menghargai dan menghormati siapapun yang jadi istri aku nanti. Karena itu... setelah ini mungkin aku enggak akan menghubungi kamu lagi, dan aku harap kamu juga melakukan itu. Kita dulu pernah berteman, aku mau kita jadi teman lagi seperti dulu. Seperti sebelum kita saling jatuh cinta dan berpacaran." Lea tak mengerti kenapa matanya terasa sangat pedas, dadanya sangat sakit. Terbayang hari demi hari yang pernah mereka jalin, kisah semasa SMA, ingatannya berlabuh ke pernikahannya yang tanpa memberi kabar ke Nathan dan terakhir ketika Nathan datang padanya untuk menunjukkan rasa kecewanya. Ya Nathan, pria yang ditinggal menikah olehnya, Nathan yang ternyata pernah sangat mendambakan berumah tangga dengannya, Nathan yang... yang secara tak sadar seringkali datang ke mimpi-mimpi Lea dalam malam yang penuh kepahitan. Dan mungkin rasa bersalah pada Nathan lah yang membuat Lea menjadi semakin membenci Ardy kala itu. Bersalah karena telah memilih orang yang salah. Bersalah karena telah meninggalkan si dia yang tulus mencintai, bersalah atau mungkin menyesal? Menyesal karena ternyata si Dia jauh lebih sukses dibanding pilihannya, si dia yang terlihat begitu indah karena tak bisa dimiliki. Dan dia... yang kini akan pergi meninggalkan Lea, pergi dengan pilihannya. Lea seolah tersadar dan tersenyum, diusap air mata yang menggenang di sudut matanya. Diusap punggung Nathan naik turun. Dia sadar kebahagiaan Nathan adalah yang utama, sama seperti Nathan dulu yang selalu mendoakan kebahagiaan Lea. Lea pun harus bersikap seperti itu harus ikhlas melepaskan Nathan, benar-benar lepas, agar tak ada lagi yang mengganjal. Tak lagi menjadi batu hambatan buat Nathan. Dan dia benar-benar berharap kelak lelaki itu akan mendapatkan kebahagiaan dengan istrinya, agar mendapatkan istri yang sangat baik dan menyayanginya setulus hati. Mampu menjaga keutuhan rumah tangga dalam keadaan apapun. Lea mendorong pelan tubuh Nathan, lelaki itu mengusap kepala Lea dan memaksa tersenyum, dia memutar tubuhnya mengambil Jas yang tadi teronggok di sampingnya, lalu mengeluarkan undangan. Berdesign minimalis namun terlihat glamour. "Datang ya," "Kamu, cinta kan sama dia?" tanya Lea mengambil undangan itu. "Ya, banget." "Good Luck ya, semoga bahagia." Senyum Lea sangat tulus, Nathan mengangguk dan pamitan pada Lea, dia melajukan mobil sportnya. Meninggalkan Lea dan air mata yang tiba-tiba turun tak terbendung. Lea dan kesakitannya seolah menjadi satu malam ini. Dia baru sadar ternyata ditinggal menikah rasanya sesakit ini! *** Sebulan Lea larut dalam kesedihan, tak bersemangat kerja, bahkan akta cerai yang kini di tangannya tak bisa membuat senyumnya mengembang. Padahal selama ini di tengah penderitaan dalam rumah tangganya dia selalu memimpikan surat ini, surat keputusan bahwa dirinya kini tak lagi menjadi istri dari Ardy. Ardy! Pria itu benar-benar terlihat benci dengan Lea, dia sangat jarang berkunjung ke rumah Lea untuk menemui anak-anaknya. Bahkan sejak pertama kali terucap kata cerai, Ardy tak pernah lagi memberikan nafkah untuk kedua putra putrinya. Semuanya ditanggung Lea, beruntung Lea ikut kerja sambilan dengan Niko dan Ale menjadi tim wardrobe yang membantu mempersiapkan segala kebutuhan foto baik di dalam studio maupun outdoor. Malam ini pernikahan Nathan, teman-teman SMA nya pasti datang ke pesta pernikahan itu, ingin rasanya dia tak menghadiri acara tersebut. Namun dia enggan karena dia juga merasa harus menunjukkan pada Nathan kalau dia baik-baik saja. Dan apa kata teman-temannya jika dia tak datang, julukan susah move on yang selalu disematkan ke Nathan bisa berpindah ke dirinya nanti. Tapi datang sendiri juga bukan pilihan yang bagus, dia sudah coba menghubungi Ale, namun lelaki itu sedang tugas keluar kota. Randy tak mungkin menemaninya, semua akan langsung tahu kelakuan ajaib Randy. Hal yang selalu membuat galau saat menghadiri pernikahan sang mantan kan hanya satu. Yaitu membawa gandengan yang harus lebih oke dari sang mantan. Entah sejak kapan tepatnya? Tapi pikiran seperti itu seolah sudah mendarah daging di hampir seluruh benak manusia. Rasa tak mau kalah, tak ingin di bully dan sebagainya yang menjadi pencetusnya. Lea memperhatikan dua set gaun yang dikirim Niko via ojek online tadi sore, dia bilang ingin meminjamkan Lea pakaian yang pasti disukainya. Satu gaun berbahan brukat berwarna putih gading lengan panjang, dan yang satunya lagi berwarna hitam terusan selutut dengan rok yang agak lebar juga ada tas cantik yang berwarna senada. Lea mengangkat kedua baju itu dan berdiri depan cermin besar di kamar, mematut dirinya dan pilihannya pun jatuh pada baju berwarna hitam, sesuai dengan hatinya yang berduka. Lagipula jika dia memakai putih, lalu sang pengantin wanita juga memakai gaun putih, apa tidak aneh nantinya? Begitulah yang ada di benaknya. Setelah berganti baju, diapun mengkeriting gantung rambutnya dan memakai make up yang tak terlalu tebal tapi pas, semakin cantik. Ya dia harus berangkat sendiri malam ini. "Le, udah selesai dandannya? Ada Ale diluar nak." Ucap Rista, mama Lea. Lea berjengit dan mematikan alat catok rambutnya. Lalu dia berjalan ke teras, dimana tampak Ale yang sedang memangku Kay dan Justin yang duduk disampingnya, kedua anak Lea terlihat antusias memegang box mainan yang dia yakini pasti diberikan oleh Ale. "Lo kasih mereka mainan lagi?" Lea bertolak pinggang sementara Ale nyengir dengan tatapan bersalah. "Hush! Temannya datang bukan disambut atau dikasih air minum kek, malah diomelin." Rutuk Ibu menepuk tangan Lea karena menghalangi jalan. Lea mendengus, beberapa bulan mengenal Ale, tiap kali lelaki itu mampir kerumahnya, selalu saja membawa mainan untuk kedua anaknya. Tak hanya mainan, kadang Ale juga membeli makanan untuk orangtua Lea, selalu saja ada buah tangan yang dibawanya. Lea hanya merasa tidak enak, tak seharusnya Ale menghamburkan uang seperti itu. Dia harus menabung untuk keperluannya juga kan? "Mau berangkat jam berapa? Ayo gue temenin kondangan." Ucap Ale. "Bukannya lagi diluar kota?" "Kerjaannya udah selesai lebih cepet jadi bisa pulang cepet." Lea mengangguk, "Bentar ya gue ambil tas dulu," Setelah mengambil tas dari dalam, Lea mencium kedua anaknya dan mencium tangan ibunya, lalu dia berjalan ke mobil Ale, mobil yang berbeda dari sebelum-sebelumnya. Entah jenis apa? Seperti sedan, tapi Lea tak tahu merknya tak mau tahu juga, paling mobil kantor seperti sebelumnya. Setelah memakai seat Belt Lea baru merasakan aroma parfum yang menguar dari tubuh Ale, mau tak mau dia memperhatikan pakaian yang Ale kenakan. Kaos berkerah warna putih, dengan jas berwarna hitam, celana jeans yang tampak pas sekali membalut kakinya, dan rambutnya yang disugar ke atas. "Jangan liat-liat ntar naksir," Ledek Ale sambil menekan pedal gas dan melajukan mobilnya, "Ge-er," dengus Lea, "Lo gak apa-apa datang ke pernikahan dia?" "Gak apa-apa," jawab Lea datar meskipun tak bisa menyembunyikan raut wajahnya yang pilu. "Disana nanti jangan nangis, apalagi nunjukkin muka sedih lo itu, keliatan tragis tau gak sih?" "Iya tau, bawel dasar." "Judes!" "Bodo!" saut Lea lalu mereka berdua justru tertawa karena menyadari telah bertingkah konyol seperti anak-anak. Ale memarkirkan kendaraan tepat di depan gedung pernikahan Nathan, sepanjang jalan banyak sekali karangan bunga berisi ucapan selamat. Tamu pun terlihat sudah banyak yang datang, tentu saja acara sudah satu jam berlangsung. Ale memberikan lengannya untuk digamit Lea, Lea mengangkat sebelah alisnya, namun dengan cepat Ale menarik tangan Lea dan meletakkan di lengannya. "Katanya gak mau dikatain susah move on?" ledek Ale lagi, membuat Lea sebal. "Udah yuk masuk," "Jangan lupa nafas." "Lama-lama kayak Randy lo, cerewet!" Ale tertawa cukup keras, lalu dia berdehem karena beberapa orang yang lewat nampak memperhatikannya. Lea mengisi buku tamu, lalu berjalan ke dalam gedung. Dekorasinya tampak sangat elegant. Dan benar saja beberapa tamu undangan yang juga teman sekolah Lea langsung menghampiri dan menyapa Lea, dan semuanya pun berseru melihat pria yang kini ada di gandengan tangan Lea. Ale tersenyum dan bersikap sangat sopan pada mereka, menjawab beberapa pertanyaan basa basi yang dilempar kepadanya. Dan saat itu pula tatapan Lea dan Nathan yang berada di pelaminan bertemu. Lea segera pamitan pada temannya karena dia juga belum salaman dengan Nathan. Rasa grogi memenuhi d**a Lea, melihat sosok lelaki yang pernah mengisi hari-harinya beberapa tahun silam itu kini bersanding di pelaminan dengan tersenyum penuh bahagia. Membuat Lea mau tak mau ikut tersenyum seolah teralir aura itu. Ibu Nathan yang pertama kali sadar kalau Lea sudah berada di dekatnya langsung memeluk Lea dan mengecup kedua pipinya. "Kamu datang nak," sapanya dengan lembut. Wajahnya ayu dan kalem, dia sangat baik dengan Lea kala itu. Bahkan ketika Lea sudah menikah dan mereka secara tak sengaja bertemu pun, ibu Nathan selalu menyapa Lea lebih dahulu karena sudah menganggapnya seperti anak sendiri. "Apa kabar tante?" "Baik, kamu sudah makan? Makan dulu sayang badan kamu tambah kurus begini. Tapi makin cantik kamu. Oiya Tante tadi minta petugas catering simpenin puding buat kamu, nanti tante minta anterin ke kamu, masih suka puding kan?" Lea tersenyum tidak enak, apalagi wanita yang kini bersanding dengan Nathan tampak memperhatikan mereka lekat. "Makasih tante, iya masih suka kok, jadi ngerepotin tante," "Enggak kok, memang pas milih menu tante sengaja minta disiapin puding coklat, tiba-tiba aja tante inget kamu dulu suka banget puding bikinan tante ya kan?" Lea mengangguk, lalu Ayah Nathan menginsterupsi percakapan itu, "Bu, itu masih banyak tamu yang mau salaman, malah dihalangi gitu," tutur ayah Nathan meski dengan wajah yang penuh senyum. Ibu Nathan seolah tak rela diganggu, namun melihat tamu undangan yang masih berbaris rapi dibelakang Lea membuatnya mau tak mau melepas tangan Lea dan membiarkannya salaman dengan kedua pengantin. "Selamat ya Om," Sapa Lea mencium punggung tangan ayah Nathan. "Apa kabar kamu Lea? Masih kerja di Radio itu?" "Masih om, aku salaman dulu ya," "Iya-iya, jangan lupa dimakan hidangannya ya, jangan diet-dietan lho," kekeh ayah Nathan dengan ramah, sesaat Lea tertegun, apakah nanti dia bisa mendapatkan mertua yang ramah seperti kedua orangtua Nathan. Tapi... sudahlah dia harus fokus merawat kedua buah hatinya saja dahulu. Tak ingin jatuh di lubang yang sama. Kini tiba saatnya bersalaman dengan Nathan, pria itu nampak berkali lipat lebih tampan juga berseri. "Selamat ya," ucap Lea dengan senyum lebar yang terlihat tulus. "Makasih ya, oiya tuh teman-teman udah nge-tag tempat di pojokkan," Tunjuk Nathan pada beberapa meja melingkar yang sudah dihuni teman-teman sekolah mereka, lengkap dengan kamera yang membidik mereka berdua layaknya hiburan. Lea melambai lalu memberi tanda silang, kemudian jempolnya digunakan untuk berpura-pura menggorok lehernya, tanda ancaman untuk mereka yang berani mengupload macam-macam tentang Lea. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN