“Is that all you got?” bisik Emily.
What?! Rex melongo. Apakah itu sinyal-sinyal untuk meminta lebih? Pikir Rex. Oh, no! Bisa bahaya kalau begini. Imannya sih kuat, tapi si “imin”-nya yang nanti bakalan meronta-ronta kepengen masuk kandang. Tidak.
Rex hanya tersenyum merespons pertanyaan Emily dan berdalih supaya tidak menyinggung gadis itu, “Banyak orang. Nanti mereka bisa melihat.”
“Banyak orang apa banyak orang?” Kekecewaan mengiringi sindiran Emily.
Rex menelan ludah lalu mengembus napas kasar. Keputusannya untuk tidak memberi ciuman lebih panas ternyata membuat Emily kecewa. Namun, ia tetap dengan pendiriannya untuk tidak mengabulkan permintaan gadis yang baru saja “ditembak”-nya. Ia bukan cowok baik, tapi setidaknya ia tidak sedang berusaha menjadi berengsek hanya karena tertantang oleh Emily. Ia akan mencium Emily lebih hot suatu saat nanti ketika hatinya sudah benar-benar yakin.
Emily duduk bersandar sambil makan popcorn seolah sedang menjaga jarak dari Rex. Rex pun tidak berusaha untuk mengambil hati Emily. Perasaannya masih terasa seperti permen Nano-Nano: manis, asam, dan asin. Sebagian dirinya merasa tidak enak hati pada Emily, tetapi sebagian lagi ia senang bisa mempertahankan prinsipnya saat mengawali kencan. Rex sama seperti Emily, bersandar sambil memandang ke layar bioskop. Entah sedang memainkan peran dan cerita apa para aktor di film tersebut, Rex hanya memandang kosong ke arah sana.
Sampai film itu selesai dan mereka keluar dari bioskop, Rex dan Emily masih sama-sama diam. Bahkan sampai mereka turun ke lantai satu, mereka masih seperti dua orang yang sedang bermusuhan. Sebagai cowok yang bertanggung jawab atas kebahagiaan ceweknya, Rex berusaha mencairkan ketegangan yang ada.
“Kita makan dulu, yuk!” ajak Rex.
Emily melirik jam tangannya. “Enggak, Makasih. Aku ada janji sama Mama dan Papa mau ke rumah Oma.”
Alasan Emily tampak dibuat-buat. Sejak mereka berangkat ke mall, Emily tidak sedikit pun menyinggung soal Omanya. Kenapa tiba-tiba ia ngomong ada janji dengan Omanya? Rex sedikit heran dengan alasan Emily. Namun, Rex pikir Emily mengatakan hal itu lantaran ia sedang kesal. Wajah Emily tidak seceria tadi, sebelum masuk ke bioskop, dan membuat Rex jadi merasa bersalah.
“Em—“
“Kita pulang sekarang saja. Aku takut kesorean ke rumah Oma.” Emily memangkas niat Rex untuk meminta maaf. Ya, sudahlah. Rex tidak bisa berkomentar lebih banyak.
Rex meminggirkan mobilnya lebih dekat ke halaman rumah Emily. Ia melepas sabuk pengaman setelah mematikan mesin mobil.
“Kamu mau ke mana?” Emily bertanya dengan nada ketus.
Jiaaah. Masih ngambek dia, batin Rex. “Mau pamit sama Mama kamu.”
“Enggak usah. Mamaku enggak ada di rumah kalau jam segini,” cetus Emily kecut.
Dahi Rex berkerut. Ia menatap heran Emily. “Di mall tadi, kamu bilang kamu mau pergi ke rumah oma kamu sama mama dan papamu.”
Emily tampak terkejut Rex mengingatkan apa yang sudah ia ucapkan ketika mereka di mall. “Mamaku masih belum pulang arisan. Setelah mamaku pulang, kita sekeluarga akan pergi ke rumah Oma. Sudah ya. Thanks sudah ngajak aku nonton.”
“Em, aku—“
“Selamat siang, Rex. Sampai ketemu di kampus.” Emily tidak memberi kesempatan Rex untuk bicara. Ia kembali memotong ucapan Rex lalu turun dari mobil dan masuk ke rumahnya tanpa menoleh lagi pada Rex.
Pundak Rex melorot. Lemas, brooo! Baru saja nembak Emily, eh langsung ditinggal pergi. Rex bahkan tidak tahu bakal seperti apa kisah yang dimulai di bioskop tadi. Rex pulang dengan kecewa. Hanya karena belum siap berciuman, Rex ditinggal gebetan.
○○○
Senin malam Rex kembali ke pepustakaan. Kali ini ia sendirian karena si gadis berblus merah belum datang. Rex pikir gadis itu mungkin tidak akan datang lagi. Mungkin saja ia sudah menyerah menjadi pengawasnya.
Setelah menelan kekecewaan seharian tadi karena dicuekin Emily, Rex jadi kurang bersemangat mengerjakan tugasnya. Rex mendorong dan menarik gagang alat pel dengan malas. Pikirannya travelling ke mana-mana. Eits! Bukan ke mana-mana, tapi ke wajah imut dan segala sesuatu yang ada dalam diri gadis itu.
Masih menempel di ingatannya wajah imut Emily. Matanya yang bulat, hidung mancungnya yang mungil, dan bibir tipisnya yang berwarna merah muda. Ya, semua kejadian yang menimpanya kemarin dan berimbas sampai hari ini adalah karena bibir itu. Rex menyesal kenapa ia tidak mencium Emily dengan panas kemarin. Kalau perlu sampai mendidih agar kegalauan seperti ini tidak merambah hatinya. Rasanya hina sekali seorang Rex dicampakkan hanya karena tidak mau berciuman. Rex merutuk dalam hati.
“Woiii!”
Rex nyaris melompat dan melempar gagang pel di tangannya ketika suara cempreng tapi bening mengagetkannya. Jantungnya berderap lebih kencang seperti langkah satu pasukan tentara yang siap terjun ke medan laga. Rex memberengut melihat si pembuat kejutan. Tatapan mengancamnya seolah mengatakan, awas lu!
“Ngelamun aja. Kenapa sih?” Si pembuat kejutan yang ternyata si gadis berblus merah dengan santainya berjalan melintas lantai yang baru saja dipel Rex.
Rex mendesis kesal. “Mentang-mentang ada cleaning service, asal jalan aja enggak permisi dulu.”
Si gadis menhentikan langkahnya lalu menoleh. “Oh, ada cleaning service? Maaf, ya, Kakak Cleaning Service. Kalau begitu, aku ulangi lagi deh.”
Si gadis berjalan mundur dan ketika tiba di depan gagang pel yang masih digenggam Rex, Rex memperingatkannya dengan geram. “Ngapain sih kamu mondar-mandir aja kayak setrikaan?”
“Kamu bilang kan harus permisi dulu. Ya, aku mau balik lagi ke pintu dan bilang ‘permisi’.”
Rex semakin geram. Bisa-bisanya si gadis berpikir kalau ia balik lagi ke pintu dan bilang ‘permisi’, Rex akan berbaik hati memaafkannya. Tidak. Saat ini Rex sedang frustrasi tingkat provinsi, kebaikan hatinya sedikit menguap terendap lara.
“Enggak usah. Bikin kerjaanku tambah banyak saja. Sudah sana ke meja Bu Lusi!” usir Rex agak kasar.
“Abang jangan marah-marah. Nanti Abang lekas tua.” Si gadis berjalan sambil bersenandung menyinggung Rex.
Mode marah Rex otomatis on. “Dasar cewek nyebelin!”
Si gadis tidak memedulikan Rex ia terus berjalan lalu duduk di meja Lusi sambil bibirnya tersenyum meledek Rex.
Rex melemparkan tatapan membunuhnya pada gadis itu. “Awas kamu nanti ya!”
“Enggak usah mengancam. Kerjakan saja tugasmu.” Si gadis memerintah dan sok bersikap sebagai penguasa.
Rex kembali mengerjakan tugasnya. Selama satu jam diliputi rasa kecewa, sesal, dan marah, Rex sangat tersiksa. Ternyata, pura-pura bahagia dan marah-marah itu sama-sama menguras banyak energi.
Rex menarik kursi plastik di depan meja Lusi dan duduk di sana. Entah apa yang sedang dirasakannya, Rex hanya ingin mengistirahatkan tubuh dan pikirannya sejenak sebelum ia pulang. Bodo amat dengan si pengawas yang sedang asyik membaca buku sambil bertumpang kaki di kursi Lusi di seberang meja. Rex meneguk air mineral dari botolnya. Tanpa sengaja tatapannya mendapati buku yang sama yang gadis itu baca beberapa hari yang lalu.
Lemot amat, baca buku segitu aja sampai berhari-hari, celetuk Rex dalam hati.
Si gadis menurunkan buku yang dibentangkan di depan dan menutup wajahnya. Ia lalu menutup buku pelan-pelan. Rex melongo melihat pakaian si gadis yang masih sama seperti hari-hari kemarin saat ia mengawasinya.
“Kamu enggak punya baju lain?” Pertanyaan itu nyelonong keluar dari mulut Rex.
“Ini seragam dinasku. Khusus untuk datang ke sini.”
Penjelasan si gadis membuat Rex hampir menyemburkan tawa. “Masa?”
“Iya, benar. Baju ini khusus dipakai untuk misi ini.”
“Misi apaan?”
“Misi nemenin kamu yang parno-an.”
Rex melotot lalu melayangkan protes keras. “Siapa yang parno-an? Kalau kaget itu ya, wajar. Namanya juga manusia. Punya respons dadakan di otak dan di jantung. Kecuali kamu hantu, kamu enggak bakalan terkejut kalau aku kagetin kamu.”
“Sok tahu kamu. Kayak pernah jadi hantu aja,” cibir si gadis, “ngomong-ngomong, kamu kenapa keliatan bete gitu sih?”
Rex mengembus napas. Bola matanya berputar melihat langit-langit dan kembali ke wajah si gadis. “Aku dicampakkan.”
“Jiaaah! Pasti waktu kamu kecil, kamu tidak di imunisasi campak. Makanya kamu dicampakkan sekarang.” Si gadis tertawa.
Rex memberengut kesal. “Ya Lord, kamu tuh enggak ada prihatin-prihatinnya sama orang lainnya. Bisa-bisanya ngetawain aku kayak gitu. Kena karma baru tahu rasa kamu.”