Part 1
Maharani merasakan hatinya hancur jutaan keping. Suami yang begitu ia cintai sepenuh jiwa tega menduakannya.
Pagi tadi sebelum suaminya berangkat ke kantor, Maharani lebih dulu ijin pergi dengan alasan untuk mengecek butiknya. Tapi itu hanya alibinya. Wanita tinggi semampai itu berhenti di pintu keluar komplek perumahannya, menunggu mobil suaminya muncul. Tanpa sepengetahuan suaminya, Maharani membuntuti mobil CRV keluaran terbaru itu. Berbulan-bulan ia mendapati gelagat aneh dari suaminya--Alvian Wijaya. Dan baru hari ini ia berani membuntuti Alvian untuk mencari penyebab perubahan sikap suaminya.
Berkali-kali Maharani mengelap telapak tangan pada ujung roknya. Ia gugup, ia gelisah, ia takut jika Alvian memergokinya. Ia takut suaminya marah karena ia telah lancang mengikutinya. Selama ini Maharani adalah istri penurut. Ia selalu mengikuti apa pun yang di pinta Alvian. Maharani begitu mencintai Alvian, lelaki yang telah lama mengisi hari-harinya 15 tahun terakhir.
Ada yang bilang firasat seorang istri memang tidak pernah meleset. Hatinya semakin tak menentu saat mengetahui jalan yang di lewati Alvian bukan jalan menuju kantor lelaki itu. Tapi hati kecilnya masih berusaha menepis pikiran negatif yang selama ini berputar di kepalanya.
Hingga sampai di sebuah rumah lantai dua dengan pekarangan tak begitu luas, Alvian menghentikan laju mobilnya. Maharani menatap seksama rumah yang sama sekali ia tak tahu siapa penghuninya. Ia ingin sekali turun untuk melihat apa yang sedang di lakukan Alvian di dalam sana sepagi ini. Tapi ia tak seberani itu, ia takut tindakannya akan membuat Alvian meradang.
Beberapa saat kemudian Maharani dikejutkan dengan munculnya Alvian, menggandeng seorang wanita yang tengah hamil besar serta seorang anak balita. Mereka masuk ke dalam mobil, hendak pergi.
Tak ingin kepergok, Maharani dengan lincah melajukan mobilnya untuk memberi jarak. Beruntung, sebelumnya ia sudah mengganti plat nomor mobilnya sebelum mengikuti Alvian. Mobil Alvian bergerak ke arah kiri jalan. Tak ingin tertinggal, Maharani memutar balik mobilnya dan kembali membuntuti mobil Alvian.
Mobil memasuki jalan raya. Mobil Maharani berjarak dua mobil dari mobil Alvian. Tak bisa dipungkiri beribu pertanyaan menjejali kepalanya. Ia sungguh tak mengenal siapa wanita dan anak yang sepagi ini dijemput Alvian. Hendak kemana mereka sepagi ini?
"Dia siapa mu, Mas?"
Maharani kembali dikejutkan dengan tempat yang dituju Alvian. Sebuah RS. Ibu dan Anak, dimana ia juga rutin melakukan terapi hormon kehamilan di sana.
Saking cintanya pada Alvian, Maharani masih berprasangka baik pada lelaki yang telah menikahinya selama 10 tahun. Ia masih yakin wanita dan anak itu adalah saudara Alvian.
"Apa pun yang terjadi aku harus turun agar tau semuanya," gumamnya mencoba menguatkan hati.
Setelah memakai masker dan mengganti pakaiannya, Maharani turun. Dengan hati tak menentu, ia menginjakkan kakinya di lantai rumah sakit. Ia menuju ruangan dokter kandungan. Perasaannya mengatakan Alvian menuju kesana. Maharani sempat kehilangan jejak Alvian karena harus berganti baju lebih dulu.
Benar, Alvian bersama wanita hamil serta seorang anak balita tengah duduk di kursi menunggu giliran diperiksa dr. Andre SpOG. Mereka bertiga duduk di bagian depan kursi sedangkan Maharani duduk di bagian belakang. Mereka terhalang pasien-pasien lain yang juga tengah menunggu giliran.
Meski begitu, Maharani masih bisa mendengar dengan jelas, saat balita itu memanggil Alvian dengan sebutan--Ayah.
Ingin rasanya Maharani saat itu juga beranjak pergi. Tapi ia belum mendapat informasi pasti siapa wanita dan balita yang bersama Alvian. Ia akan menanyakan langsung pada dokter Andre, ia yakin dokter langganannya itu mengetahui semuanya.
Waktu seolah merangkak lamban. Netra Maharani memanas, dadanya bergemuruh mendapati perlakuan Alvian pada wanita di sampingnya. Berkali-kali dengan mesra Alvian mengusap perut wanita itu.
Satu jam berlalu, akhirnya tiba Alvian memasuki ruangan dokter, setelah sebelumnya seorang perawat menyebut nama wanita yang datang bersamanya. Susan, nama wanita itu.
Lima belas menit berlalu dengan hati yang kian tak menentu dan keringat dingin di sekujur tubuh, Maharani tetap menunggu. Tak lama Alvian bersama Susan dan balita itu keluar dari ruangan dokter. Perlu menunggu dua pasien lagi sebelum tiba giliran Maharani.
Maharani hanya bisa menatap pilu pada Alvian dan Susan yang bergandengan tangan melangkah keluar rumah sakit.
Tiga puluh menit berlalu, tiba saatnya perawat menyebut namanya. Maharani bisa menangkap perasaan canggung pada perawat itu. Begitu pula saat ia memasuki ruangan dan duduk di hadapan dokter Andre. Dokter berumur 40 tahun itu salah tingkah dengan kedatangan Maharani yang hanya berjarak 30 menit dari kedatangan Alvian.
"Selamat pagi, Bu Maharani." Dokter Andre tersenyum canggung. Membuat kecurigaan Maharani semakin bertambah.
Maharani melepas maskernya. Ia menatap lekat pada dokter Andre.
"Saya butuh bantuan dokter." Pelan Maharani bicara.
"Katakan apa yang bisa saya bantu, Bu."
Maharani mengumpulkan napas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan.
"Siapa wanita yang bersama suami saya tadi? Saya yakin dokter menyembunyikan sesuatu dari saya."
Andre berusaha bersikap setenang mungkin. Ia sudah menduga suatu saat hal ini akan terjadi. Ia tidak mungkin bisa mengelak karena pasiennya itu telah melihat sendiri Alvian datang dengan wanita lain.
"Maafkan saya Bu Maharani, saya tidak ber ...."
"Katakan, Dok!" Maharani mulai tersulut emosi.
"Bu Susan ... istri Pak Alvian." Dengan berat hati, Andre mengatakan yang sebenarnya pada Maharani.
"Lalu balita itu?"
"Dia ... juga anak Pak Alvian."
Seketika, bulir bening mengalir dari sepasang netra Maharani tanpa bisa ia menahannya. Hatinya begitu hancur, berkeping.
"Bu ... maafkan saya."
Maharani bergeming. Setelah mengusap kasar air matanya, ia keluar dari ruangan dokter Andre. Sementara itu dokter Andre dan seorang perawat yang berada di ruangan tersebut hanya bisa menatap kepergian Maharani iba.
Bersambung