"Vin, kamu yakin untuk ambil tugas penyuluhan kali ini? Kalimantan itu banyak hantunya, loh!"
Yang disebut namanya langsung menoleh. Mengangkat tinggi sebelah alis matanya. Bersikap seolah tidak setuju dengan argumen yang baru saja didengarnya. "Sok tau kamu, Van," ketusnya. "Emang kamu pernah berkunjung ke Kalimantan?"
Alvin Pratama dan Novan Saylendra adalah dua sahabat yang berprofesi sebagai dokter spesialis di salah satu rumah sakit pemerintah kota Surabaya. Alvin sendiri seorang dokter spesialis Obstetri & Ginekologi atau yang menangani soal kebidanan serta kandungan. Sedangkan Novan, merupakan seorang dokter spesialis yang menangani penyakit lebih spesifik pada anak-anak.
Mereka berdua memang sering mendapat tugas dari Dinas Kesehatan untuk melakukan penyuluhan di daerah-daerah terpencil yang tersebar di seluruh Indonesia. Dan kali ini, Kalimantan Timur terpilih menjadi destinasi pilihan yang akan mereka kunjungi.
Kalau mendengar kata Kalimantan atau Borneo, apa yang pertama kalian pikirkan?
Batu bara?
Minyak?
Hutan?
Daerah Pelosok?
Atau
Manusia primitif?
Ya hampir setiap orang di ibukota selalu berpikir pulau kalimantan sebatas pulau yang penuh hutan dan jauh dari peradaban. Itu juga yang Alvin pikirkan pertama kali. Padahal faktanya kalimantan memiliki sumberdaya alam yang melimpah. Sepanjang abad ke-19, tanah Kalimantan terkenal subur untuk tanaman pertanian komoditas, terutama lada. Ditambah penemuan tambang batubara dan minyak bumi pada awal abad ke-20. Hal ini membawa kalimantan menjadi pulau dengan sumber daya alam paling melimpah.
Bukan hanya itu, kalimantan juga terkenal dengan hal-hal mistis di luar akal sehat.
Banyaknya rumor dan mitos-mitos yang berkembang di masyarakat membuat Novan sedikit ragu untuk menyetujui tugas penyuluhan kali ini. Ia terus meyakinkan Alvin untuk menolak tugas yang diberikan.
"Ya nggak pernah, sih." Novan langsung menggelengkan kepalanya. "Tapi kata orang-orang emang begitu, Vin. Banyak hantu dan siluman di sana. Kan kamu tau sendiri kalau Kalimantan itu isinya hutan melulu," jawab Novan meyakinkan.
"Ih, dasar sok tau!" Alivin mendengkus sebal mendengar ucapan partner kerjanya. Belum pernah ke Kalimantan saja, tapi berani underestimate dengan kota tersebut. "Kalau hantu nggak cuma di kalimantan, Van. Tuh di samping kamu juga ada jin yang ngikutin terus."
Ucapan tersebut sontak saja membuat Novan membulatkan mata. Pria itu menanggapi serius apa yang baru saja Alvin ucapkan. Tapi sebenarnya Novan memang tipikal pria yang penakut.
"Nggak usah mulai, Vin! Aku tau kemampuan kamu yang bisa lihat makhluk astral. Tapi nggak gini juga dong bercandanya."
"Lah aku beneran, Van. Kan setiap manusia memang didampingi jin qorin dari dia lahir sampai menutup mata," jawab Alvin dengan raut wajah serius.
"Tapi bisa nggak, sih. Bercandanya nggak usah bawa-bawa mahkluk ghaib? Serem, Vin."
Tawa lagi-lagi berderai dari bibir Alvin. Ia suka kalau sudah menggoda sahabatnya itu.
"Dasar penakut! Ya udah, ini gimana? Kita ambil atau nggak tugas kali ini?"
Novan tediam sejenak. Kembali menimbang ajakan yang Alvin sodorkan. Entah kenapa, ia merasa ragu dengan tujuan tugas mereka kali ini. Sudah banyak kota dan desa terpencil yang mereka kunjungi. Tapi kenapa yang satu ini ia merasa sedikit berbeda.
"Deal ya, Van." Alvin kembali berucap tanpa mendengar terlebih dahulu pendapat Novan. "Kita ambil aja tugas ke Kalimantan. Sekalian explore daerah sana. Aku juga penasaran mau buktiin omongan kamu."
"Omongan yang mana?" Novan kebingungan.
"Omongan soal Kalimantan yang katamu banyak hantunya."
"Dasar Wong Uedaan!" Novan langsung berseru. Alvin itu memang punya kelakuan aneh. Di mana-mana orang suka seram dengan makhluk gaib, pria itu malah senang bermain-main dengan mereka. Ini yang membuat Novan kadang ngeri berteman dengan Alvin.
"Ya udah, terserah kamu aja atur gimana."
Novan akhirnya mengangguk pasrah. Percuma juga protes. Lagi pula, sudah tidak ada pilihan lain untuk menolak tugas tersebut. Pikirnya, mungkin ini sudah jalannya yang memang bertugas mengabdikan hidup untuk membantu orang banyak.
Selesai menghubungi Dinas terkait demi mengkonfirmasi keberangkatan mereka, Alvin terlihat kembali mengeluarkan untuk menghubungi seseorang. Kali ini, ia menghubungi Raffi yang tak lain adalah Kakak tertuanya yang selama ini memang kerja dan tinggal di Kalimantan Timur.
"Assalamualaikum, Bang raffi ... " Sapa Alvin ketika panggilan sudah tersambung. "Lusa, insya Allah Alvin mau dinas ke Kalimantan, tepatnya di daerah Hulu Mahakam. Alvin tugas bersama teman sejawat dan rencananya bakal numpang tinggal di rumah Abang untuk sementara waktu."
"Silahkan aja, Vin. Rumah Abang terbuka lebar untuk kalian. Nanti Abang informasikan alamat lengkapnya biar orang travel bisa langsung mengantar kalian sampai depan rumah."
"Oke, Alvin kabarin lagi kalau nanti sudah on the way rumah Abang."
Selesai mengakhiri panggilan, Alvin kembali menoleh ke arah Novan. Pria itu tersenyum penuh arti sembari berkata-kata. "Sampai Jumpa di Kalimantan, Van. Siapkan mentalmu. Kita bakal main-main sama hantu," goda pria itu. Yang mana membuat Novan yang tadinya sudah tenang kembali melotot dengan sebal.
Alvin s****n!
****
Di hari keberangkatan, Alvin terlihat begitu matang mempersiapkan segalanya baik fisik maunpun mental. Sesampainya di bandara, ia harus melakukan perjalanan darat menuju Hulu Mahakam yang memakan waktu sepuluh sampai sampai sebelas jam perjalanan darat. Bukan itu saja, setelah sampai di Hulu Mahakam nanti, mereka berdua harus kembali melakukan perjalanan menggunakan long boat dua jam lamanya.
Dari medan jalan yang awalnya aspal berlanjut tanah bebatuan curam. Melintasi riam atau bagian dari sungai yang memiliki aliran air yang deras dan hampir seperti air terjun, tetapi rendah atau landai.
Belum lagi gelombang besar yang harus dilewati, menjadikan perjalanan Alvin kali ini terbilang cukup ekstrem.
Berbeda jauh dengan Alvin yang begitu menikmati perjalanan, Novan sedari tadi banyak diam. Wajah pria itu bahkan tampak lemas. Entah sudah berapa kali pria itu memuntahkan isi perutnya karena tidak tahan dengan medan jalan yang dilalui. Desa tempat abang Raffi tinggal memang jauh dari kota. Akses jalannya pun lumayan susah karena ada sebagian yang masih berupa tanah.
Sesampainya di Hulu Mahakam, bang Raffi langsung menyambut kedatangan Alvin dan Novan dengan penuh suka cita. Pun begitu dengan istrinya. Baru saja duduk di teras rumah, mereka berdua sudah disuguhi segelas teh hangat dan pisang goreng. Bang Raffi bahkan sudah menyediakan kamar yang nyaman untuk Alvin dan Novan tidur selama tinggal di sana.
Setelah Alvin perhatikan baik-baik, desa tempat bang Raffi tinggal ini ternyata cukup sepi padahal hari masih sore. Tidak bisa dibayangkan kalau malam hari tiba pasti lebih sunyi dari pada saat sekarang. Rumah bang Raffi saja terbilang jauh dari hiruk pikuk tetangga.
Dalam satu jalan atau satu g**g hanya terdapat tiga rumah dan jarak satu sama lainnya sangat jauh sekitar seratus meter per rumah. Alvin sempat berpikir dalam hati, bila terjadi perampokan atau penduduk yang mengalami sakit yang darurat pasti akan sangat susah meminta pertolongan, mengingat rumah tetangga yang jaraknya lumayan jauh.
"Jadi berapa lama kalian tinggal di sini?" tanya bang Raffi sembari mempersilahkan Alvin untuk masuk ke kamar yang sudah di sediakan.
"Insya Allah dua sampai tiga minggu. Sampai semua materi penyuluhan selesai di sosialisasikan kepada penduduk sekitar."
Bang Raffi mengangguk. Ia yang memang sudah lama tinggal di Hulu Mahakam bersama sang istri tentu saja senang kali ini adik bungsunya jauh-jauh berkunjung ke kediamannya.
"Lama-lama di sini juga nggak apa-apa, Vin. Abang senang kamu udah mau main-main ke rumah abang. Selama ini, kalau perlu sesuatu, ngomong aja. Abang sama Kak Maria pasti bantu."
"Insya Allah, Bang. Maaf kalau nanti Alvin ngrepotin Abang dan Istri."
"Nggak masalah. Kalau gitu, kamu cepat mandi. Setelah itu kita makan malam sama-sama."
Gegas Alvin dan Novan masuk ke dalam kamar. Selesai mandi mereka memilih untuk menyusun ke dalam lemari semua pakaian dan barang-barang bawaan yang ada di dalam koper. Lantas tak berapa lama, terdengar suara pintu kamar kembali di ketuk dari luar. Buru-buru Alvin bangkit untuk membukakannya.
"Vin, ayo kita makan malam dulu. Setelah itu baru kamu istirahat," ajak kak Maria. Beliau adalah wanita yang sudah belasan tahun terakhir menjadi istri bang Raffi. Karena alasan menikahi kak Maria, kakak tertuanya itu harus rela pindah ke Kalimantan. Entah bagaimana awalnya dulu bang Raffi bisa berkenalan dengan istrinya.
"Iya Kak, sebentar lagi Alvin keluar," sahut pria itu dengan sopan.
Saat Alvin dan Nova keluar kamar, bang Raffi dan kak Maria sudah duduk manis di ruang makan. Terlihat kak Maria memasak begitu banyak makanan spesial seakn tahu kalau Kedua tamunya memang sudah kelaparan sedari tadi.
"Cepat makan, Vin. Terus istirahat, kamu pasti cape habis perjalanan jauh."
Alvin mengangguk pelan.
"Iya bang, Alvin emang udah ngantuk banget. Lagian besok juga harus bangun pagi buat penyuluhan di balai desa," sahut pria itu sambil mengambil kue donat yang terhidang di depannya.
"Ayo di habisin ya masakannya. Kakak masakin spesial buat kalian. Semoga aja cocok dengan lidah dan pas sesuai selers." Sambil tersenyum kak Maria menuangkan Nasi dan ikan bakar ke masing-masing piring kedua tamunya.
Setelah menyelesaikan makan malam dan membersihkan piring makan, Alvin dan Novan langsung masuk ke kamar untuk bersiap tidur karena besok memang harus bangun lebih awal.
Sepi, perasaan itu yang pertama kali menyelimuti pikiran Alvin saat hendak memejamkan mata. Desa tempat bang Raffi tinggal benar-benar jauh dari hiruk pikuk gemerlapnya kota. Hanya suara serangga yang sedari tadi terdengar nyaring di telinga. Mencoba sekuat tenaga memejamkan mata, akhirnya pria itu bisa tertidur dengan nyenyak di malam pertama.
***
Hari pertama di hulu mahakam terasa biasa saja, malahan menurut Alvin terasa begitu nyaman.
Penduduk di sini baik dan sangat ramah.
Saat mereka pulang dari balai desa, sedikit banyak warga yang membekali dua dokter muda itu buah-buahan hingga makanan lainnya.
Mereka berdua juga mendapat teman baru di sana.
Namanya Juliar, umur mereka sepantaran, sekitar 35 atau 37 tahun. Pria keturunan suku dayak ini terlihat tampan dengan rambut cepak berwarna kecokelatan. Matanya sedikit sipit dan hidung yang sangat mancung. Juliar sendiri merupakan anak kepala desa. Ia juga yang berbaik hati mengajak Alvin dan Novan menyisiri kampung untuk mendata para warga yang ada di sana.
Satu minggu telah Alvin lewati di hulu mahakam tanpa kendala. Semua urusan yang berhubungan dengan penyuluhan juga berjalan lancar berkat bantuan Novan dan juga Juliar. Hingga suatu hari, bang Raffi izin pamit untuk pergi ke kota beberapa hari karena ada tugas dari perusahaan tambang tempat ia bekerja.
Sebelum benar-benar pergi, bang Raffi sempat bercengkrama dengan Alvin. Pria itu lantas memberikan satu pesan yang tidak boleh adiknya langgar.
"Vin, abang ke kota dulu mungkin empat sampai lima hari. Selama Abang nggak ada, kamu tinggal dulu sama kak Maria. Jaga diri kalian baik-baik."
"Abang tenang aja nggak perlu khawatir, Alvin juga betah kok tinggal disini. Lagian Alvin juga udah deket sama warga." Alvin teru meyakinkan bang Raffi kalau ia memang baik-baik saja dan betah selama di sana.
"Oh, ya, satu lagi," ucap Raffi kemudian. Detik berikunya wajah pria itu berubah serius. "Kamu harus ingat baik-baik ucapan abang yang satu ini. Selama abang nggak ada, kamu nggak perlu keluar rumah malam hari. Kalau bukan sesuatu yang benar-benar mendesak, jangan sampai keluar malam. Karena kalau ada apa-apa, nggak ada yang nolongin kalian," pinta bang Raffi.
Alvin menganggukkan kepala tanpa banyak bertanya. Lagi pula, ia memang bukan pria yang suka keluyuran malam hari. Lebih-lebih sekarang sedang berada di desa terpencil,
Setelah Raffi pergi, Alvin dan Nisa juga bergegas ke balai desa melanjutkan pekerjaan. Semua berjalan lancar hingga saatnya kami kembali pulang ke rumah.
"Vin, hari ini saya nggak bisa antar kalian sampai rumah ya. Malam ini bulan purnama. Saya harus sampai rumah sebelum magrib kalau nggak nanti bisa kenapa-kenapa," ucap Erwingg terlihat sedikit buru-buru.
Alvin langsung melirik ke arah Juliar, penasaran dengan apa yang barusan pria itu ucapkan ucapkan.
"Kenapa dengan bulan purnama? Apakah ada pantangan tersendiri di desa ini tentang bulan purnama"
"Memangnya kenapa kalau bulan purnama?" tanya Alvin.
"Padahal bulan purnama kan bagus bentuknya penuh dan cantik." Karena penasaran akhirnya Novan juga ikut bertanya.
Ya, Novan itu memang manusia super kepo yang pernah Alvin kenal. Jangan lupa dia juga pria yang kadang terlihat polos. Sesekali juga menyebalkan. Kadang mereka berdua terlibat ribut masalah kecil hanya karena pria itu sering menanyakan hal-hal yang tidak penting.
"Nanti kapan-kapan aku ceritain, ceritanya panjang. Yang penting nanti malam kalian jangan keluar rumah. Mending di dalam rumah aja. Kalau perlu nggak usah keluar kamar," ucap Juliar penuh penekanan seolah-olah perintahnya ini tidak ingin di bantah.
Mendengar hal itu, tentu ssja Alvin dibuat semakin penasaran. Ia menebak, seperti ada sesuatu yang tidak mereka ketahui mengenai desa ini. Setelah Juliar pamit pergi, Alvin dan Nova memutuskan untuk segera pulang ke rumah.
Mereka berdua akhirnya sampai di rumah tepat waktu. Setelah membersihkan diri dan menyiapkan bahan untuk keperluan besok di balai desa, Alvin dan Novan keluar kamar untuk bersiap makan.
Terlihat di meja makan sudah tersedia berbagai macam menu masakan, sepertinya kak Maria sudah menyiapkan makanan enak untuk adik iparnya santap.
Namun anehnya, wanita itu tidak terlihat ikut bersama-sama menyantap makan malam. Sempat berpikir mungkin saja Maria sudah lebih dulu makan lalu setelahnya langsung beristirahat.
Mengabaikan rasa penasaran, selepas makan, keduanya langsung bergegas masuk kamar. Awalnya biasa saja seperti malam sebelumnya. Akan tetapi, saat jam menunjukkan pukul 12 malam, tiba-tiba Alvin dan Nisa terbangun karena terkejut mendengar suara jendela kamar yang terhempas kencang. Tapi bukan jendela kamar mereka, melainkan berasal dari jendela kamar bang Raffi dan kak Maria. Alvin bahkan sempat menerka-nerka apa yang tengah terjadi. Apakah jendela tersebut benar-benar terhempas karena terkena angin kencang. Atau jangan-jangan ada penyebab lain yang mereka berdua tidak ketahui.
.
.
(bersambung)
.
.
Judul : DEAR SATANIC
PENULIS : NOVAFHE
.
.
===Catatan Kaki===
Cerita ini based on true story. Kejadiannya benar terjadi di salah satu desa pedalaman di Kalimantan Timur.
Ada pembaca yang berasal dari Kalimantan Timur?