"Arin...!!!".
Rafa melangkah cepat mendekati Arin. Rafa mengedarkan pandanganya ke arah meja ia duduki semenit yang lalu, tidak ada yang berubah dengan meja tersebut, tetapi gelas berbahan kaca itulah yang menjadi pusat perhatiaanya. Gelas itu tidak berbentuk lagi, sudah pecah menjadi kepingan-kepingan kecil yang berserakan di lantai.
Sialnya, Arin menginjak salah satu kepingan kaca itu. Betapa cerobohnya Arin, ia menatap Arin meringis menahan sakit. Rafa dengan cepat membopong tubuh Arin, duduk di salah satu kursi kosong.
"Arin, kamu tidak apa-apa kan" tanya Rafa, ia lalu mengambil sendal Arin yang terpental di bawah meja.
Rafa memperhatikan sendal yang di pakai Arin. Sendal itu bisa ia prediksi, hanya berhak 7 atau 10 cm saja. Kenapa bisa ia tidak menyeimbangi jalannya sendiri.
Rafa memperhatikan telapak kaki Arin. Sepertinya Arin menginjak kepingan kaca itu. Rafa lalu mengambil alih kaki Arin, dan di tompangnya dipaha kiri, Rafa melihat ada pecahan kaca menancap di daging permukaan kakinya.
"Mungkin ini, akan sedikit sakit. Tapi saya harus mencabutnya" ucap Rafa.
Pihak cafe juga turut membantunya, lalu membawa kotak P3K dan menyerahkan kotak itu kepada Rafa. Rafa mengucapkan terima kasih.
Rafa lalu mencabut kepingan kaca yang menancap ditelapak kaki Arin. Arin mengerang menahan sakit. Darah segar itu otomatis mengalir. Rafa menahan aliran darah itu dengan kain casa. Setelah cukup menahan aliran darah itu, Rafa lalu membuka kain itu kembali, menggantinya dengan yang baru. Lalu Rafa menahan casa itu dengan plester.
Rafa menatap Arin, ia memastikan kepada wanita itu semuanya baik-baik saja.
"Semua baik-baik saja, kamu duduk disini saya akan mengurus ini semua" ucap Rafa. Lalu meletakkan salah satu kaki Arin dikursi plastik. Arin mengangguk mengikuti perintah.
Rafa lalu berjalan ke arah penjaga cafe, meminta maaf atas ketidak nyamanan untuk pada para pengunjung, dan mengganti gelas yang pecah itu. Dan pihak cafe berbaik hati tidak mempermasalahkanya, hanya saja Rafa tidak enak jika tidak meminta maaf. Setelah semua selesai, ia lalu menghampiri Arin.
Rafa mencoba tersenyum, ia tidak ingin Arin merasa bersalah kepadanya. "Semua baik-baik saja, pihak cafe sudah biasa mengalami hal seperti ini. Bahkan ada yang lebih parah, mabuk sambil mengacaukan seisi cafe" dusta Rafa, ia berdusta hanya ingin menenangkan Arin.
"Lain kali jika pergi dengan saya, jangan pakai sendal berhak lagi, apapun itu namanya, saya tidak ingin kejadian seperti ini terulang lagi, menyebabkan kamu terluka seperti ini".
Arin hanya bisa mengangguk, Rafa membopong tubuh Arin, Rafa lalu menghentikan taxi yang melintas di tepi jalan.
*****
Setibanya di kamar hotel Arin lalu menyandarkan tubuhnya disisi tempat tidur. Ia menatap Rafa yang masih beridiri tidak jauh darinya.
"Terima kasih" ucap Arin, hanya itu yang bisa ia ucapkan.
Arin tahu, ia sudah banyak merepotkan Rafa sudah dua hari ini. Entahlah semua terjadi begitu saja, tanpa ia sengaja. Ia tidak tahu ini merupakan kebetulan atau takdir di pertemukan oleh Rafa, sejak pertama mendarat di Bangkok.
Rafa tersenyum, ia lalu duduk disisi tempat tidur, menatap wajah Arin, "Kamu sebaiknya lebih hati-hati, saya tidak ingin kamu terluka lagi seperti ini".
"Iya" ucap Arin pelan, nyaris berbisik.
"Sekali lagi terima kasih".
"Iya tidak apa-apa. Kamu sebaiknya istirahat, sementara saya akan ke minimarket bawah, untuk membeli alkohol untuk membersihkan luka kamu. Walaupun lukanya kecil, saya tahu itu dalam, saya tidak ingin luka itu infeksi".
"Maaf, sudah merepotkan kamj lagi".
"Iya, tidak apa-apa" Rafa mengelus kepala Arin.
Arin benar-benar ingin berterima kasih dengan Rafa, yang telah memperhatikannya. Rafa lalu berdiri melangkahkan kakinya menuju pintu utama meninggalkan Arin yang tengah menatapnya.
Beberapa menit kemudian, Rafa datang membawa paper bag dan beberapa kantong plastik. Rafa lalu meletakkannya di nakas. Ia mengeluarkan satu persatu isi dalam kantong plastik itu. Rafa tidak hanya membeli alkohol, kapas dan casa. Ia juga membeli beberapa minuman dan ayam berbalut tepung krispi.
Rafa melangkah mendekati Arin, lalu duduk di sisi tempat tidur, dan menompang kaki arin di pahanya, agar bisa membersihkan kaki itu dengan leluasa.
"Ketika saya ke minimarket bawah, saya tidak sengaja berhenti disalah satu outlet ayam krispi itu. Jadi saya membelinya saja sekalian?" Ucap Rafa.
Arin menatap Rafa, dengan telaten membersihkan lukanya. Padahal itu hanya luka kecil, hanya Rafa terlalu berlebihan mengkhawatirkanya.
"Apa kamu suka ayam krispi itu?" Tanya Arin.
"Tidak sih, saya hanya sudah lama tidak memakannya saja".
Akhirnya Rafa selesai membersihkan luka di kaki Arin. Ia tersenyum menatap hasilnya. Jujur ini pertama kalinya ia membersihkan luka seseorang, rasanya ia benar-benar menjadi pahlawan.
"Rafa".
"Iya Arin" Rafa lalu menatap Arin.
Rafa hanya diam ketika, Arin mendekati wajahnya, ia dapat merasakan hembusan nafas Arin di permukaan wajahnya. Bibir lembut Arin mendarat dipipinya. Hanya sebuah kecupan, hatinya sudah berdesir tidak karuan.
Rafa terpana, ketika Arin menjauhi wajahnya. "Terima kasih" ucap Arin.
Rafa tersenyum, ia ingin tertawa. Ia senang Arin melakukan itu kepadanya. Padahal ini bukan pertama kalinya ia di cium oleh seorang wanita, bahkan ia sudah melakukan lebih dari itu. Itu hanya kecupan pipi, kecupan pipi itu hal biasa dilakukan semua orang.
Rafa lalu dengan cepat membalas kecupan tepat dibibir Arin. Ia berusaha mati-matian agar tidak melumat bibir Arin, karena ia tahu ini merupakan awal dari pertemuannya. Ia harus bersabar untuk memulai sesuatu yang baru, ia tidak ingin Arin terkejut nantinya.
"Sama-sama" Rafa menjauhkan bibirnya, lalu mengedipkan mata, menggoda Rafa.
*****