CHAPTER DUA PULUH : Rangkaian Jadwal Padat Zetta (2)

2038 Kata
            Selagi hendak meninggalkan rumah, Zetta sengaja melintasi pavilion.              Ia meyaksikan, ada setumpuk paket siap kirim bertumpuk di sudut ruangan. Entah sejak jam berapa Azkia dan Ajeng mengemasnya. Sepuluh hari sudah mereka di rumah ini. Rencana semula menjadikan pavilion sebagai ruang display, belum terwujud hingga sekarang. Sama halnya dengan gagasannya menggunakan halaman depan untuk berjualan makanan matang.              Kewaspadaan Zetta sebagai pendatang baru, menimbulkan berbagai pertimbangan keamanan serta kenyamanan. Ditambah pula, kepala gadis itu sudah cukup pening memikirkan sejumlah material yang belum sedikitpun tersentuh di gudang.              “Hai Kak Ze, mau berangkat?” sapa Azkia, melihat kemunculan Zetta.              “Pagi Mbak Zetta,” sapa Ajeng pula.              Serentak, Azkia dan Ajeng menghentikan kegiatan menjahit yang sebelumnya mereka lakukan.              “Hai, pagi Ajeng, Azkia,” ucap Zetta lalu menunjuk ke arah tumpukan paket siap kirim.              “Sebanyak ini yang pesan, Kia? Mau Kakak bantu kirimkan sekalian jalan? Biar cepat sampai. Jadi, para pelanggan senang dan terus memberikan review yang bagus. Syukur-syukur, secepatnya repeat order sambil mereferensikan ke kawan-kawannya lainnya,” Zetta menawarkan bantuan.              Azkia lekas menggeleng dan balik bertanya, “Jangan, nanti malahan menghabiskan waktunya Kak Ze. Mereka  pasti lama, ngetik tanda terimanya. Tenang saja. Nanti kurirnya datang pick up, kok. Kan sudah Azkia telepon. Lagian, jadwal Kakak pasti padat, kan? Ke perusahaan yang kemarin lusa lagi, Kak? Yang rumah produksi itu? Apa namanya? Layar apa gitu?”              Mendapati tawarannya ditolak dan disertai dengan sebuah alasan yang logis, Zetta mengedikkan bahu, tak hendak memperpanjang masalah.              “Oke, deh, kalau begitu. Betul, salah satu jadwal Kakak, ke perusahaan itu, PT Layar Perak. Bantu doa supaya bisa deal ya. Hari ini Kakak ketemu decision maker-nya. Kakak juga mau menawarkan beberapa sketsa baru ke butik,” sahut Zetta.              “Pasti  Mbak Zetta. Amin,” Ajeng yang lebih dahulu menyahut.              “Amin. Pasti didoakan sama kita semua kok, Kak,” sahut Azkia menambahi.              “Thanks,” ucap Zetta.              Azkia tersenyum.              Zetta mengalihkan pandangannya kepada Ajeng.              “Jeng, ini sifatnya untuk jaga-jaga saja. Kamu masih menjalin komunikasi sama teman-teman, kan? Soalnya begitu dapat order, kita pasti memerlukan bantuan mereka. Nggak mungkin semua pekerjaan dilempar ke pihak lain. Nanti kita atur-aturlah, mereka tinggal di sini. Pavilion ini bisa disekat sebagai kamar,” kata Zetta.              “Masih, Mbak. Soal itu, tenang saja, serahkan ke saya. Supaya Mbak Zetta bisa fokus mencari order,” sahut Ajeng mantap.              Zetta menarik napas lega. Dia segera berpamitan pada Ajeng dan Azkia. Lantas, bergegas menghampiri kendaraannya yang diparkir di halaman rumah.              Waktu cepat bergulir. Tak terasa, sore hampir menjelang, setelah seharian Zetta mengikuti keseluruhan agenda kerjanya hari ini. Masih tersisa satu jadwal lagi. Menemui Diaz, nama yang disebutnya sebagai ‘decision maker’ tadi pagi. Dan itu masih dua jam mendatang. Lantaran kesibukan Diaz mengurus sejumlah bidang usahanya, dia meminta pada Ambarwati, sekretarisnya agar menjadwalkan pertemuan dengan Zetta selepas jam kerja.              Kunjungan kelima Zetta pada sebuah butik yang berada di dalam sebuah pusat perbelanjaan baru saja usai sesaat lalu. Zetta sedikit kecewa karena hasilnya belum sesuai harapan, namun tetap berusaha menjaga mood baiknya. Zetta menghibur dirinya sendiri, menjaga agar jangan sampai terlihat sucuilpun gurat keputusasaan di parasnya, ketika menjumpai klien selanjutnya.             Demi memompa lagi semangatnya yang sempat jatuh, Zetta bermaksud mampir ke sebuah café, sekadar menyerap aura nyaman di cafe selagi menyesap kopi, juga mengetik sejumlah surat penawaran baru di sana. Tiada kata ‘buang-buang waktu secara percuma’ dalam kamus hidup seorang Zetta sekarang. Karenanya, akan dimanfaatkannya jeda waktu menuju appointment terakhirnya hari ini, sebaik mungkin. Tidak pernah disangkanya, jadwal kerjanya yang ketat ketika masih berkarir di tempat kerjanya yang dulu, belum dapat menandingi kesibukannya yang sekarang.              Atas dasar pertimbangan efisiensi waktu, Zetta memilih café yang terletak satu gedung dengan kantor Diaz. Hanya saja, berbeda lantai.             Kebetulan, baru saja Ambarwati memberitahukannya bahwa Diaz bakal terlambat datang sekitar 35 menit dari perjanjian semula.             Saking asyik menyesap kopi hitamnya dan membaca email di laptopnya, Zetta kurang menyadari, ada sepasang mata mengawasinya dari balik kaca cafe beberapa saat lamanya. Sepasang mata itu menatapnya lekat seolah perlu memastikan bahwa Zetta sungguh orang yang dikenalnya. Setelah merasa yakin, baru orang itu berjalan memasuki cafe dan segera menghampiri Zetta.              “Maaf, Kak Zetta, kan? Yang mengontrak rumahnya mendiang Pak Pramono? Saya Reino, Mbak, putranya Pak Shendy,” Reino mengulurkan tangannya seiring senyuman ramahnya.              Mendengar ada yang menyapanya, Zetta mendongakkan kepalanya.             Ia mengamati beberapa detik wajah Cowok di depannya, lantas menyambut uluran tangan Reino. Dia ingat, empat hari lalu Reino mengantarkan kue buatan ibunya ke rumah mereka.             Kata Reino, ibunya sengaja membuatkan kue itu, sebagai ucapan selamat datang kepada keluarganya. Saat itu, Zetta sempat berpikir, mengapa yang mengantarkan kue itu seorang anak laki-laki, bukannya bu Sabrina sendiri atau anak perempuannya. Sebab dari Natasya, diketahuinya bahwa bu Sabrina juga memiliki anak perempuan.              Ketika Reino datang mengantarkan kue itu, Zetta kesulitan mengontrol pikirannya yang sedikit terusik memergoki cara Reino melayangkan pandang ke segenap rumah. Di mata Zetta seolah Cowok itu sedang menelisik sesuatu. Zetta ingat, Reino juga terkesan mengulur waktu berada berlama-lama di rumah mereka. Seperti hendak menyerap dalam-dalam, aura rumah itu. Sungguh, saat itu Zetta berusaha keras untuk menekan rasa tersinggungnya.             Dia kian curiga, kala memergoki Reino dan Azkia saling berpandangan beberapa kali. Pandangan dua orang yang saling tertarik, sehingga membuat Zetta terdorong mengawasi dan membatasi munculnya kemungkinan buruk.              Saat kedatangannya, Reino banyak bertanya seputar stok kreasi ILZA, yang dibahas Azkia dengan antusias. Tetapi, mata Zetta yang awas menangkap, pikiran Reino bukan pada percakapan tersebut.              Sebagai putri sulung yang kini terkondisi sebagai tulang punggung keluarga, Zetta tentu waspada penuh. Dia tak ingin, keberadaan mereka, empat orang wanita di rumah besar itu, menjadi tidak aman. Tanpa ada satupun makhluk bernama laki-laki yang melindungi mereka, di tempat yang baru pula, di mana mereka harus lekas beradaptasi. Hal itulah ,yang akhirnya membuatnya membatalkan rencana men-display berbagai stok dari outlet di pavilion.             Pantang bagi Zetta untuk sengaja mengundang bahaya dari luar. Sebab, membuka pagar dan ruang display, berarti siap kedatangan berbagai pengunjung yang tak mereka kenal sama sekali. Meski enggan mengatakan alasan sebenarnya pada ibunya, Ajeng maupun Azkia, Zetta menandaskan, sebaiknya mereka menaruh fokus ke penjualan online dulu. Secepatnya merubah barang dagangan menjadi uang.              “Oh, iya. Reino, kan? Maaf, ya, kami sekeluarga belum bisa melibatkan diri ke kegiatan warga. Banyak yang musti kami urus. Tapi kata Azkia, dua kali dia ketemu kamu, sewaktu belanja di mini market seberang rumah,” kata Zetta kemudian.              “Ah, nggak masalah. Kami paham. Bagaimana, Kak? Nyaman, tinggal di situ?” tanya Reino.              Alis Zetta nyaris mengernyit lantaran menangkap tujuan menyelidik dari kalimat Reino.              “Ya, lumayan,” kata Zetta singkat.              “Syukurlah kalau begitu. Tapi, kalau ada perlu apa-apa, Kak Zetta dan keluarga boleh minta tolong kami. Ada simpan nomor telepon Ibu, kan, ya?” tanya Reino.              Zetta memaksakan sebuah senyum, tetapi tatapan waspadanya tidak satu detikpun beralih dari paras Reino, semata untuk mencermati dan menimba ekspresi yang tergores di sana. Seakan dengan begitu, dia dapat menangkap ada maksud tersembunyi apa dari kata-kata Reino.             Dalam diam Zetta memperkirakan, Reino dan Azkia pasti telah saling bertukar nomor telepon, meski baru dua kali bertemu.             ‘Hm, tiga kali bila ditambahkan dengan kedatangan Reino mengirimkan kue yang katanya mewakili ucapan selamat datang ke rumah,’ batin Zetta.             Terpikir oleh Zetta, semestinya pembicaraan Azkia dan Reino tentunya sebentar, sebab dilakukan di tempat umum dan cenderung ramai.              Untuk alasan yang sulit dipahaminya, Zetta mendapatkan firasat, Reino berniat buruk pada keluarganya. Masalahnya, dia menangkap kegamangan Azkia saat membisikinya sambil lalu kemarin, “Eng... Kak Ze. Ssst.., jangan bilang ke Ibu ya. Azkia ngerasain adanya aura ganjil di rumah yang kita tempati.”              Sesuatu yang sabetulnya tidak ingin didengarnya karena hanya akan menambah beban pikirannya saja.              Zetta paham, pantang buat Azkia membebani pikirannya, karena adiknya itu tahu, dia sedang pusing, berjuang keluar dari kemelut keuangan mereka. Zetta jelas menduga, ada informasi miring yang mampir ke telinga Azkia, walau dia belum sempat mendesak Azkia mengatakan, informasi apa tepatnya. Berpikir setiap menit sekarang menjadi sangat berarti buatnya, Zetta memilih mengabaikannya dulu. Setiap menit yang dimilikinya, tak ubahnya merupakan uang baginya, waktu untuk berpikir, berkreasi, membuat rencana, mengeksekusinya agar menjadi penghasilan.              Zetta sadar sepenuhnya, dia tengah berkejaran dengan waktu sekarang ini. Tidak sampai lima bulan mendatang, ia sudah harus membayar uang sewa lagi. Sisa hutang pada vendorpun, tetap harus diangsur sesuai jangka waktu yang telah disepakati bersama. Sejauh ini, mereka masih mau memberikan kelonggaran tempo p********n padanya.             Di samping itu Zettapun masih mempunyai kewajiban untuk membayar sejumlah bunga gadai, demi mempertahankan kepemilikan apartemennya, belum lagi memikirkan biaya lainnya. Mana mungkin, dia membiarkan otaknya dijejali oleh pemikiran negatif yang hanya berpotensi melemahkan semangatnya, bukannya menjadi celah jalan keluar dari masalahnya?              “Kak Zetta ada appointment di sini, ya?” Reino mengalihkan pembicaraan, menyadari Zetta bersikap defensif. Ya, dia seorang tenaga pemasaran yang kerap menghadapi berbagai sikap orang, tentu saja dia dapat membaca hal-hal yang tersirat di wajah maupun bahasa tubuh lawan bicaranya.              Tampak benar betapa Reino berusaha menetralkan pembicaraan, berbicara sehalus mungkin kepada Zetta. Lumayan hasilnya. Reino melihat Zetta mengangguk kecil menanggapinya.              “Masih agak lama sih. Kamu sendiri?” Zetta balik bertanya.              “Tadi aku baru kunjungan ke pelanggan, Kak. Tapi sekarang mau ke kampus sebentar, ketemu dosen pembimbing. Saya duluan, Kak. Oya, kalau misalnya ada sesuatu,  jangan sungkan menyampaikan ke kami. Azkia juga boleh kok, beritahu saya,” kata Reino kemudian.             Kembali Zetta tersenyum. Seolah tulus, padahal ia melakukannya setengah hati. Rasa tak sukanya pada Reino mendadak terbit.              'Ada sesuatu? Maksudnya apa? Kamu ingin, aku berpikiran mengenai hal-hal mistis di tempat tinggalku? Biar apa, coba? Biar nggak betah? Jadi, rupanya kalian nggak suka keberadaan kami? Masalahnya apa? Kami kan, nggak mengganggu kalian. Kegiatan menjahit saja belum berjalan! Praktis, nggak ada potensi mengusik kalian. Dan benar dugaanku kan, kamu sama Azkia sudah bertukar nomor telepon,’ kecam Zetta dalam diamnya.               Namun tak pelak, kalimat Reino membangkitkan sesuatu yang berbeda bagi Zetta.             Sesaat kemudian, Zetta terkenang akan pengalaman janggalnya selama  tiga malam berturut-turut ini. Agak berbau mistis memang, dan diapun tak hendak menyangkalnya, dengan segala pemikiran logis yang dipunyainya serta yang diandalkannya selama ini.              Pasalnya, selama tiga malam terakhir ini, Zetta mendengar adanya suara dentingan piano, melantunkan nada yang demikian menyayat perasaaanya. Dentingan  yang seperti mewakili sebuah rintihan hati yang teramat disakiti. Mulanya, dentingan itu terdengar  pelan dan menghanyutkan, membawanya ke sebuah masa yang teramat asing.             Tetapi baru saja Zetta terbelit rasa bingung, dentingan pianopun segera berubah nyaring dan mengambil tempo demikian cepat, bak jeritan yang melengking. Selain terkejut oleh perubahan yang amat dinamis itu, telinga Zetta juga sampai pengang mendengarnya.             Dan yang pasti, susah untuk dipastikan dari mana gerangan asal suaranya. Entahkah bersumber dari kamarnya sendiri, ataukah terkirim dari ruangan lain. Yang Zetta tahu, suara itu terdengar amat dekat dengan telinganya, seolah-olah memang bermaksud menggedor gendang telinganya. Barangkali maksudnya lebih parah dari itu, yakni hendak memecahkan gendang telinganya. Alangkah ganjil. Sudah begitu, di beberapa bagian nada juga nyaris memancing air mata Zetta, mengiris-iris perasaan Zetta, tanpa dia diketahui secara pasti apa alasannya.                                                                                                                                                                           - Lucy Liestiyo -
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN