CHAPTER ENAM : Di Titik Nadir (1)

2321 Kata
             Di saat yang bersamaan, pada sebuah apartemen mungil di pusat kota…              Tangan Zetta Amelia Kusnandi bergetar kuat mendengar suara Azkia Azalea Kusnandi, adiknya yang terhubung dengannya melalui sambungan telepon… “Kak Ze, segera menyusul ke rumah sakit Sehat Sejahtera, ya. Sekarang, Kak. Ayah terkena serangan jantung! Kami dalam perjalanan menuju ke rumah sakit saat ini,” kata Azkia, di antara usahanya menekan isakannya.              Bak tersengat lebah, Zetta terperanjat mendengarnya. Tangan kanannya yang gemetar, menjatuhkan kunci mobil yang sedetik lalu refleks dijangkaunya.              “Hah? Kok bisa, sih, Kia? Apa yang terjadi pada Ayah?” tanya Zetta di puncak kepanikannya.              Sekian detik, tiada terdengar jawaban dari Azkia, selain isakan tertahan.             “Kia..,” panggil Zetta dengan perasaan tak menentu, membuat Azkia tergugah.              “Kak Ze..,” kata Azkia lemah.             Zetta mengembuskan napas sekuat mungkin dan bertanya, “Apa penyulutnya, Kia?”             Terdengar bunyi hidung yang sedang dibersit dari seberang sana. Pasti Azkia sang adik masih menangis dan disibukkan dengan cairan ingus yang terus mengalir dari luabg hidungnya.             Rasa resah, iba, cemas dan sesal berpadu di benak Zetta. Dia sudah tak sabar mendengarkan jawaban dari sang adik. Dia sudah ingin mendesak adiknya itu. Untung saja, suara Azkia terdengar kembali dari seberang sana.              “Kak Ze nggak nonton teve, memangnya? Atau minimal membaca berita online mengenai ibu Indriwati?” tanya Azkia, terheran.              Zetta mengernyitkan dahinya. Hari ini dia tidak hanya sibuk, tetapi perasaannya juga terbilang ‘random’. Sungguh tak mungkin baginya untuk sebentar mencuri waktu menelusuri situs berita online apalagi menonton teve.              “Bu Indriwati?” ucap Zetta pelan. Sesungguhnya dia sedang mengingat-ingat dan menerka sendirian, Bu Indriwati yang mana yang dimaksud oleh sang adik.              “Ya, Bu Indriwati, Kak Ze. Beliau mengalami kecelakaan lalu lintas, Kak, sewaktu mau menengok suaminya di tahanan. Beliau shock, begitu mendengar suaminya terkena operasi tangkap tangan kemarin malam. Dan akibat kecelakaan itu, Beliau meninggal di tempat, Kak,” sahut Azkia. Suaranya pilu, bercampur putus asa. Itu nyata sekali terkirim hingga ke telinga Zetta.              Jantung Zetta seakan berhenti berdetak, mendengarnya.              “Bu.. Indriwati? Beliau.., mengalami...,  kecelakaan lalu lintas? ” tanya Zetta tersendat dengan bibir bergetar, sembari memerangi rasa tidak percayanya. Di detik ini dia berharap, yang dimaksud oleh Azkia adalah ibu Indriwati yang lain, bukan ibu Indriwati yang ada di pikirannya sekarang.              ‘Tapi bagaimana mungkin itu ibu Indriwati yang lain, bukannya ibu Indriwati Sasongko? Memangnya ada berapa ibu Indriwati yang paling mungkin disebut oleh Azkia? Ada berapa banyak Bu Indriwati yang paling mungkin menjadi penyebab Ayah mengalami serangan jantung?’ pikir Zetta dalam gamang bercampur ngeri.              Seiring datangnya pemikiran ini, seketika badan Zetta terasa demikian lunglai. Tak tertahan lagi, tubuh padat berisi yang kerap membuat iri para rekan sejawatnya di kantor dan dijuluki body biola itu merosot, jatuh terduduk ke sofa, menghasilkan bunyi berdebam yang lumayan keras. Badannya melesak di sofa itu.              “It’s not a good day. It’s really not my day,” gumam designer berusia 26 tahun yang berparas manis itu, berulang kali. Seolah, dia sedang meratapi nasib malang yang menghantamnya bertubi-tubi sepanjang hari ini.              Dalam gempuran rasa sedih yang merundungnya, Zetta menggigit bibirnya. Gadis itu mengenang apa yang terjadi pagi ini, saat dia memasuki ruang kerjanya yang sudah nyaris menjadi rumah keduanya. Ruang kerja yang dirasanya amat menyatu dengan dirinya, dan memberikan banyak aura positif yang membangkitkan semangat. Bukan sekadar semangat kerja, namun juga semangat hidup.              Di ruang kerja yang nyaman itu, ide-ide briliannya mengalir deras bak air yang mengalir dari tempat tinggi menuju tempat yang lebih rendah, tanpa ada hambatan. Semua tertuang sempurna pada kertas kerjanya. Hasilnya luar biasa ciamik. Bukan hanya dari segi kuantitas, bahkan kualitas design yang dihasilkannyapun senantiasa mengundang pujian, baik dari pihak perusahaan tempatnya bekerja maupun para klien-nya.              Karenanya tidak perlu heran, bila Zetta sering kali lupa waktu makan maupun waktu pulang kerja apabila telah asyik berkutat dengan kertas kerjanya di ruangan tersebut. Sering kali bergeser terlalu banyak  dari tempat duduknya juga tidak dilakukannya.             Dan tiga hari penuh tidak berkantor di sana? Seperti halnya orang yang mempunyai ikatan batin, tentu saja terlintas kerinduan untuk segera ‘bertemu’. Ada sesuatu yang terasa tak lengkap, di samping perasaan asing yang merasukinya. Makanya, pagi tadi sebetulnya dia berencana menyerap nuansa keteduhan ruang kerjanya, andaikan tatapannya tak menangkap jelas sebuah undangan mewah di atas mejanya.              -          Kilas balik -             “Undangan itu sudah dikirim sejak tiga hari lalu, Mbak Zetta. Mbak Zetta ada rapat di luar kantor terus sih, jadi aku juga belum sempat kasih langsung ke Mbak Zetta. Tapi kalau aku lihat di sampulnya, masih beberapa hari ke depan kok. Makanya aku nggak buru-buru menyampaikan ke Mbak Zetta. Maaf,” terngiang olehnya perkataaan Irene yang entah sejak kapan telah berdiri di pintu ruangannya.             Barangkali, Irene telah cukup lama memergoki dirinya yang tengah menatap undangan yang tergeletak di atas meja kerjanya itu sehingga memutuskan untuk berhenti di depan ruang kerjanya. Mungkin juga Irene tak ingin disalahkan karena tidak segera menyampaikan kepada dirinya perihal undangan tersebut, karenanya merasa perlu menjelaskan kepadanya.              “Oh, iya, thanks ya Ren. Nggak masalah,” itu saja yang sanggup Zetta ucapkan beberapa menit lalu, semata agar Irene meninggalkannya.              Maka sesuai harapan Zetta, Irene memang mengangguk padanya lantas berlalu. Irene langsung menuju ke kubikel tempatnya bekerja sehari-hari, yang hanya berbatas lorong selebar satu setengah meter dengan ruangan kerja Zetta.             Sementara Zetta, masih saja terpaku di tempatnya, menatap obyek yang sama.              Sebuah undangan pernikahan.Tentu saja. Mana mungkin ada undangan ulang tahun dengan dua inisial yang digambarkan saling menjalin seperti dua ranting pohon begitu?             Dan cukup mengamati salah satu inisialnya saja, kecurigaan Zetta langsung mencuat, tidak terbendung lagi. Wajarlah, hari masih demikian pagi. Pikiran Zetta  juga tengah segar-segarnya, pada saat-saat macam ini, selagi dirinya belum disibukkan dengan sejumlah agenda yang harus dijalaninya sepanjang hari.              Ketika tangan Zetta bak tertuntun untuk membuka undangan itu dan mulai membaca deretan deretan huruf yang tercetak tinta berwarna emas, sulit disangkalnya, segumpal sesak, menyenak di dadanya. Sesak yang tak tahu diri itu segera menempati kavling di dadanya, enggan beranjak.             Undangan yang kini dipegang oleh Zetta tak lain adalah undangan pernikahan Destan, mantan kekasihnya. Bukan hal berat seandainya akhir kisah asmara mereka tidak menyakitkan. Yang menjadi masalah adalah, Destan si lelaki pengecut itu baru saja memutuskan hubungan asmara dengan Zetta sekitar satu setengah bulan lampau.              “Ah, belum satu setengah bulan, baru lima minggu bahkan,” Zetta setengah bergumam, terkenang alasan klise yang dikemukakan Destan kepadanya. Apalagi kalau bukan alasan ‘tidak ada kecocokan lagi?’. Alasan yang tentunya di-copy paste dari sekian banyak pasangan yang ogah memperjuangkan lebih gigih kelangsungan hubunganyang telah dijalani berdua.              Ya,  Destan menyebut ‘ketidakcocokan’ itu sebagai alasan paling utama, di samping mengeluhkan kendala waktu dan kesibukan mereka masing-masing, sebagai penghambat besar kelangsungan hubungan yang  mereka jalin.              Zetta mendengus kecil mengingat alasan Destan yang menyebut bahwa hubungan mereka takkan pernah ‘kemana-mana’. Melalui sebuah pesan teks super panjang yang ditujukan kepada dirinya, ketika itu Destan menegaskan kekecewaannya dan sekaligus menyudutkan Zetta, yang dikatakannya tidak pernah menunjukkan minat untuk terlibat secara langsung ke dalam bisnis keluarganya. Masih di dalam pesan teks itu pula, Destan membesar-besarkan masalah, berkata bahwa sikap Zetta itu amatlah menyinggung perasaan ibunya.              “Ibu marah, Ze. Ibu menganggap kamu nggak pernah menghargai beliau. Selama ini aku sudah sangat berusaha untuk tidak terlalu memusingkan pendapat beliau tentangmu. Seingatku, aku sudah memperjuangkanmu dan hubungan kita di depan ibu. Tapi kali ini aku yakin beliau benar. Kamu itu perempuan, Ze. Setinggi apapun karir kamu, sudah selayaknya kalau kamu menikah, ya ikut suami, mengurus usaha keluarga suaminya. Nah, bagaimana ibu nggak kecewa, kalau sampai sejauh ini saja, kamu belum menunjukkan minat untuk ambil bagian di dalamnya?” Destan menuliskan hal ini pada bagian kedua pesan teksnya kala itu.             “Maryono tunangannya adikku saja, yang laki-laki, bahkan sekarang sudah resmi mengurusi salah satu cabang perusahaan keluargaku. Kalau begini, aku jadi curiga sama kamu. Sebetulnya kamu itu serius nggak menjalin hubungan denganku? Atau bisa jadi, sebenarnya kamu itu lebih memilih karirmu, atau bahkan ada pria lain dalam hubungan kita? Kamu asyik sendiri, seperti nggak punya target kapan mau menikah saja. Ibuku sudah ingin menimang cucu, Ze. Dan aku ini putra satu-satunya fam Hartono. Umur aku juga sudah hampir mendekati pertengahan kepala tiga. Tapi ya sudahlah. Sebaiknya memang kita jalan masing-masing saja. Kita memang sudah nggak punya kesamaan visi misi, malahan mungkin nggak pernah ada. Mana bisa ada dua orang yang berjalan bersama, tapi arahnya berbeda? Nggak nyambung, Ze. Jadi lupakan semua yang sudah pernah kita jalani bersama. Aku melanjutkan hidupku, demikian juga kamu,” seperti itulah kalimat penutup yang dikirimkan oleh Destan melalui pesan teks.              Seperti mencari-cari kesalahan Zetta dan mengakumulasi semua kelemahan gadis itu, lancar nian Destan menyebutkan satu persatu, tanpa memberikan kesempatan bagi Zetta untuk sekadar mengoreksi pernyataannya. Dasar pengecut, segera setelah semua pesannya terkirim, Destan langsung memblokir semua nomor Zetta agar gadis itu, seseorng yang pernah menjadi bagian hidupnya dan mengisi hari-harinya, tak dapat lagi menghubungi dirinya. Dia juga tak mau menerima kedatangan Zetta yang berusaha menemuinya di kantor setelah itu. Sebab bagi Zetta, amat tak mungkin mencoba menemui Destan di rumah. Pasalnya, Cowok satu itu masih bertahan tinggal di rumah orang tuanya.              Padahal Zetta datang bukan untuk mengemis cinta atau berusaha memperbaiki hubungan mereka, namun dia sungguh ingin membersihkan namanya. Dia tidak rela dirinya dianggap memiliki ‘pria lain.’              “Terus sekarang, apa maksudnya mengirimkan undangan pernikahan dengan pacar barunya begini? Memakai warna hijau muda, pula, warna favoritku, yang selalu kami canangkan sebagai warna undangan pernikahan kami, bila saatnya tiba. Belum cukupkah, menyakiti hatiku, merendahkanku dengan mengakhiri hubungan hanya lewat pesan teks? Caanya mengakhiri hubungan kami sungguh membuatku merasa nggak cukup berharga dan layak untuk dipertahankan. Konyolnya, pernikahannya nggak sampai dua bulan setelah Destan memutuskanku. Ini jelas penegasan, keduanya telah menjalin hubungan jauh sebelumnya, tepatnya saat Destan masih denganku,” dalam galau yang menghampirinya, Zetta setengah bergumam.              Matanya nyaris berkaca-kaca, mengamati tanggal pernikahan yang masih empat hari ke depan. Namun dengan kasar, Zetta menggelengkan kepalanya kuat-kuat, menegaskan dalam hati, bahwa pengkhianat semacam Destan tak pantas mendapatkan setetespun air mata kesedihannya.              “Nggak. Sudah cukup kamu merendahkanku. Justru ini semakin membuka mataku, kamu itu nggak layak buatku,” kata Zetta lirih.             -          Akhir dari kilas balik -              Rasa sesak kian memenuhi benak Zetta, membuatnya belum sanggup menyahuti sang adik. Diamnya malah membuatnya terkenang pula pada apa yang menimpa dirinya tadi siang, ketika memenuhi panggilan dari Bu Winarsih Aleyzha, kepala divisi personalia.              Siang tadi, di dalam ruangan Bu Winarsih yang sejatinya nyaman dan senantiasa sejuk itu, dia diberitahu keputusan perusahan berupa penolakan atas keberatannya. Beberapa waktu lalu Zetta memang mngajukan agar dirinya tidak dirotasi ke cabang baru di luar kota.              Tadi itu melalui Bu Winarsih, pihak perusahaan menegaskan, keberadaan Zetta mutlak diperlukan di sana. Sebagai cabang baru, banyak yang harus ditata, dikerjakan, juga ditingkatkan, demi memastikan sejumlah dana yang telah digelontorkan sebagai investasi, tidaklah berujung sia-sia. Sedangkan di kantor pusat, bisa dikatakan semua telah berjalan baik, on the track.              Di penghujung pembicaraan tadi siang, Bu Winarsih meminta Zetta agar mempertimbangkan ulang tawaran kompensasi dan benefit yang rupanya telah ditingkatkan tiga puluh lima persen lebih tinggi ketimbang penawaran semula, saat pertama kalinya posisi tersebut ditawarkan kepadanya.               Zetta ingat, dia langsung disergap kebimbangan, merasa terjebak di posisi sulit. Kebimbangan yang dibawanya hingga pulang ke apartemennya sore ini. Bukan dia tak menyukai tantangan. Bukan pula hanya sekadar alasan melodrama keengganannya berpisah dengan ruangan kerjanya. Apalagi, kompensasi dan benefitnya termasuk menggiurkan.              Sungguh dilema yang berat! Bila menyetujui keputusan perusahaan, artinya dia sama sekali takkan dapat membantu memonitor usaha Ayahnya, sebagaimana yang selama ini dilakukannya di sela kepadatan kerjanya. Sementara apabila tetap mempertahankan keberatannya, tentu harus secepatnya mengajukan pengunduran diri, sehingga perusahaan mempunyai waktu cukup untuk mencari pengganti dirinya. Ini jelas bukan hal sederhana buatnya, mengingat pendapatan dan fasilitas yang didapatnya kini sangat baik. Peningkatan jenjang karirpun masih terbentang luas baginya.              “Belum cukupkah semua yang terjadi dari pagi sampai sekarang?” keluhan Zetta lirih, nyaris menyerupai sebuah bisikan. Zetta tidak pernah menyangka, bahkan sampai di penghujung sore ini, rupanya semua ujian itu masih saja berlanjut. Padahal, dia baru lima belas menit berada di apartemennya, membawa sejumlah gundah yang menuntut diurainya satu demi satu.              Apa daya, jika diumpamakan dirinya adalah seorang yang bertarung dengan sebuah kekuatan yang tidak terlihat oleh mata, dia sudah kalah secara telak. Dirinya tertinggal jauh dari segi  kecepatan maupun kekuatan. Sebelum Zetta memiliki waktu yang cukup untuk sekadar mendinginkan kepala serta sedikit menentramkan hatinya dengan memberikan sedikit relaksasi pada tubuhnya melalui niat untuk berendam di bath tub, kabar buruk lain sudah keburu datang menyapa dirinya.                                                                                                                                                                      - Lucy Liestiyo -
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN