CHAPTER DUA PULUH DUA : Rasa Itu Sesungguhnya Ada. Tepatkah Momennya?

2193 Kata
            Fritz mengangguk puas mendengar komentar dari Zetta.              “Kalau seragam wanitanya, bagaimana, Pak?” tanya Zetta ringan.              Walau tengah membicarakan urusan pekerjaan, tak urung Fritz terpancing menatap dalam-dalam paras Zetta. Jelas ia bukan sekadar mengagumi semua rincian keindahan yang ada di sana. Lebih dari itu, Fritz juga salut akan kecerdasan dan buah pikir gadis di hadapannya. Dengan mencemati Zetta sedekat ini, membuat pikirannya meraba-raba dalam diam, seberapa besar peluangnya mendekati Zetta secara pribadi, bukan sekadar menjalin hubungan kerjasama.              Ekspresi serius yang didapatinya pada wajah Zetta, tak serta merta menyurutkan rasa sukanya yang kembali bersemi. Rasa yang pernah muncul namun terabaikan lantaran berbagai kesibukannya serta tiadanya peluang mereka bertemu. Tak dinyana, rasa itu membuncah bebas, detik ini.              ‘Kamu begitu fokus, Zetta. Tapi aku yakin, suatu saat aku pasti bisa membuatmu membuka hati untukku. Dan sejak malam ini, aku pantang kehilangan komunikasi lagi denganmu. Aku pastikan itu,’  pikir Fritz kemudian.               “Eng.., maaf, soal seragam wanitanya, kira-kira ada penyesuaian apa Pak?” tanya Zetta, membuyarkan keterdiaman Fritz.              “Ya, Zetta? Eng.. kok pakai ‘Pak’ segala, sih. Aku belum Bapak-bapak kok. Panggil nama saja, boleh kan?” ucap Fritz spontan.              Semburat merah mewarnai paras Zetta mendengarnya. Wajahnya terasa panas.             ‘Shamed on you, Zetta. Calon prospek sampai mengingatkan dua kali, minta dipanggil dengan nama saja,’ cerca Zetta kepada dirinya sendiri. Tentu saja dalam hati.              “Maaf,” ucap Zetta dengan lidah yang mendadak kelu tanpa dimauinya.             ‘Sial,’ rutuk Zetta dalam hati, menyesali rasa grogi yang menyerangnya.              Fritz tersenyum maklum dan mengibaskan tangannya.             “It’s ok. Namanya juga lama nggak ketemu, jadi agak canggung, ya. Oke, kita balik ngomongin soal sketsa, ya. Tadi mau tanya apa, Zetta?” Fritz buru-buru mengambil alih situasi.              Zetta tersenyum tipis. Lagi-lagi dia kesulitan berkata-kata.             ‘Nggak cerdas banget kamu hari ini Zetta! Kalau order sampai melayang cuma gara-gara Fritz menganggap kamu nggak percaya diri, sungguh memalukan!’ kembali Zetta mengomeli dirinya sendiri dalam diam.              Beruntung, Fritz kembali berusaha memegang kendali atas situasi.             Sesaat tatap mata mereka saling tertaut. Fritz terbelit pesona dahsyat di depan matanya.              “Hm, ya. Ok, mengenai t-shirt nggak ada masalah, kan? Sekarang seragam karyawati, ya?” tanya Fritz. Betul dia sedikit tergeragap untuk sesuatu yang sulit diterjemahkannya, namun segera mampu mengatasi keterkejutannya.             Dia senang campur lega, melihat Zetta mengangguk.              “Good. Aku mau bentuk manset blus seragam wanitanya sedikit melebar di ujungnya. Sekitar satu setengah senti dari ukuran pengajuan semula. Sedangkan warna kancingnya coba kasih yang lebih terang, supaya lebih eye catching. Lalu, ada pelapis di bagian luar sehingga kancing kemeja nggak terlihat. Itu saja. Oh, satu lagi. Ini penting.  krahnya cukup satu, nggak perlu dobel begini. Material yang dipakai sama persis dengan spesifikasi,” pinta Fritz lancar. Sepertinya dia benar-benar sudah menguasai keadaan sepenuhnya.              Zetta manggut-manggut, dia menuliskan serta mencoretkan semua keterangan itu pada sketsa yang ada di tangannya.              ‘Fritz ini orangnya cukup detail. Pasti dulu ke Ayahpun dia begini,’ kata Zetta dalam hati.             Begitu Zeta selesai menulis keterangan Fritz, Fritz melanjutkan pokok bahasan.              “Nah, terakhir. Seragam pria, nggak ada perubahan sama sekali. Sudah pas, sesuai kebutuhan,” ucap Fritz kala Zetta menyorongkan sketsa lainnya.             Tak terhindarkan, jemari mereka saling bersentuhan, menghasilkan degupan di d**a mereka, lebih kencang dari biasanya. Zetta menyunggingkan senyum, berusaha bersikap sewajarnya.              “Sorry,” kata Fritz cepat.             “Nggak apa,” sekali lagi Zetta tersenyum tipis, menimpali Fritz.              “Baik, secepatnya saya susulkan perubahannya. Sebaiknya dikirim ke kantor, atau..?” tanya Zetta, meminta pertimbangan.              “Nggak perlu. Boleh ditanda tangani di sini saja?” tak menunggu persetujuan, Fritz langsung membubuhkan tandatangannya pada semua copy sketsa yang barusan ditambahi keterangan oleh Zetta.              Tentu saja Zetta takjub dibuatnya.             Tanpa pikir panjang, segera dia melakukan hal serupa, menandatangai ketiga sketsa hasil karyanya, kemudian memotretnya satu demi satu menggunakan aplikasi cam scanner.             Fritz terpana melihat kegesitan Zetta.              ‘Dia cerdas. Juga cekatan. Benar-benar duplikasi sempurna dari Ayahnya. Nggak terbayangkan kalau dia sepenuhnya terjun membantu usaha Pak Irawan waktu itu. Entah sebesar apa usaha mereka jadinya dulu itu,’ batin Fritz kagum.              “Last but not least. Kalau sekiranya ada penyesuaian harga, di-email saja. Aku paham, perubahan tadi pasti berefek ke harga. Yang jelas, design-nya sudah oke,” kata Fritz, jelas terkesan ingin mempermudah urusan.              Zettapun menangkap isyarat itu. Dan bergegas memanfaatkannya sebaik mungkin.             “Boleh saya cek file saya sebentar? Silakan Pak Diaz sambil menikmati kopi dan kuenya,” pinta Zetta. Tanpa disadarinya, dia telah melakukan kesalahan lagi, menyebut ‘Pak.’              Tetapi kali ini Fritz tidak segera menegur gadis itu.             Hati Fritz justru tergelitik. Ia merasa geli, menangkap alangkah lucunya Zetta memangginya ‘Pak Diaz’.             Fritzpun mengulum senyum lantas berkata, “Diaz saja. Atau Fritz, kalau memang agak canggung memanggilku Diaz. Oke, silakan. Kamu mirip benar sama  Ayahmu, gerak cepat. I like it. Cekatan, teliti, pantang mengulur waktu.”             Zeta tersipu.             “Oh sorry. Diaz, eng.. Fritz, maksudnya. Oke, saya mau cek kancing mansetnya saja, apakah kami punya stok yang sesuai,” sahut Zetta.             Lekas Zetta membuka salah satu folder di laptopnya. Lalu, ia menghubungi Ajeng melalui pesan teks, menanyakan apakah mereka memiliki stok kancing yang dimaksudnya Sesuai harapannya, jawabannya positif.              Ada sedikit gerakan halus di sudut bibir Fritz, seperti berusaha menahan senyumnya, agar tak kentara. Disadarinya, masih terbersit kecanggungan dalam suara Zetta barusan. Sesuatu yang dinilainya kontradiktif dengan segala nilai plus yang dimiliki gadis itu.             ‘Itu membuatnya sungguh manusiawi. Membuktikan dia bukan robot tanpa perasaan,’ pikir Fritz.              “Mau dikirimkan contoh kancingnya, Ef..Diaz?” tanya Zetta, yang sepertinya agak rikuh menyapa lawan bicaranya tanpa embel-embel ‘Pak’. Fritz yang semula asyik memerhatikannya, sedikit tersentak.              “Oh. Boleh. Kalian sekarang pakai workshop di mana? Ambarwati bilang, nomor telepon outlet ILZA, nggak bisa dihubungi,” kata Fritz.              Zetta tertegun beberapa saat mendengar pertanyaan sekaligus pernyataan dari Fritz.             Serta merta, kebimbangan mengintimidasi pikirannya. Tidak mungkin baginya, membeberkan fakta bahwa saat ini mereka hanya mengontrak rumah. Dia khawatir, hal itu dapat memengaruhi image terhadap penawarannya, dan membuat Fritz meragukan hasil kerja mereka kelak. Akibatnya, peluang order penting terancam batal, padahal sudah terukur perkiraan pencairan pembayarannya. Bukan sekadar memproduksi  stok untuk penjualan retail, yang belum dapat diperkirakan kepastian perputaran uangnya.              Zetta mengkalkulasi dalam diamnya.             ‘Sebagai perusahaan baru, nilai kontrak PT Layar Perak ini terbilang lumayan. Tak heran, sebab, pegawainya sendiri mencapai hampir seratus orang. Dan Fritz memesan tiga kali lipat jumlah pegawainya, barangkali untuk berganti-ganti ataupun sebagai stok. Order pertamanya ini terbilang baik, 320 potong seragam formal! Itupun, masih ditambah 40 t-shirt lagi. Ukurannya standard, S, M, L dan XL saja, bukan customized. Kurang luar biasa apa coba?’ pikir Zetta.              Zetta bimbang, bila Fritz melihat jumlah mesin jahit yang berhasil diselamatkan tidak lebih dari 21 unit, masih mungkinkah Fritz memberi order-order berikutnya?              “Anyway, ini request dariku. Kalau nggak keberatan, panggilnya Fritz saja, ya, lebih enak di telinga,” tambah Fritz ringan.              “Oke,” ucap Zetta, memantapkannya dengan anggukan kepalanya. Kalau mau jujur, dirinyapun lebih nyaman dan terbiasa memanggil ‘Fritz’, ketimbang melafalkan nama Diaz. Agak aneh saja.              “Zetta, kamu ada janji lain nggak setelah ini? Atau, bisa sekalian kita selesaikan? Supaya nggak tertunda. Ya, semoga, pengadaan seragam terselesaikan dalam sebulan. Sanggup, kan? Dengan begitu, para staf di kantor nggak perlu memakai lagi seragam yang sekarang,” ujar Fritz, sedikit mendesak.              Zetta menangkap peluang besar, seiring sebuah rasa takut. Takut order ini terlewat begitu saja. Sementara jauh di lubuk hati Fritz, secercah keinginan terpendamnya untuk mendekati Zetta secara pribadi, dibiarkannya berbunga, melalui kerja sama ini.              Zettapun menimbang sejenak. Sebuah pemikiran hinggap di kepalanya. Ia yakin, apapun tanggapan Fritz setelah thu kebenaran yang akan diungkapnya, pilihan berterus terang kepada Fritz sepertinya lebih baik. Toh, kondisi mesin jahitnya layak pakai semua. Dan jangka waktu sebulan tampak dapat dipenuhinya.               Zetta berani memastikan, Ajeng bisa langsung menghubungi para operator jahit Ayahnya dulu. Dia sudah berpikir akan fokus penuh di pembuatan pola dan membantu memotong sesempatnya, ibunya dapat membantu sedikit-sedikit, terutama mengecek hasil akhir penjahitan. Berhubung ini order pertama, Zetta merencanakan mengurangi agenda kunjungan ataupun waktu yang dicurahkan untuk membuat sketsa lain, supaya bisa berkonsentrasi penuh.             Demi order perdana ini, Zetta juga telah memikirkan hal lain. Pikirnya, mungkin Azkia terpaksa mengurus penjualan daring seorang diri sementara waktu. Pasalnya setahu Zetta, bidang usaha Fritz dan Ayahnya termasuk banyak. Artinya, kalau mereka puas dengan hasil kerjanya, pasti mereka takkan ragu memakai jasanya lagi. Terlebih, menurut hitungannya, semestinya empat hingga lima bulan ke depan, mereka sudah mulai memesan seragam baru.              “Maaf, kalau terdengar mendesak. Lusa, aku ada jadwal business trip ke Perth dua minggu lamanya. Karenanya, sebelum berangkat, harapannya sih, urusan ini beres. Sehingga tiga minggu mendatang, sudah terlihat progress yang baik, dari hasil produksinya,” jelas Fritz, berusaha mengurangi kemungkinan salah paham.              Penjelasan Fritz membuat Zetta bagai terlecut kesadarannya.              ‘Come on Zetta! Order ini sudah 70% di tanganmu! Beranikan dirimu! Cepat hubungi Ajeng dan Azkia untuk mengesankan agar halaman belakang itu layak di-survey calon pemberi order. Dan memperbaiki display di pavilion. Ayo, masih ada waktu! Now or never! suruh sebuah suara dalam hatinya.             Zetta berdeham kecil.             “Eng… begini Fritz. Sebenarnya, berhubung kejadian yang menimpa kami berlangsung cepat dan mendadak, kami belum mendapatkan tempat baru untuk workshop, apalagi outlet. Sementara, kami memakai sebuah rumah. Tetapi jangan khawatir. Halamannya amat memadai untuk bekerja, kok. Pavilion rumahpun, memenuhi syarat untuk men-display barang retail,” kata Zetta akhirnya, usai mengumpulkan rasa percaya dirinya.              Laki-laki perlente di depannya tersenyum.             “Oke. Bukan perkara tempat. Yang penting hasil kerjanya. Jadi, bisa kita tuntaskan sekalian?” tanya Fritz.               “Maksudnya bagaiman Fritz?” Zetta sadar, pertanyaannya ini sungguh bodoh.              “Kasih lihat langsung model kancingnya malam ini. Sebab, besok jadwalku padat, dan  nggak mungkin kupercayakan detail yang kuubah untuk diputuskan stafku. Maklum, ini perusahaan baru,” tandas Fritz.              Zetta takjub mendengarnya. Kini dia paham, Fritz ini bukannya agresif,  melainkan memang type orang yang pantang untuk membuang waktu. Dan sebagai pemilik dari perusahaan yang terbilang baru, wajarlah bika dia menempatkan dirinya sebagai pengambil keputusan akhir. Maka, Zetta memantapkan hati menjawab.              “Boleh. Biar adik saya yang mengantarnya kemari,” Zetta masih berusaha berkelit, mencari akal agar Fritz tak berpikir untuk meninjau tempat tinggalnya. Masih ada sisa kebimbangan yang mengombang-ambingkan rasa percaya diri yang susah payah dibangunnya tadi.              Fritz menyesap habis kopi di cangkirnya, sebelum ia memasukkan potongan terakhir kuenya ke mulut dan mengunyahnya dengan agak tergesa.              Lalu katanya seusai menelan kuenya, “Terlalu lama Ze. Lebih baik, kamu habiskan kopi dan kuemu. Kita berangkat sekarang. Dengan begitu, mungkin aku bisa melihat model kemeja kerja yang lain. Sebagai referensi seragam bagi bidang usaha lainnya. Nggak keberatan, kan?”              Untuk kedua kalinya Zetta tertegun.              ‘What? Malam ini juga? Nggak terhindarkan lagi? Apa tadi katanya? Bidang usaha yang lain? Yes! Ini peluangku! Harus dihadapi! Apa peduliku, kalau order inipun batal hanya karena Fritz memandang rendah area yang kutunjukkan? Yang penting, aku telah berusaha. Dari pada order ini melayang hanya karena aku terlalu lambat mengambil keputusan? Bisa-bisa dia berikan pada yang lain! Lebih baik bertarung dengan resiko bisa kalah dan bisa menang, ketimbang hanya berdiam diri dan menjadi orang yang mengundurkan diri dari pertarungan,’ tekad  Zetta dalam hati, sekali lagi.              Berpikir begitu, Zettapun mengangguk mantap dan mengikuti saran Fritz. Dia masih sedikit terlarut dalam suasana hati yang asing, saat Fritz sudah terlebih dahulu membayar pesanan mereka.             Zetta hanya dapat mengucapkan terima kasih karena dia tahu, percuma saja untuk mencegah Fritz. Lantas demi efisiensi waktu, Zetta bergegas memasukkan map berisi sketsa ke tasnya, siap meninggalkan café.              Sadar bahwa dirinya bukan dalam kondisi memungkinkan untuk merespons saat ini, Zetta lekas menepis perasaan asing yang mengusiknya. Oh tidak, Zetta paham benar, itu sama sekali bukan perasaan asing. Dia teramat mengenal jenis perasaan yang satu itu. Dia pernah mereguk dan menikmati perasaan macam itu dengan..??!!              Zetta buru-buru menepis bayangan wajah seseorang dari masa lalunya yang seenaknya hendak mengusik lagi kententraman di hatinya.                                                                                                                                                                           - Lucy Liestiyo -
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN