Pak Ali mulai gelisah lagi cemas.
Masih lumayan mujur baginya, sebab Pak Tody tidak merespons gumaman lirihnya tadi. Entahkah lantaran kurang mendengarnya dengan jelas atau memang tak mau ambil pusing. Bisa-bisa disangka Pak Ali mulai terganggu kewarasannya, kan? Ngomong sendiri, menggerutu sendiri begitu.
Pak Ali menatap Faisal dan Pak Tody secara bergantian. Bisa jadi, dia merasa dirinya tengah berada dalam reality show ‘uji nyali’ saat ini dan dia tengah memantapkan hati, memutuskan untuk mengangkat tangan, melambaikannya ke arah kamera. Menyerah bulat-bulat.
“Aku bilangin ke Mas Fasisal supaya agak cepat deh,” kata Pak Ali akhirnya.
“Sabar dong, Pak Ali. Sebentar lagi deh,” kali ini Pak Tody menyahut.
Suara sang pengemudi truk itu datar saja, namun sanggup menyurutkan niat pak Ali.
Baik Pak Ali maupun Pak Tody tidak tahu, di dalam diamnya Faisal sedang membayangkan lapangan warga yang berbatasan langsung dengan tembok halaman belakang rumah. Letak yang menguntungkan, sebab Faisal dan kawan-kawannya tidak akan mengganggu warga sekitar selagi berlatih band.
Namun begitu, toh demi mempertimbangkan etika, Pak Yanuar secara khusus menyempatkan menemui Pak Shendy, ketua rukun tetangga yang rumahnya tepat bersebelahan dengan dua kavling kosong itu, sebelum mereka menempati rumah tersebut. Tujuannya jelas, yaitu meminta ijin dan memberitahukan bahwa Faisal beserta teman-temannya akan rutin berlatih, seminggu dua kali di siang hari. Faisat ingat, saat itu Pak Shendy meluluskannya, tentunya setelah menanyakan pendapat pada warga terdekat.
Terkenang di bagian ini, Faisal menggoyangkan kepala kuat-kuat, seolah hendak menghalau kenangan yang membelitnya demikian kuat, hingga berpotensi menyesakkan dadanya.
“Benar apa kata orang. Nggak ada yang abadi, di dunia ini. Semua keceriaan itu nggak berlangsung lama. Belum genap dua bulan menempati rumah berpekarangan luas ini, mendadak Ayah mengalami perlakuan nggak adil di tempat kerjanya, difitnah secara keji oleh sekelompok pembencinya. Orang-orang yang telah begitu lama mengincar kelengahan Ayah, seperti halnya harimau yang kelaparan,” gumam Faisa sedih, teringat konspirasi para pembenci ayahnya yang membuat semua bukti kegagalan proyek yang ditangani oleh Pak Yanuar, mengarah kepada sang ayah.
Dan lebih jahatnya lagi, para pembenci sang ayah membuat kesan serta sejumlah kesaksian, yang memberikan kesan seakan Pak Yanuar telah menyelewengkan anggaran proyek yang dipercayakan kepadanya. Sungguh persekongkolan yang keji dan bisa jadi telah direncanakan jauh-jauh hari sebelumnya.
Ada yang aneh. Dalam keadaan macam itu, tidak ada satu pun rekan pak Yanuar yang membelanya. Semua seolah mencari selamat sendiri dan menjauhi Pak Yanuar, seperti menjauhi jamur beracun yang aromanya saja dapat membuat nyawa mereka melayang dalam sekejap.
Akibatnya segera dirasakan oleh Pak Yanuar. Jabatan Pak Yanuar di perusahaan diturunkan, sebab perusahaan tempatnya berkarya sangat tidak mungkin untuk memecatnya. Prestasi dan jasa ayah dua anak itu di perusahaan, menjadi pertimbangan besar, kala itu. Tetapi sudah barang tentu, penurunan jabatannya diiringi dengan pendapatan dan fasilitas yang menurun drastis pula.
Seperti mengenang sesuatu yang menguras habis emosinya, Faisal sebelah tangan berpegangan pada sisi pagar.
Terbayang di mata Faisal bagaimana ibunya berusaha keras mengatur keuangan yang segera kedodoran, agar tak terus menggerogoti tabungan yang tersisa. Tapi apa daya, tak jua terkejar. Dan melihat bagaimana istrinya berusaha menyelamatkan keuangan rumah tangga mereka, Pak Yanuar juga tidak tinggal diam. Saat itu Pak Yanuar langsung berusaha mencari pendapatan sampingan. Celakanya, pilihannya menaruh sejumlah dana melalui investasi yang ditawarkan salah satu kenalan lamanya yang bertemu secara tidak sengaja, berujung munculnya masalah baru. Pak Yanuar malahan tertipu.
‘Rupanya, pikiran Ayah yang tengah kalut ditambah lagi dengan situasi keuangan keluarga kami yang mendesak, membuat Ayah kurang mencari informasi akurat, apalagi mempertimbangkan masak-masak segala perhitungan untung-ruginya. Dan fiuuh...! Akibatnya, sejumlah uang simpanan Ayahpun lenyap dalam investasi bodong itu,’ batin Faisal sedih.
Faisal sungguh paham bagaimana kecewa dan marahnya ayahnya, begitu tahu bahwa kenalan lamanya bertindak seenaknya. Tanpa tanda, tanpa pesan sang kenalan langsung membawa lari semua uang hasil menipu banyak orang. Dalam sekejap keberadaan sang kenalan lama sulit dilacak, bak ditelan bumi saja.
Itulah yang menjadi penyulut awal mengapa Pak Yanuar terserang penyakit stroke. Dan kondisi kesehatan ayah kandung Faisal itu lekas memburuk, kian parah dari hari ke hari.
“Mas Faisal, apakah ada yang kelupaan? Barang yang belum terbawa, lampu yang belum dimatikan atau apa begitu?” tanya Pak Ali kemudian.
Rupanya, kernet truk sewaan itu dilanda kebingungan lantaran dirinya mendapati Faisal masih saja terpaku diam. Sementara Pak Ali sendiri seolah berperang dengan keresahan yang mendadak menggayuti benaknya. Intinya, dia tidak nyaman. Merasa ada sepasang mata yang mengawasinya, menyuruhnya bergegas pergi meninggalkan rumah itu.
Terlebih, barusan pak Tody memberi kode padanya.
Mungkin menurut Pak Tody, baik dirinya maupun Pak Ali telah memberi waktu yang cukup bagi Faisal untuk mengingat-ingat, apakah semua barang telah terangkut di bak belakang truk. Dan terlintas pula di benak Pak Tody, dia telah memberi kesempatan kepada Faisal untuk bernostalgia, sekiranya harus, demi alasan sentimentil seseorang yang hendak meninggalkan sebuah tempat yang pernah ditempatinya. Kalau pekerjaannya di sini telah selesai, mestinya dia dan pak Ali kan bisa menjemput rejeki di tempat lain atau beristirahat.
Sejurus kemudian, kebingungan Pak Ali berubah menjadi sebuah rasa penasaran, melihat Faisal seolah tengah melamun.
'Mas Faisal ini kenapa ya? Kok aku jadi kasihan melihat dia murung begitu,’ pikir Pak Ali yang disapa rasa prihatin.
“Mas Faisal, apakah semua baik-baik saja?” tanya Pak Ali.
Kali ini sengaja dia menaikkan volume suaranya, lebih keras dari yang sebelumnya.
Terlihat tangan Pak Ali sudah terangkat, siap untuk menepuk pundak Faisal. Itu merupakan antisipasi Pak Ali seandainya pertanyaannya tak kunjung ditanggapi sebagaimana tadi. Beruntung, dia tidak perlu susah-susah melakukan hal tersebut.
Terusik pertanyaan yang entah sudah keberapa kalinya ini, Faisalpun menoleh ke asal suaran. Ia menyembunyikan kemurungan yang sejatinya demikian nyata terbayang di wajahnya.
Faisal menghela napas panjang, menahannya sekian detik sebelum mengembuskannya secara amat perlahan. Pemuda itu tampaknya sudah mulai menguasai pikirannya serta menekan semua gejolak perasaannya. Ia mencoba keras untuk bersikap sewajar mungkin.
“Sudah beres semua, Pak Ali. Semua pintu sudah saya kunci termasuk pintu belakang. Saklar listrik sudah saya turunkan, kran air juga telah saya matikan semua. Malah saya kunci dari dari depan. Nggak ada barang yang tertinggal,” terang Faisal demikian terperinci, tak ubahnya seseorang yang tengah mengingatkan dirinya sendiri.
Mendengar jawaban lengkap Faisal, sang kernet mengangguk-angguk. Ada sedikit kelegaan yang menyapanya.
“Aaah, akhirnya berangkat juga,” gumam Pak Ali lirih, menyerupai sebuah bisikan penuh rasa syukur, karena harapannya terkabul.
“Silakan, Mas Faisal,” Ali menunjuk pintu kiri truk dengan sopan.
Pak Ali mempersilakan agar Faisal segera naik, dan menempati jok depan, di samping pak Tody Dia sendiri kembali bergerak ke arah belakang truk. Kemudian dengan kelincahan serupa tadi, Ali menumpukan kaki pada ban truk, menaiki dan menempati bak truk. Ia berniat menjaga barang-barang yang ada di sana. Tindakan antisipasi yang biasa dilakukannya setiap kali mendapatkan ‘order’ pindahan.
Faisal mengangguki Pak Ali dan membuka pintu samping truk. Dia duduk di samping pak Tody. Seraya mengunci pintu samping truk, Faisal menatap rumah itu sekali lagi. Rumah yang menjadi tempat tinggal keluarganya selama setengah tahun terakhir ini. Tanpa sepengetahuannya, Pak Tody yang tidak sekejappun mematikan mesin mobil dari tadi, memergoki tindakannya.
“Kita berangkat sekarang, Mas Faisal?” tanya Pak Tody sang supir, seolah bukan saja hendak meminta konfirmasi dari Faisal, akan tetapi sekaligus meyakinkan pemuda itu. Jauh di lubuk hati supir truk ini, selintas perasaan miris membersit, menyaksikan kemurungan yang mewarnai raut muka Faisal.
Faisal mengangguk samar, selagi dirinya sendiri sibuk mengusir selaksa kenangan yang kembali menari-nari genit di pelupuk matanya. Kenangan sewaktu mereka sekeluarga masuk kemari. Tak lain saat keluarganya harus menyewa dua buah truk, masing-masing harus dua kali bolak-balik pula, saking banyaknya bawaan mereka.
Ketika itu, sebagian tanaman koleksi sang ibu terpaksa diangkut memakai mobil bak terbuka. Pak Yanuar, Bu Meiske dan Afifah membawa barang pecah becah serta barang-barang kecil memakai kendaraan inventaris yang sehari-hari dipergunakan menunjang kegiatan operasional Pak Yanuar di perusahaan tempatnya bekerja. Sementara Faisal, mengendarai mobil yang dibelikan oleh Pak Yanuar, mengangkut barang lainnya yang tersisa, termasuk koper-koper berisi pakaian yang belum sempat terangkut.
‘Tapi sekarang? Cukup dua kali angkut, bisa dibilang rumah sudah kosong melompong. Yang tertinggal hanyalah sejumlah furnitur kepunyaan pemilik rumah. Semuanya teronggok merana di gudang yang berada antara halaman belakang dan dapur. Mobil inventaris yang biasa digunakan Ayah langsung ditarik kembali sama perusahaan, nggak lama setelah Ayah mulai keluar masuk rumah sakit. Ya karena mereka tahu, tampaknya Ayah juga bakalan lama nggak bisa ngantor,’ batin Faisal sedih.
Lain dulu lain sekarang. Kini mobil yang biasa dipakainya juga harus disiagakan dekat rumah sakit dan diurus oleh Afifah sang adik. Seluruh peralatan band miliknya hanya tinggal kenangan. Semuanya terpaksa dijual, bersama sejumlah perhiasan, koleksi tas bermerk miliknya Bu Meiske, juga barang berharga lain yang mereka miliki.
Faisal menarik napas panjang dan mengembuskannya dengan berat, hingga Pak Tody mengerling padanya, seiring terbitnya rasa iba, meski tak tahu pasti apa saja yang telah menimpa keluarga Faisal. Kenal secara pribadi juga tidak. Dia kan hanya mendapatkan orderan untuk mengangkut barang saja. Sudah menjadi tugasnya untuk melayani sang pemberi order dengan baik, bukan?
‘Pindah rumah kok begini sedihnya?’ itu saja yang terpikir oleh Pak Tody, namun tiada hasratnya untuk bertanya, demi menjaga perasaan dan privasi Faisal. Dia toh, sadar posisinya sebagai supir truk yang menerima orderan mengangkut barang dan menerima p********n setelahnya. Sudah, itu saja. Bukan untuk mengorek-ngorek dan mencari tahu apa yang telah terjadi dengan orang yang memberinya order, kan? Andaipun tahu, belum tentu dia dapat membantu mengurangi beban kesedihan Faisal, kan?
Sejatinya, apa yang menimpa keluarga Faisal, seperti berlangsung tiba-tiba. Masing-masing serba tidak tercegah, beruntun dan susah untuk dipercaya. Semuanya berubah teramat cepat dan membawa berbagai dampak buruk. Seperti badai kehidupan yang sambung-manyambung dalam kehidupan keluarganya Faisal. Satu belum tertangani, sudah datang pula masalah baru. Karena itu pula, sebagai antisipasi atas kemungkinan keadaan yang tak menentu ke depannya, saat ini rumah milik mereka yang ada di pinggiran kotapun, tengah ditawarkan. Hal itu terpaksa dilakukan demi mengamankan biaya hidup selanjutnya.
Truk baru akan bergerak, melewati dua buah kavling kosong, tepat di sisi rumah berpagar rendah, tatkala Faisal mendadak teringat sesuatu.
- Lucy Liestiyo -