CHAPTER TUJUH BELAS : Rangkaian Misteri Berikutnya (1)

2645 Kata
               Zetta menganggukkan kepala dengan sopan, lalu segera mengulurkan tangannya.                “Selamat sore Bu, perkenalkan, nama saya Zetta,” ucap Zetta santun.                “Selamat sore Zetta, saya Sabrina,” balas bu Sabrina sambil menjabat tangan Zetta yang terulur kepadanya.                “Oh ya Nak Natasya, apa kabarnya Nak Taufan dan anak-anak kalian? Sehat semua?” tanya bu Sabrina kemudian.                 “Semuanya baik,” jawab Natasya singkat. Kontras sekali.                Ucapan Natasya tidak serinci saat berkisah pada Zetta tadi. Zetta mendapatkan kesan bahwa hubungan mereka berjarak. Padahal Zetta ingat, salah satu alasan Natasya mendesaknya segeramemutuskan untukmengontrak rumah tadi adalah kondisi kesehatan orang tua serta suaminya.                 'Kenapa keterangannya Mbak Natasya  bertentangan? Tapi kok aku lebih percaya keterangannya yang  disampaikan kepadaku tadi? Ah. Apa dia hanya memancing rasa ibaku dengan mengatakan kesulitan keuangannya, supaya tercapai kesepakatan kontrak rumah hari ini juga. Masa bodoh. Bukan urusanku, Toh, rumahnya juga oke, pikir Zetta.                Hingga di detik ini, Zetta tak ambil pusing.                “Nanti Nak Zetta akan tinggal dengan siapa di rumah itu?” bu Sabrina mengalihkan pandangan matanya dari Natasya kepada Zetta. Jenis pertanyaan standard yang wajar diajukan kepada calon warga baru. Karenanya, Zetta terdorong untuk menjawab sejujurnya apa yang ada di pikirannya. Dia malah mendapatkan isyarat, ini adalah kesempatan terbaiknya untuk sekalian meminta ijin.                “Nanti saya akan tinggal sama ibu, adik dan saudara saya. Nggak menutup kemungkinan kalau misalnya ada operator jahit yang tinggal di dalam kalau memungkinkan. Sebab rumah itu besar,” ungkap Zetta.                “Operator jahit? Maksud Nak Zetta?” tanya bu Sabrina.                “Nah, itu Bu, maksud Mbak Natasya mengantarkan saya kemari, selain memperkenalkan diri saya ke keluarga ibu. Saya itu sekalian mau meminta ijin ke warga sekitar, melalui bapak dan ibu,” Zettapun lantas mengemukakan rencananya untuk menggunakan halaman belakang untuk memproduksi baju.                 Ya, dia memang sudah berketetapan, selekasnya memulai segalanya lagi, walau dalam skala teramat kecil. Zetta akan memaksimalkan material yang tersisa, sebelum telanjur rusak dan kehilangan daya jualnya sama sekali.                 Bu Sabrina tersenyum.                “Oh, begitu. Nggak masalah. Itu nanti biar saya sampaikan ke Bapak. Biar Bapak yang menyampaikannya ke warga. Tetapi setahu saya tidak ada masalah, kok. Asalkan kegiatan menjahitnya nggak dilakukan malam hari saja ya Nak. Kalau malam dan terpaksa menjahit, mungkin bisa dilakukan di dalam rumah untuk meredam suaranya,” bu Sabrina memberikan syarat.                 “Tentu Bu, terima kasih banyak sebelumnya,” sahut Zetta.                 Dengan ekor matanya, Zetta memergoki Natasya sedang melirik jam tangan yang melingkar di pergelengan tangan. Tanpa Natasya harus mengatakan secara verbalpun dia tahu bahwa Natasya mengajaknya segera meninggalkan rumah sang ketua rukun tetangga.                 “Yuk, kita pamitan, Mbak Natasya. Takutnya Mbak Natasya kesorean nanti pulangnya,” ujar Zetta pula.                 Natasya mengangguk kaku.                 Saat Zetta dan Natasya akan berpamitan, Zetta merasakan sentuhan tangan Bu Sabrina pada pundaknya. Bukan sekilas, tetapi mungkin mendekati hitungan puluhan detik. Terlalu lama untuk dua orang yang baru saja berkenalan.                 Untuk alasan yang sulit dipahaminya, Zetta merasakan hatinya berdebar. Zetta Berusaha keras menerjemahkan apa yang tersirat dalam tatap mata Bu Sabrina serta sentuhan tangan wanita itu. Cemas, iba, prihatin, penyesalan mendalam, peringatan, ataukah rasa bersalah, tak satupun yang dominan dalam sorot matanya. Tetapi yang jelas, Zetta menangkap semua paduan rasa itu, dan membuatnya terusik.                 ‘Maksudnya apa? Heh! Urusanku sama si ibu ini hanya perkara perijinan. Yang terpenting kan urusan sama Mbak Natasya,’ batin Zetta.                 Oleh karenanya, Zettapun memilih untuk mengabaikannya. Pantang bagi Zetta untuk menyia-nyiakan waktunya yang berharga dan memikirkannya lebih jauh.                 “Kami permisi dulu, Bu Sabrina. Mbak Natasya kan, harus kembali ke Cianjur. Sementara saya, juga harus segera mengurus beberapa hal. Semoga kami bisa menjadi warga yang baik selama tinggal di sini nanti,” ucap Zetta santun.                 Bu Sabrina mengangguk.                “Baiklah Nak Zetta. Semoga kerasan jadi warga sini nantinya. Kalau perlu sewaktu-waktu bantuan atau informasi, jangan sungkan. Apalagi, Zetta sekeluarga kan perempuan semua, ya. Anak saya, Reino itu, biarpun kerja sambil kuliah, bisa kok, bantu-bantu sedikit. Barangkali ada pipa mampet, kran air bocor, mau pasang lampu atau apa. Kalau Bapak sih, sibuk banget di kantor. Sudah begitu sering keluar kota, mungkin nggak akan sempat untuk mengurus hal-hal macam itu,”  celoteh Bu Sabrina panjang lebar.                 “Baik Bu, terima kasih sekali lagi,” ucap Zetta santun. Saat itulah, Zetta memergoki selintas pandangan melecehkan dari Natasya yang ditujukan kepada bu Sabrina.                 ‘Hm, Bapak nggak sempat. Ya, tegaskanlah itu,’ batin Natasya sinis. Ibu dua anak itu nyata-nyata berkeras membujuk hatinya, supaya tidak terpancing melepaskan tatapan sinisnya kepada wanita paruh baya di depannya.                Dan selagi Zetta berusaha menerjemahkan bahasa tubuh dua orang wanita yang tengah berinteraksi dengannya, suara bu Sabrina terengar lagi.              “Jadi Nak Zeta, sebenarnya Bapak itu sudah sering mau mengundurkan diri dari posisi ketua rukun tetangga, tapi warga sini keberatan. Jadi keterusan deh, mengurus warga terus. Ah, Ibu jadi panjang lebar nih ceritanya. Ya sudah, hati-hati di jalan. Nak Natasya, salam buat Nak Taufan, Nak Bondan sama Nak Nesya, ya. Sama Laksmi, kalau dia kebetulan telepon kalian. Ah, cah ayu satu itu, apa sudah kepincut bule Austalia, jadi lupa berkunjung kemari?” tanya Bu Sabrina.                 Natasya menanggapi dengan hanya mengangguk dan tersenyum tipis, tanpa menimpali satu katapun perkataan bu Sabrina.                 Melalui ekor matanya, Zetta mengamati lagi ekspresi yang terlihat di wajah Natasya. Tidak perlu harus menjadi pakar mikro ekspresi lebih dahulu untuk melihat apa yang ada di sana. Terbayang jelas keengganan yang berusaha dibekap Natasya, pada wajahnya.                 Dan biarpun sepintas lalu, mata Zetta yang jeli, sempat mencermatinya. Terbersit sebuah kecurigaan di pikiran Zetta, tetapi segera ditepisnya, mengingat sejumlah permasalahan yang menanti eksekusinya. Serba mendesak, dan pasti menyita waktu serta energinya.                 ‘Aku nggak ada waktu buat kepo-in urusan orang. Soal komunikasi bu Sabrina dan Mbak Natasya yang agak kaku ini, nggak ada hubungannya dengan hidupku. kalau semua-semua aku pikirkan, aku jadikan ganjalan, bisa pecah otakku. Memangnya persoalanku yang searang masih kurang pelik, apa?’ batin Zetta pula.                 “Mari, Bu Sabrina,” ucap Natasya disertai anggukan kepalanya, yang segera diikuti ucapan serupa oleh Zetta.                 Bu Sabrina  mengantarkan kedua tamunya dan membuka pagar bagi mereka. Setelah keduanya lenyap dari pandangan mata, hatinya terusik. Langkah kakinya terasa demikian berat, ketika berusaha mencapai kursi teras. Dia bahkan berlama-lama memandang kursi yang tadi diduduki oleh Zetta.                 “Gadis itu, sama keluarganya, apa mereka sama sekali tidak tahu apa saja yang telah menimpa para penghuni di situ? Sama sekali nggak cari tahu memangnya, lalu memutuskan begitu saja untuk mengontrak? Ceroboh sekali! Ah! Aku nggak sanggup membayangkan apa yang bakal menimpa dia dan keluarganya kelask,” gumam bu Sabrina miris.                Lalu, bu Sabrina menyandarkan punggungnya ke sebuah pilar yang ada di terasnya.                Bu Sabrina mengembuskan napas kuat-kuat. Pandangan matanya menyapu beberapa tanaman hias yang ada di halamannya. Seolah-olah, dengan begitu dia dapat menarik energi positif yang dapat menjalari perasaannya yang terusik.                 “Benar kata Reino. Tanaman Dewinta indah-indah semua,” gumam bu Sabrina, yang berniat duduk sebentar di teras.                 Namun baru saja dia hendak hendak, didengarnya telepon genggamnya berbunyi. Diapun bergegas masuk ke dalam rumah dan mencari keberadaan telepon genggamnya.                 Bu Sabrina menjangkau benda datar dan tipis yang terletak di atas meja makan itu.                Melihat di layar siapa yang menelepon, diapun tersenyum dan segera menerima panggilan terlepon itu.                 “Hallo,” sapa Bu Sabrina.                 “Hallo Bu, Reino mau ngabarin. Hari ini Reino nggak pulang ke rumah ya, Bu. Reino mau menemani Mas Halim,” terdengar suara Reino dari ujung telepon, menyebut nama salah satu rekan sekantornya yang pernah beberapa kali bertandang ke rumah mereka.                 “Kok mendadak si Rein? Ada apa?” tanya Bu Sabrina ingin tahu.                 “Itu lho Bu, istrinya Mas Halim kan lahiran lewat operasi caesar, tapi ada kendala. Sekarang koma. Terus, keadaan anak yang dilahirkan juga kurang sehat. Orang tua dan saudara mereka baru berangkat dari luar kota. Kasihan Mas Halim, sepertinya dia kalut dan butuh dukungan. Reino sama Andra ikut menginap di rumah sakit, Bu, biar bisa bagi tugas sama Mas Halim,” terang Reino, seraya menyebut nama rekannya yang lain, yang kebetulan juga dikenal oleh sang ibu.                 Bu Sabrina prihatin mendengarnya.                 “Waduh. Kasihan sekali Nak Halim. Iya, iya, kamu temani dulu, Rein. Bantu apa yang kamu bisa. Nanti Ibu bilang ke Bapak, bahwa kamu nggak pulang hari ini. Salam buat Nak Halim dari Ibu sama Bapak, ya. Semoga istri dan anak mereka lekas pulih keadaannya,” kata Bu Sabrina.                 “Amin. Iya, Bu nanti Reino sampaikan. Bapak sudah di rumah, Bu?” Reino balik bertanya.                 “Belum, lah. Tadi juga ada yang cari Bapak,” kata Bu Sabrina.                 “Warga, Bu?” tanya Reino.                 “Calon warga baru. Itu, yang mau menempati rumah mendiang Pak Pramono,” sahut sang Ibu.                 Reino bagai tersengat lebah mendengar keterangan sang ibu.                “Hah?” sahut pemuda itu pula.                “Hah kenapa?” tanya ibunya, seolah menolak pemikiran yang melintas di benaknya sendiri. Dia tahu, dia tahu pasti, mengapa. Dan mendadak dia sulit menyangkal, dirinya merasa takut.                “Rein, sudah dulu, ya. Ibu mau mulai menyiapkan makan malam. Kamu jaga kesehatan, ya, minum vitamin. Kalau bisa, jangan bergadang,” Bu Sabrina buru-buru beralasan untuk menutup pembicaraan.                “Bu? Ibu?” Reino memanggil-manggil.               “Rein, sudah dulu, ya,” sang ibu segera mengakhiri pembicaraan mereka.                Reino terbengong di tempatnya. Dia berusaha menghubungi ibunya lagi, tetapi tidak dijawab. Ini membuatnya bertambah penasaran. Sikap sang ibu ini, sungguh mengusi Reino.                Segera saja, dia teringat pembicaraan mereka dua hari lalu, yang lebih mirip sebuah perdebatan, setelah sang Ibu tak mampu mengelak lagi. Lagi-lagi, ketika mereka hanya berdua saja di meja makan, karena Pak Shendy belum pulang kantor, sementara Dewinta, adiknya, tengah belajar kelompok di rumah salah satu kawan sekelasnya.                 -          Kilas balik -                 “Bu, nggak tahu kenapa, tadi dalam perjalanan pulang tadi, Reino kok kepikiran terus sama..,” Reino terlihat ragu-ragu untuk mengungakapkan apa yang menganggu perasaannya.                 “Kepikiran soal apa?” tanya sang ibu, yang baru saja menyudahi makan malamnya.                 “Sama semua penghuni di rumah tetangga kita itu. Maksudnya, mereka yang pernah tinggal di sana,” kata Reino akhirnya.                 Mendengarnya, Bu Sabrina langsung melengos. Seolah dirinya menyesal telah bertanya dan memberi celah pada sang anak untuk menyinggung topik yang seolah tabu baginya itu. Tabu bagi indra pendengaran serta ketentraman hatinya, tepatnya.                 “Bu, ayolah, dengarin Reino, kali ini,” bujuk Reino dengan wajah memohon.                 Bu Sabrina mengeluh dalam hati, lalu terpaksa berkata, “apa sih, yang mau kamu katakan lagi? Soal kecurigaanmu, tentang apa yang terjadi pada mereka? Yang kamu bilang, polanya serupa itu? Kita sudah keseringan ngomongin ini, Rein.”                 Sang putrapun mengangguk dan berkata, “Iya, Bu. Coba kita urai satu demi satu deh Bu. Ibu ingat, kan, lebih dari satu setengah tahun lalu, saat pertama kalinya rumah itu dikontrakan?”                 “Iya, penyewanya pasangan suami istri yang kelihatan jelas beda jauh umurnya,” sahut Bu Sabrina agak enggan.                 Merasa ditanggapi, Reino jadi bersemangat mengupas tuntas bahasa yang selama ini selalu dihindari sang ibu ini.                 “Betul kata ibu. Maudy, istrinya, yang badannya super mungil itu, kelihatan banget masih begitu muda. Menurut Reino, barangkali seumuran Kinanti. Ya kan Bu? Entah, mereka menikah umur berapa, sedangkan waktu masuk ke rumah itu saja sudah punya dua anak batita. Satunya kelihatannya berumur sekitar dua tahun setengah. Satunya lagi masih bayi. Sementara suaminya, Richard, seorang bule berperawakan tinggi besar, terlihat lebih pantas menjadi ayahnya, ketimbang jadi suaminya,” kata Reino.                 Bu Sabrina mengembuskan napas dan berkomentar, “He eh. Seingat Ibu, selama tinggal di situ, Richard suaminya itu hanya terlihat pada akhir pekan saja. Dari Jumat sore sampai ke Minggu sore. Dan kelihatannya Maudy menangkap pandangan siap bergunjing dari warga sekitar kalau kebetulan ia berpapasan di mini market seberang rumah. Makanya, Maudy jadi menutup diri dan memilih berinteraksi seperlunya. Ibu malah pernah berpapasan sama dia, waktu dia berbelanja di supermarket yang jauh, ditemani sama kedua anak dan pramusiwinya.”                 “Iya, Bu. Pasti deh, bisik-bisik para ibu yang doyan gosip dan mencurigai Maudy sebagai ‘istri muda’ atau ‘wanita simpanan’, bikin dia nggak nyaman. Makanya, akhirnya dia juga pindah, kan?” sahut Reino.                 “Waktu mau pindah sih, dia beralasan bahwa rumah itu terlampau besar buat keluarga kecilnya. Katanya, terlalu boros kalau harus memperpanjang sewa bulanannya. Jadi, dia cuma dua bulan tinggal di situ,” timpal Bu Sabrina.              “Dan Ibu pasti nggak menutup telinga sama desas-desus warga, kan? Terutama, pertanyaan dari ibu Rosminar?” korek Reino.               Bu Sabrina terperangah dan bertanya, “Kamu tahu dari mana, Reino?”              “Dewinta sempat dengar kok, Bu. Dewinta bilang, entah bersumber dari mana, saat arisan bulanan yang    kebetulan bertempat di rumah ini, ibu Rosminar tanya ke ibu, apakah Ibu sebagai tetangga terdekat Maudy, sering mendengar bayi Maudy menjerit-jerit ketakutan dari malam hingga pagi. Ataukah, mendengar banyaknya pertengkaran hebat, antara Maudy dan Richard. Dewinta bilang, Ibu menjawab tidak, terus balik bertanya, kok bisa-bisanya ibu Rosminar sampai bertanya begitu,” jawab Reino.              “Dan anehnya, bu Rosminar  justru mengalihkan pembicaraan, waktu itu,” sambung Bu Sabrina, yang kemudian menghitung dalam diam, rumah bernomor 4 itu hanya dua bulan tak berpenghuni, selepas kepergian Maudy.              Reino manggut-manggut. Dia tampak demikian bersemangat  untuk melanjutkan obrolan. Bagai orang yang takut kehilangan momen penting yang telah sekian lama ia nantikan.                                                                                                                                                                          - Lucy Liestiyo -
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN