“R7 itu adalah kode produksi. Hmm.., Ayah saja, deh, yang menjelaskan detailnya,” sahut Zetta.
Dengan gerakan tangannya, Zetta mempersilakan Ayahnya.
Pak Irawan mengangguki putri sulungnya.
“Begini, Fritz, setiap produk retail ILZA itu diberi kode yang menunjukkan bulan peluncuran dan nomor urut produknya dalam katalog kami. ‘R’ maksudnya, bulan ini,” jawab Pak Irawan.
Fritz manggut-manggut tanda mengerti, sekaligus mahfum, mengapa selama ini dia tidak menemukan kode macam itu pada seragam pesanannya. Tentunya, karena seragam pesanan bukanlah termasuk produk retail.
Mata Fritz berbinar.
“Tuh, kan? Apa saya bilang tadi, Zetta? Kreasinya Zetta selalu pas sama selera saya, dan sesuai untuk perusahaan kami, ya, kan?” Fritz menimang-nimang blus di tangannya.
Tanpa setahu Fritz, diksi yang dipilihnya itu menerbitkan harapan di hati Pak Irawan. Entah mengapa, Pak Irawan menangkapnya sebagai ungkapan perasaan yang jujur.
Tidak perlu berpikir lagi, Fritz melambaikan tangannya kepada Nafisah.
“Ya Pak?” Nafisah tergopoh mendekatinya dan bertanya.
“Yang dua ini minta tolong disatukan dengan beberapa kemeja pria dan blus wanita yang tadi saya pilih, Mbak,” suruh Fritz.
Sebelum Zetta tiba, dia memang telah memilih beberapa kemeja pria serta blus wanita untuk dijadikan sample yang dapat ‘diutak-atik’nya sebelum diputuskannya untuk dijadikan seragam atau sekadar ‘dress code’ untuk acara yang diselenggarakan oleh grup perusahaan ayahnya.
“Siap Pak,” Nafisah mengangguki Fritz, menyunggingkan senyum manis dan melesat gesit, membawa kembali keempat blus yang tadi dibawanya.
Keputusan Fritz yang lumayan cepat dan berurutan itu, membuat Zetta tak sempat menunjukkan alangkah dia tersanjung mendengar komentar Fritz sebelumnya, ataupun mengapresiasinya melalui ucapan terima kasih. Zetta hanya memandang Fritz saja tanpa mengatakan sepatah katapun.
Sementara itu dalam diamnya Pak Irawan mencermati gerak-gerik keduanya. Lalu Pak Irawan mesem kecil tanpa mengatakan apapun kepada mereka.
Tidak terasa, enam belas menit telah berlalu.
Fritz dan Zetta terlibat makin dalam ke percakapan seru mengenai hasil kreasi Zetta lainnya. Ada kalanya Zetta merendah, ketika merasa bahwa Fritz terlampau tinggi memuji hasil karyanya. Tetapi sebaliknya, Fritz menegaskan, dia sama sekali tidak berlebihan dengan opininya.
Pak Irawan menimpali sesekali percakapan mereka. Dia tak hendak mengganggu, namun juga tak mungkin mendadak berlalu, meninggalkan Zetta dan Fritz tanpa alasan yang jelas dan dapat diterima, padahal sebelumnya dia dan Fritz sedang berdiskusi.
Namun ketika menyaksikan pembicaraan Zetta dan Fritz semakin cair, Pak Irawan berubah pikiran. Apalagi, melihat pancaran semangat di wajah Fritz. Kelihatannya, Pak Irawan paham sepenuhnya, di depannya ini ada seorang anak muda yang tengah jatuh cinta pada pandangan pertama kepada putri sulungnya. Dan betapa sempurnanya, kebetulan sekali, diam-diam dia dan istrinya juga menyukai si anak muda yang punya segudang nilai lebih di matanya.
Tengok saja sejumlah kelebihan anak muda itu! Di usia semuda itu, telah piawai berbisnis. Fritz juga dikenalnya amat baik dalam berkomunikasi, amat beretika, jelas latar belakang keluarganya. Dan terakhir namun tak kalah penting, Fritz ini masih lajang, pula! Itu sebabnya, pemilik perusahaan yang mengambil inisial nama anggota keluarganya, yaitu Irawan, Lestari, Zetta dan Azkia itu, bersiap meninggalkan mereka, supaya dua anak muda yang diketahuinya sama-sama lajang itu mempunyai peluang untuk melanjutkan obrolan yang lebih personal, berdua saja.
Maka setelah memberikan isyarat bahwa dirinya akan meningalkan Fritz dan Zetta, Pak Irawan mengetik sebuah pesan di telepon genggamnya.
To : Lestari Aryanti
Zetta dan Fritz akhirnya bertemu muka di outlet, Bu, siang ini. Tanpa campur tangan kita. Tanpa harus kita ojok-ojokin seperti yang kita pernah pikirkan, yang belum tentu juga disetujui sama Zetta. Kalau Ayah menelisik dari cara mereka ngobrol, kelihatannya keduanya cocok satu sama lain, Bu. Bagaimana kalau kita undang Fritz untuk makan malam bersama akhir pekan ini? Kan, kebetulan dia mau menengok perkembangan ordernya. Ibu setuju nggak?
Tanpa setahu Zetta, Pak Irawan mengirim pesan teks tersebut pada istrinya, yang pada kontaknya hanya ditulis ‘Lestari Aryanti’ tanpa embel-embel ‘ibunya anak-anak’ atau ‘istriku’ atau ‘honey bunny’ untuk menghindari kejadian buruk bila suatu saat telepon genggamnya jatuh ke tangan orang yang salah dan bermaksud menipu mereka.
Keinginan Pak Irawan yang muncul spontan dan tak tercegah olehnya itu, ternyata bersambut dengan balasan pesan teks yang positif dari istrinya.
From : Lestari Aryanti
‘Sejujurnya Ibu senang sekali mendapat kabar ini. Ibu sih setuju-setuju saja, Yah. Coba saja Ayah tanya, Zetta pulang ke rumah nggak, minggu ini? Nanti Ayah kabari Ibu, ya,’
Usai membaca pesan teks dari sang istri, senyum Pak Irawan terkembang. Jelas, Pak Irawan kian bersemangat dan berharap.
Namun apa boleh buat, waktu sepertinya belum sepenuhnya berpihak pada keinginan terpendamnya Pak Irawan. Keinginan untuk menjembatani dua pribadi, putri sulungnya, Zetta, dengan Fritz si putra sulung keluarga Erlangga.
Baru saja Pak Irawan berniat beranjak dan menghampiri Zetta kembali, didengarnya telepon seluler Zetta keburu berbunyi.
“Ya, Irene. Oke, disiapkan saja. Saya segera meluncur,” Pak Irawan mendengar Zetta mengakhiri panggilan telepon.
“Ada apa Ze? Dari kantor?” tanya Pak Irawan.
“Iya, Yah. Irene kasih kabar barusan, jadwal rapat antar departemen hari ini dimajukan, jadinya Zetta harus sesegera mungkin kembali ke kantor,” jawab Zetta.
Bukan hanya Pak Irawan yang menampakkan selintas gurat kecewa di wajahnya, di saat bersamaan Fritz juga mengembuskan napas kecewa.
“Maaf, saya harus segera kembali ke kantor. Senang berkenalan sama Fritz. Semoga, produk-produk dari ILZA, selalu menjawab kebutuhan grup perusahaannya Fritz dan Pak Jonas, ya,” ucap Zetta kemudian.
Fritz termangu sesaat. Jelas ia menyayangkan apa yang didengarnya ini. Sontak Fritz digoda oleh rasa kecewa lantaran perjumpaan dan percakapan dengan Zetta yang dirasanya terlampau singkat itu. Terlebih, perpisahan begitu cepat terjadi, malahan sebelum dirinya sempat mengorek lebih jauh seputar keseharian Zetta.
Tetapi kemudian, senyum simpatik Fritz terulas di bibirnya. Senyum sejatinya yang lebih ditujukan untuk menghibur dirinya sendiri. Sesaat lalu, dia menyadari, bahwa hatinya telah tercuri oleh Zetta. Oh tidak, bukan tercuri sebetulnya. Dia suka rela kok, memberikannya. Jadinya, Zetta bukan mencuri di saat dirinya lengah. Dia, dirinya, yang menyerahkan hati itu bulat-bulat, dalam keadaan sadar dan tanpa paksaan dari siapapun.
“Ze, kamu harus balik ke kantor, sekarang juga?” tanya sang Ayah, seolah masih dapat menawar perpanjangan waktu saja.
Zetta mengangguki sang Ayah.
“Iya Yah, Zetta harus mengejar waktu rapat sama departemen lain,” jawab Zetta.
“Oh, begitu. Tapi hari Jumat ini, kamu menginap di rumah, kan?” tanya Pak Irawan penuh harap.
Karena berbagai kesibukan dan kegiatannya, Zetta memang belum tentu menginap di rumah orang tuanya pada akhir pekan. Itu sebabnya, sewaktu-waktu di kala situasi memungkinkan Zetta memanfaatkan celah waktu yang dimilikinya untuk berkunjung ke outlet, seperti halnya siang ini. Ada kalanya dia juga singgah ke rumah, apabila kebetulan ada jadwal menemui klien di tempat yang searah dengan lokasi rumahnya.
Dan di luar perkiraan Pak Irawan, Zetta menggelengkan kepala menjawab pertanyaannya.
Pak Irawan mengerutkn keningnya.
“Minggu ini, Zetta nggak sempat ke rumah Yah. Soalnya dari Jumat malam sampai dengan Minggu sore, ada gathering sama teman sekantor di Carita. Zetta tinggal dulu ya Yah,” jawab Zetta menjelaskan.
Lantas, gadis itu segera meraih tangan sang Ayah. Dalam hitungan detik gadis itu menyalami tangan Pak Irawan dan mencium punggung tangan sang Ayah dengan takzim.
Fritz menatap takjub melihat bagaimana luwesnya Zetta mencium punggung tangan Pak Irawan, di depan orang lain pula. Ini jelas membuatnya tak pelit-pelit untuk memberikan sebuah nilai plus untuk Zetta.
Wajar jika Fritz kian kagum pada pribadi Zetta. Bayangkankan saja, di jaman sekarang, ada seorang gadis yang tampak demikian modern, terpelajar, bagus karirnya serta terekesan demikian mandiri, tak ragu sedikitpun untuk menunjukkan rasa hormat kepada orang tuanya di depan umum, takzim mencium punggung tangan sang Ayah! Betapa pemandangan itu membuat hati Fritz tersentuh hingga ke dasarnya, untuk kemudian dibiarkannya meresap bebas di sana.
“Oh, ya, deh kalau begitu. Hati-hati di jalan ya Ze,” Pak Irawan mengusap-usap rambut Zetta dengan tatapan penuh kasih, walau terbersit pula betapa dia tengah berusaha melepaskan rasa kecewa yang terlintas.
Dan sekali lagi Fritz terbengong, menatap betapa gambaran harmonis di depan matanya ini membuat angannya melambung begitu saja. Angan yang sanggup mendorongnya untuk menjuntai impian akan masa depannya.
‘Kenapa rasanya aku seperti melihat masa depanku saja?’ pikir Fritz, melihat Pak Irawan yang juga tampak tidak ragu untuk menunjukkan perhatian serta kedekatannya dengan sang putri. Sesuatu, yang sebenarnya juga beberapa kali disaksikannya dari sikap Pak Irawan terhadap Azkia, adik bungsunya Zetta.
Hanya saja, kali ini, entah mengapa perasaannya terlarut demikian dalam. Apa yang dilihat langsung oleh matanya ini, terasa demikian indah dan melenakan. Dan Fritz tak hendak menyangkal, dia ingin memilikinya.
- AKHIR DARI KILAS BALIK -
”Boleh kan, Kak Ze? Itu sifatnya kerja sama, toh? Bukannya mengemis bantuan,” perkataan Azkia membuyarkan lamunan Zetta. Nadanya sedikit memelas, seperti ingin mendapatkan persetujuan penuh dari sang kakak.
Zetta langsung menggeleng dan berkata, “Kita tangani sendiri dulu, ya Kia! Kamu percaya Kakak, kan?”
Bibir Azkia langsung terkatup rapat mendengarnya.
Dia jelas kecewa dengan apa yang didengarnya.
“Nah, Kia, jangan menghubungi siapapun dulu, apalagi tanpa didiskusikan lebih dulu sama Kakak. Kita temui Ibu sekarang,” sambung Zetta bak sebuah perintah tak terbantah.
Mendengar kalimat tegas dari Zetta, hati Azkia kian mencelos. Harapan yang sempat membumbung tinggi beberapa saat lalu, sontak terempas begitu saja dalam waktu singkat. Lenyap tak berbekas, menguap, tak sempat tergenggam walau seujung kukupun. Penuh keterpaksaan, gadis belia itu menganggukkan kepalanya, seiring hatinya yang terasa demikian berat. Keputusan Zetta memang sulit untuk ditentang olehnya. Seperti sudah final saja. Lalu apa perlunya lagi dia berdebat, di saat mereka tengah berduka dan kebingungan begini?
- Lucy Liestiyo -