Bagian 12.

1662 Kata
Aku hanya tidak tahu—apa itu arti cemburu, karena rasa masing-masing memang belum memburu. ____________ Jalanan basah sudah menyapa orang-orang yang memulai aktivitasnya pagi ini, kicau burung serta gemerisik angin pagi ikut menyambut siapa pun yang sudah keluar dari rumah mereka. Beberapa bunga liar mulai mekar di antara rerumputan basah, pohon jambu batu yang tertanam kokoh di depan rumah bercat krem itu mulai berbuah kecil-kecil, tak ada yang istimewa tapi aktivitas kala pagi di dalam rumah masih terus berlanjut hingga hari ini. Nada benar-benar sudah fit untuk bersekolah hari ini, meski terkadang bersin masih hinggap dan membuatnya risi, tapi dia sudah benar-benar sekuat baja untuk kegiatan di sekolah. Gadis yang sudah berpakaian rapi itu tengah memegang sebuah jaket boomber di tangan kanannya, bersebelahan dengan jendela kamar yang terbuka agar Nada bisa menghirup udara segar dari luar rumahnya. Salah satu alis Nada terangkat ketika masih saja menatap jaket itu, dia mendekatkan benda itu pada hidungnya dan mencium aroma pelembut pakaian sekali bilas yang masih harum. Tangan kiri Nada berkacak pinggang, dia menerawang dan setelahnya menghampiri nakas lalu mengambil parfum miliknya. Segera Nada membuka penutup parfum dan hendak menyemprotkan isi dari benda itu pada jaket yang masih ia pegang. Namun, niatnya itu buru-buru Nada urungkan, segera dia meletakan kembali parfum miliknya dan duduk di ranjang—lalu melipat jaket boomber yang sudah menghangatkan tubuhnya malam itu meski tak sehangat teh manis buatan Aji yang setiap pagi selalu Nada nikmati. Tak lupa sebuah kotak nasi di atas nakas yang isinya sudah Adela habiskan turut ia masukan ke dalam shopping bag beserta jaket boomber dengan satu pemilik yang sama. Sekali lagi, Nada menghampiri kaca persegi panjang yang menempel pada lemari di kamarnya. Dia meneliti lagi penampilan pagi ini, rambut yang sudah diikat serta seragam rapi—sudah cukup. Gadis itu menggendong ransel yang ia raih dari kursi meja belajarnya dan tak lupa membawa shopping bag berisikan benda-benda milik Zada. Dia keluar rumah dan mengunci pintu, kunci pintu utama ada dua. Pertama dibawa oleh Aji bekerja, kedua tentunya dibawa Nada ke mana-mana. Gadis itu segera menghampiri sepedanya yang berada di halaman rumah, dia meletakan shopping bag ke keranjang dan menaiki sepeda warna ungu yang sudah beberapa tahun menemaninya pergi ke mana-mana. Nada mengayuhnya keluar dari halaman rumah menuju jalan seraya menghirup aroma udara pagi yang menenangkan pikiran. _______________ Keluarga Damarez terlihat menikmati sarapan pagi mereka di balik meja makan yang cukup besar, rumah bergaya mediterania itu dihuni oleh dua keluarga saja. Pertama keluarga Damarez yakni Ivander Damarez alias pemilik utama rumah, Rosalie Anita Damarez yang notabene istrinya serta Razada Rivaldo Damarez. Adik kandung Rosalie juga ikut tinggal bersamanya yakni Ina Melati beserta putra tunggalnya meski tanpa suami, mereka sudah bercerai saat usia Erik masih dua tahun. Selebihnya ada beberapa pembantu dan tukang kebun yang menginap di rumah, hanya akan pulang kampung menjelang hari besar tiba. Erik begitu lahap menikmati setangkup roti tawar dengan selai blueberry favoritnya, dia bisa menghabiskan dua tangkup roti jika sarapan. Pantas jika Erik bertubuh gemuk dan tembam, membuat siapa saja yang melihat bocah itu ingin mencubit pipinya. "Bukannya Erik lagi diet, yah?" celetuk Zada ketika matanya menangkap sosok mungil bocah yang hampir tak terlihat karena meja lebih tinggi darinya, dia asyik mengunyah tanpa memedulikan tatapan orang di sekitarnya. "Iya, Bang. Nanti Erik diet kalau nggak lupa, kalau Erik jadi diet selai blueberry harus disimpan yah. Nggak boleh ada yang makan," sahut bocah itu seraya menyipit—mengancam orang-orang di ruang makan. Bukannya takut, mereka justru mengulum senyum, kehadiran Erik di rumah memang jadi hiburan tersendiri dengan segala tingkahnya yang menggemaskan. "Oh ya, Zad. Papa mau bilang kalau kuliah kamu nanti jadinya di Singapur ya," ucap Ivan menatap putranya yang duduk di sebelah Erik. Zada baru saja menelan kunyahan terakhir roti tawar miliknya, lalu meminum segelas air putih hingga habis—barulah dia menatap Ivan dengan kening berkerut. "Kenapa harus di Singapur? Kan aku bilang mau kuliah di sekitar Jakarta aja," sahut Zada. "Iya, biar nanti kamu bisa satu Universitas sama Rebbeca." Seketika darah Zada mendidih, kenapa harus dengan gadis itu lagi. "Enggak, Papa aja yang kuliah sama dia," balas Zada ketus seraya beranjak dan meraih kontak motor di atas meja, tanpa berpamitan dia bergegas keluar dari rumah membawa rasa kesalnya. Kini Rosalie dan Ivan saling tatap, Rosalie hanya mengedikan bahu. Dia bukan ibu yang terlalu mengekang Zada, apa yang ingin Zada lakukan selalu Rosalie dukung asal dalam hal positif, lagipula dia tak terlalu mendukung hubungan Rebbeca dan Zada mengingat betapa ambisiusnya gadis itu demi mendapatkan seorang laki-laki. Di mana-mana kodrat seorang laki-laki mengejar dan bukan dikejar. Namun, s**l! Ketika Zada sudah menaiki motornya tiba-tiba muncul sosok Rebbeca yang baru turun dari mobil dan berlari menghampiri Zada yang sudah bertengger di motornya. "Pagi, Zad. Aku mau minta kamu antar aku ke sekolah ya, boleh, kan?" pintanya dengan senyum centil, benar-benar pagi yang tidak Zada harapkan. "Minggir!" hardik Zada ketika sosok Rebbeca berdiri menghalangi jalan motornya, dia lekas memakai helm dan menguncinya. "Zada! Aku tuh mau minta diantar kamu ke sekolah, jangan nolak dong," keukeuh gadis itu dengan raut memelas. "Beca! Kita itu beda sekolah, lagian elo baru turun dari mobil, sana naik mobil aja. Gue telat nih lama-lama." Zada juga tetap bersikukuh menolaknya. Gadis itu terbilang nekat, dia bergerak menghampiri Zada dan sontak memboncengnya seraya memeluk perut Zada. Benar-benar membuat empunya makin jengkel. "Aku mau diantar kamu, please ya sekali aja. Kita kan nggak pernah naik motor berdua," rengek Rebbeca tanpa melepas pelukannya pada perut Zada, tak pelak laki-laki itu berusaha melepas kedua tangan Rebbeca yang masih melingkar di pinggangnya, tapi sayang terlalu kuat untuk ditepis. "Turun nggak!" "Enggak!" "Turun!" "Enggak mau! Pokoknya aku nggak akan turun sebelum kamu antar aku ke sekolah, nggak papa kalau kamu nolak paling juga kita berdua sama-sama bolos hari ini." Zada mengumpat dalam hati, betapa nekatnya gadis itu. Terus saja memaksa dan tak lepas dari kata ancaman yang membuat Zada akhirnya mengalah daripada dia tidak sekolah dan melihat rupa Rebbeca seharian bisa membuatnya stres berat. Zada pasrah, dia memutar kontak motornya dan mulai melaju ke jalanan. Rebbeca tak pernah melepas pelukannya pada Zada, padahal naik motor berdua dengan Rebbeca adalah salah satu hal yang selalu ingin Zada hindari, ternyata hari ini dia ketiban s**l. "Tahu nggak sih, Zad. Aku senang deh pagi-pagi bisa kamu bonceng begini. Makasih banget ya, Zad," ucap Rebbeca seraya menyandarkan kepala pada punggung laki-laki itu. Hingga tiba di perempatan jalan, Zada mengenali sebuah sepeda serta sang pemilik yang baru saja melintas di depannya. Zada bernapas lega karena Nada tak melihatnya, entah kenapa dia merasa begitu ketakutan jika Nada sampai melihat ia membonceng sosok model Rebbeca. Nyatanya kini motor Zada tepat di belakang Nada dengan jarak sekitar dua meter, jalanan tidak terlalu ramai, tapi ia sama sekali tak ingin menyalip gadis itu. Zada benar-benar mengatur jarak antara motornya dengan sepeda Nada, dia mengulum senyum menyadari gadis itu sudah sehat setelah sempat pingsan kemarin. "Zad, kok motornya pelan banget sih. Ngebut dong, katanya kamu takut telat," oceh Rebbeca tak sabaran. Zada hanya diam dan mencoba mengatur situasi yang tepat untuk menyalip, karena ia benar-benar tak ingin Nada melihatnya nanti. Rebbeca mengangkat kepala dan mengintip ke arah jalan di depannya dari balik punggung Zada, Rebbeca mengernyit ketika menyadari bahwa hanya ada sebuah sepeda di depan mereka. "Zada! Ayo dong salip aja! Aku juga nggak mau telat nih," gerutu Rebbeca. Laki-laki itu membuka kaca helmnya dan menoleh ke belakang. "Bisa diam nggak? Atau gue turunin di jalan nih sekarang." Ketika wajahnya kembali menatap ke depan ternyata Nada juga sedang menoleh ke belakang, pandangan mereka tepat bertemu meski tiga detik berikutnya Nada kembali menatap ke depan. Zada menelan ludahnya, benar-benar terkesiap ketika Nada melihatnya bersama Rebbeca. Dia kebingungan saat ini, namun sudah telanjur dan akhirnya Zada memutar gas hingga jarum speedometer naik, dia ngebut melewati sepeda yang Nada kayuh. Mungkin itu ceweknya Zada, pikr Nada seraya menatap punggung Rebbeca yang kian menjauh. ________________ Dia meletakan shopping bag begitu saja di kursi Zada, baru saja Nada meletakan pantatnya dan bel masuk tepat berbunyi tanpa harus ditunggu. Beberapa kursi masih tampak kosong termasuk milik Zada, mungkin kini ia sedang terjebak macet setelah mengantar Rebbeca dengan jarak sekolah yang lebih jauh dari SMA Nusa Bhakti. Gadis itu melipat tangan di atas meja dan meletakan kepalanya, mendadak pikirannya kembali pada kejadian di jalan tadi. "Selamat pagi," sapa Pak Hartono yang baru saja masuk ke kelas XII.IPS.2, pria berkacamata itu lantas duduk di kursinya. Otomatis Nada mengangkat kepala dan duduk bersandar, dia menatap beberapa orang yang baru saja masuk ke kelas termasuk Thalita. Gadis itu melempar senyum pada Nada. "Ngomong-ngomong lo udah sembuh, Nad?" tanya Thalita yang baru saja duduk dan menoleh ke belakang. "Udah kok, makasih ya buat kemarin," balas Nada. "Iya. Harusnya lo lebih banyak bilang makasih ke Zada sih." Nada mengusap tengkuknya. "Ng ... iy-iya sih, nanti pasti kok." Fokus Thalita kembali ke depan, kini Nada menoleh dan menatap sekilas shopping bag di kursi Zada. "Nada," panggil Pak Hartono. Nada terkesiap dan berdiri. "Iya saya, Pak." "Bisa tolong ambilkan buku absensi kelas di atas meja saya?" "Iya bisa, Pak," sahut Nada menyanggupi. Segera dia keluar dari kelas dengan tergesa hingga tak memperhatikan jalan di depannya sampai tiba-tiba.... Bruk! Keduanya sama-sama tersungkur, Zada dan Nada berserobok dan mereka sama-sama bangkit sendiri. "Maaf, tadi gue nggak lihat jalan," ucap Nada tanpa melihat dengan siapa ia bertubrukan, tangannya sibuk membersihkan debu pada rok abu-abunya. "Nggak apa-apa kok," balas Zada yang kini sudah berdiri sambil memperhatikan gadis itu. "Ya udah kalau—" Nada tak melanjutkan bicaranya setelah bertatapan langsung dengan sosok di depannya. "Mau ke mana?" tanya Zada basa-basi, dia merasa tidak enak dengan kejadian di jalan tadi. "Mau ke anu, itu," ucap Nada seperti orang yang kehilangan sesuatu tapi tak bisa menjelaskan. "Emang anu, itu di mana?" "Maksudnya mau ambil absensi di mejanya Pak Hartono, sampai lupa. Gue permisi dulu ya." Tanpa menunggu jawaban Zada gadis itu memilih melanjutkan langkahnya dengan tergesa, sesekali menoleh ke belakang dan mendapati Zada yang masih berdiri pada posisinya tanpa bergerak, menatap punggung gadis itu yang kini sudah menghilang masuk ke ruang guru.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN