"Pagi, Nel!"
"Oh, hai! Selamat pagi, Emily. Kamu sudah kembali bekerja?" tanya gadis bersanggul tinggi itu pada teman yang menyapanya barusan.
"Iya, Nelly, apakah kau tidak merindukanku?" tanya Emily dengan senyum sumringahnya.
Gadis cantik bermata bulat yang sedang menyeret koper kecil itu adalah pemilik nama asli Emily Drew, 27 tahun. Ia adalah seorang cabin crew yang baru saja kembali bekerja setelah vakum selama dua tahun.
Beruntung sekali papinya adalah seorang flight instruktur yang begitu disegani dalam perusahaan tempatnya bekerja saat ini. Jadi, Mr.Drew bisa meminta langsung kepada Tuan Charles Levine agar memberikan izin pada Emily untuk mendapatkan libur yang agak panjang tanpa gaji. Itu semua bukan karena apa, tetapi karena Emily yang harus menjalani operasi besar.
"Bukan hanya aku, teman yang lain juga merindukanmu, Emily," timpal Nelly yang memeluk Emily dengan erat. Emily tersenyum dan membalas pelukan singkat itu.
"Oh iya, Emily, apakah hubunganmu dengan Shane baik-baik saja?" tanya Nelly dengan lemparan tatapan penasaran, seolah Nelly sedang menyembunyikan sesuatu darinya.
"Kenapa, Nell? Ada yang mau kamu ceritakan sama aku?" tanya Emily yang merasa aneh dengan pertanyaan Nelly.
Gadis itu menyadari jika pacarnya, Shane, memang sedikit berubah. Pria itu sudah jarang sekali bertanyakan kabarnya, apalagi mereka juga sudah lama tidak bertemu. Bahkan, Shane sama sekali tidak pernah menjenguk Emily selama ia menjalani pemulihan pasca operasi di Korea. Pria itu bersikap seolah tidak peduli pada pacarnya. Padahal status Emily adalah pacar, bukan teman atau orang lain.
"Oh! Ng-nggak, kok, Emily. Aku kan sekadar bertanya," jawab Nelly gugup dengan mengalihkan tatapannya ke arah dinding kosong.
Emily terkekeh dan pura-pura tidak tahu, "Apaan, sih, Nel! Kamu kayak maling ketangkap basah aja!" rutuk Emily.
Nelly mengalihkan pembicaraannya dan menarik Emily untuk terus melangkah. "Ayo, kita ke ruangan flops. Eh, kamu penerbangan tujuan kemana Emily?" tanya Nelly.
"Aku mau oergi ke Brisbane."
"Ron, dong?"
"Iyes! Transit ke Singapore dulu satu malam. Return juga sama Ron. Satu malam lagi di Singapore," jawab Emily menjelaskan panjang lebar.
Nelly cemberut setelah mendengarnya. "Empat hari nggak ketemu kamu lagi, dong? Kangen lah aku sama kamu, baru juga ketemu sebentar," bicara Nelly dengan tatapan nelangsa.
"Ck, kayak aku pacar kamu saja! Udah sana. Aku dah nyampe." Emily terkekeh kemudian berbelok masuk ke dalam ruangan flops, tempat di mana rekan yang lain juga sudah mulai berdatangan.
Emily menyadari jika flight attendant seniornya di penerbangan kali ini adalah Miranda, temannya sendiri. Juga seorang lagi flight attendant yang juga Emily kenal. Jenny.
Anehnya, saat Emily ingin menyapa Miranda, temannya itu malah membuang wajah. Emily jadi urung lalu memutuskan untuk duduk di atas sofa samping Jenny. Belum lama Emily melabuhkan bokongnya, dari arah pintu masuk utama, masuk seorang pria berkemeja putih dengan bros sepasang sayap sambil membenahi dasi hitamnya.
Dug! Dug! Dug!
Detak jantung Emily berpacu laju, tubuhnya meremang saat bertemu tatap dengan pria tampan itu. Wajahnya tampak asing bagi Emily.
"Jen, itu siapa?" bisik Emily di kupingnya Jenny.
"Kudet lu, Em. Itu kan kapten Justine Levine! Masa kamu nggak kenal, sih?" Jenny balik melemparkan pertanyaan setelah menjawab pertanyaan Emily barusan.
"Sumpah, aku beneran nggak kenal, Jen," bisik Emily pelan dan menuai capitan panas dari temannya itu. “Apa karena aku baru masuk setelah libur panjang, ya?”
"Mungkin. Nanti aku ceritakan sama kamu," bisik Jenny kembali di telinga Emily.
"Kapt, sepertinya cuaca hari ini cerah berawan dan cuaca tempat tujuan transit juga baik-baik saja," lapor sang first officer kepada pria tampan yang baru saja masuk tadi.
Dia adalah kapten Justine Levine 31 tahun. Ia memiliki postur tubuh jangkung serta rahang kokoh. Alisnya terbentuk sempurna. Dalam arti kata lain, pria itu adalah ciptaan Tuhan yang mendekati kata sempurna.
"Ayo, kita berangkat! Pesawat sudah standby di apron," ajak Justine pada yang lainnya.
"Briefing-nya di pesawat saja, ya, Capt?"
"Iya, briefing di pesawat saja. Sudah pada datang, kan?" tanya Justine sambil matanya menatap satu persatu wajah para cabin crew yang akan terbang bersamanya nanti.
Matanya terpaku pada Emily yang terus menatapnya tanpa menatap yang lain. 'Kenapa dia menatapku seperti itu?' batin Justine heran. Ia memang asing dengan wajah itu. Namun, ia memilih untuk mengabaikannya.
….
Bandar udara Changi, Singapore.
Setelah keluar dari garbarata, Emily dan Jenny terus saja mengikuti teman yang lainnya menuju area scanning.
"Remain overnight, ya! Besok jam 10.00pm, kalian semua harus sudah siap karena pesawat berangkat jam 12.00 dinihari waktu lokal menuju Brisbane," ujar Justine setelah usai proses scanning.
"Siap, Capt!" ucap rekan penerbangannya serempak.
Belum jauh mereka berjalan menuju mobil jemputan, Emily melihat Justine yang didatangi oleh seorang wanita dengan sikap dan paras yang elegan serta menawan. Ia juga mengenakan kemeja putih dan tersemat bros dua sayap di d**a kirinya.
"Hai, Justine! Kamu baru touchdown, ya?"
"Hey, ternyata kamu. Yap! Barusan datang dan sekarang menuju mobil jemputan."
"Aku juga baru touchdown, tujuan United Kingdom. From Melbourne," jawab wanita cantik itu.
"Jen, itu pasti istri atau nggak pacarnya, ya?" Jiwa kepo Emily menggeliat. Ia ingin tahu lebih lanjut tentang Justine
"Itu first officer, namanya Calista Park. Aku juga nggak tau dia punya hubungan apa sama Capten Justine, Em, yang aku tahu cuma Ms. Calista itu punya hubungan dekat sama Keluarga Levine."
"Oooh …." Emily hanya beroh ria saja. Tiba-tiba matanya menangkap satu sosok yang sangat ia kenal. "Bentar, deh! Itu kan Shane!" cetus Emily yang berhasil mengejutkan temannya.
Jenny menatap ke arah yang sama dan benar sekali itu, adalah pacar Emily. Shane adalah seorang flight engineer yang bekerja di bawah naungan perusahaan yang sama, Maskapai Penerbangan Skylink.
"Jen, apakah tadi Shane terbang besama kita?" tanya Emily lagi pada temannya itu. Ia heran dengan keberadaan Shane yang bahkan tidak mengabarinya sama sekali.
"Sepertinya nggak, deh, Em, flight engineer kita kan Jacob."
Emily tidak peduli. Ia tersenyum melihat kehadiran pacarnya. Tanpa basa-basi, ia segera memutuskan untuk pergi ke Shane. "Aku samperin, ah! Mungkin dia sedang menungguku."
"No, Emily!" Jenny mencegah Emily untuk menghanpiri pacarnya.
Emily mengernyit. "Kenapa, Jen? Apa aku nggak boleh ketemuan sama pacar aku sendiri?"
"Emily, sebenarnya …." Jenny seperti kesulitan mencari kalimat yang pas untuk menjelaskan keadaan Shane pada Emily. Namun, cekalan pada pergelangan tangan Emily sama sekali tidak ia lepaskan.
Emily mulai merasa risih. Ia menoleh ke arah Shane yang mulai menghilang dari pandangannya. “Apaan, sih, Jen! Lepasin, aku mau ke Shane! Dia pasti bikin kejutan ke aku, makanya dia nggak ngabarin aku sama sekali!”
“Bukan begitu, Emi, tapi-”
"Jenny! Ayo, cepatan!" Teriakan dari FO Lexi akhirnya bisa menyelamatkan Jenny dari pertanyaan Emily.
"Em, duh! Nggak ada waktu buat pacaran sekarang! Ayo cepetan. Ntar diomelin tuh sama FO Lexi!" Jenny lantas menarik Emily menuju mobil jemputan yang akan mengantarkan mereka ke penginapan yang sudah disiapkan oleh perusahaan.
Emily pun mengurungkan niatnya untuk bertemu dengan Shane dan hanya bisa menatap pria itu dari kejauhan. Setelah Emily dan Jenny masuk ke dalam mobil. Sang supir lantas menekan pedal gas.
"Eh, tunggu! Miranda kan belum masuk," cegah Emily.
"Tidak usah di tunggu. Biasanya Miranda dijemput sama pacarnya kalau mereka transit di bandara yang sama," ujar FO Lexi.
"Loh, kok Miranda nggak pernah cerita sama aku kalau dia sudah punya pacar?" ucap Emily kecewa. “Banyak banget yang berubah sejak aku cuti dari sini, ya?”
"Bagaimana mau cerita kalau dia nikung sahabatnya sendiri. Itu yang aku dengar," bicara FO Lexi blak-blakan. Pria itu memang tipe yang ceplas-ceplos kalau ngomong.
"Nikung sahabat sendiri? Siapa-"
"Itu cuma hoaks Emily. Udahlah! Tidak usah kamu pikirkan lagi soal Miranda. Nanti aku traktir kamu makan enak, deh," potong Jenny cepat.
"Beneran, ya? Aku tagih loh janji mu itu nanti." Emily kembali ceria dan tidak lagi memikirkan Miranda lagi. Ia juga sedikit demi sedikit melupakan tentang pacarnya, Shane.