“Wajahmu memang cantik, tapi kamu kampungan!”
Nada sinis itu keluar dari bibir perempuan berseragam kerja yang berdiri di belakang Selin, tangan cekatan melilitkan rambut Selin menjadi tatanan elegan. Namun, tatapannya penuh hinaan, seperti seorang ratu yang memandangi rakyat jelata.
“Meski kamu memakai baju mahal,” lanjutnya, menyematkan anting berlian pada telinga Selin dengan gerakan keras, “kamu tetaplah budak.”
Selin menatap pantulan dirinya di cermin besar di depannya. Dress yang kini melekat di tubuhnya begitu indah, dengan potongan yang memamerkan bahunya yang halus. Kalung berlian berkilauan di leher jenjangnya, seperti rantai emas yang mengikat burung dalam sangkar. Namun, ia tidak mengatakan apa pun. Matanya hanya menatap kosong, bibirnya terkatup rapat. Apa gunanya menjawab hinaan itu?
“Kamu tahu, kan?” Suara perempuan itu kembali memecah keheningan. Kali ini lebih rendah, tetapi tidak kalah tajam. “Tuan Vasko hanya ingin tubuhmu. Kamu hanya perlu melayaninya sampai dia puas.” Ia berhenti sejenak, menatap Selin melalui pantulan cermin dengan senyum yang dingin. “Tapi ingat, jangan pernah berikan hatimu padanya. Karena kalau itu terjadi, kamu yang akan hancur.”
Hati Selin berdesir mendengar peringatan itu, namun wajahnya tetap datar. Ia tidak bisa memutuskan apakah kata-kata perempuan itu adalah nasihat tulus atau sekadar tamparan lagi atas nasibnya yang tragis.
Perempuan itu menyelesaikan riasan dengan lipstik warna peach, menyapukan warna lembut pada bibir Selin. Kini, wajah Selin tampak sempurna, hampir seperti dewi dari dunia lain. Namun, di balik itu, ia hanyalah boneka—indah untuk dipamerkan, tetapi kosong di dalamnya.
“Bagi tuan Vasko,” perempuan itu mendesis, memasang senyum getir, “secantik apa pun kita, para perempuan, kita tidak ada harganya.”
Kata-kata itu menggantung di udara, menghantam Selin dengan dinginnya kenyataan. Ia hanya diam, tetapi di dalam hatinya, rasa perih itu menjalar, menambah beban yang sudah begitu berat ia pikul. Di depan cermin, ia melihat dirinya bukan sebagai manusia, tetapi bayangan seorang b***k—cantik, berharga mahal, tapi hanya untuk dijual.
"Tuan Vasko ada di kamarnya, dan kamu harus datang ke sana!"
Suara tajam perempuan itu memecah keheningan. Setelah selesai mendandani Selin, ia menatapnya dengan pandangan puas bercampur hina.
"Iya," jawab Selin pelan, suaranya hampir tenggelam oleh kecemasan yang membungkusnya.
Langkah Selin terasa berat ketika ia meninggalkan ruangan itu. Gaun indah yang dikenakannya terasa seperti beban yang mengikat. Ia mengikuti arah yang ditunjukkan sebelumnya, melewati lorong panjang yang dihiasi lukisan-lukisan berbingkai emas. Lantai marmer di bawah kakinya berkilau, memantulkan bayangan yang terasa asing.
Rumah ini berlantai lima, bak istana megah yang dipenuhi kemewahan dari ujung ke ujung. Kristal menghiasi setiap sudut lampu, ornamen mahal bertebaran seperti bukti kejayaan Vasko. Saat ia memasuki lift, tombol menuju lantai lima ditekan dengan jari gemetar. Di dalam kotak kecil itu, detak jantungnya berpacu, seolah-olah lift itu sedang menghitung setiap detik menuju takdirnya.
Ketika pintu lift terbuka, ia disambut oleh pemandangan yang menakjubkan. Ruangan luas itu adalah mahakarya kemewahan. Langit-langitnya tinggi, dihiasi ukiran-ukiran emas yang berkilauan di bawah cahaya lampu gantung. Sebuah sofa kulit besar terhampar di tengah ruangan, dikelilingi oleh jendela-jendela besar yang memamerkan pemandangan malam kota di bawah sana. Jika rumah ini adalah kerajaan, maka lantai lima ini memang pusat tahtanya, tempat seorang raja memerintah dengan keangkuhan mutlak.
Selin menarik napas panjang sebelum melangkah masuk. Di tengah ruangan, sosok yang menjadi pusat semua ini berdiri membelakanginya. Tuan Vasko, dengan setelan hitam mahal yang membungkus tubuh tegapnya, tampak seperti sebuah patung hidup. Aura dingin dan dominannya mengisi seluruh ruangan, membuat Selin merasa kecil dan tidak berarti.
"Pe-permisi, Tuan…" suara Selin bergetar, hampir tenggelam di bawah berat suasana. Ia menelan ludah dengan susah payah, berusaha menguatkan dirinya.
Vasko tidak langsung berbalik. Ia tetap berdiri dengan tenang, kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana. Punggungnya yang tegap dan rambutnya yang tertata sempurna memberi kesan bahwa ia bukan sekadar manusia, melainkan penguasa. Ketika akhirnya ia berbalik perlahan, mata hitamnya yang tajam menembus jiwa Selin, membuat gadis itu merasa seolah-olah seluruh keberadaannya sedang dihakimi.
"Selamat datang di tahtaku," katanya dengan suara rendah dan dingin, senyum tipis menghiasi bibirnya. Senyum itu tidak ramah, melainkan seperti pemangsa yang baru menemukan mangsanya. "Mendekatlah."
Kaki Selin terasa berat, seolah-olah ruangan ini mencengkeram tubuhnya. Namun, ia melangkah maju, mematuhi perintah itu. Di setiap langkah, ia merasa semakin dekat dengan takdir yang sudah digariskan untuknya, takdir yang entah akan menghancurkannya atau mengubahnya selamanya.