Selin Dijual Oleh Soraya!

944 Kata
"Jangan bangga dengan wajah cantik. Kamu hanyalah b***k!" Soraya mendekat dengan langkah angkuhnya, wajahnya penuh ejekan. Matanya yang tajam menyapu Selin dari atas hingga bawah, seolah menilai bahwa gadis itu tak lebih dari seonggok barang rongsokan. Selin berdiri kaku, mencoba mempertahankan martabatnya, meski sorot matanya menyiratkan ketakutan yang dalam. Di sudut bibir Soraya, terukir senyum tipis—dingin, tajam, dan penuh penghinaan. "Kamu pikir Vasko benar-benar peduli padamu?" Soraya melangkah semakin dekat, jemarinya yang runcing mengangkat dagu Selin dengan paksa. "Dia hanya bermain, seperti biasa. Dan kamu... hanyalah salah satu permainannya." "Aku... aku tahu tempatku," jawab Selin lirih, suara bergetar namun berusaha tegar. Soraya tertawa kecil, suara itu seperti racun yang merayap di udara. "Bagus kalau tahu. Maka kau juga tahu, saat ini kau tak lagi dibutuhkan di sini. Kemasi barang-barangmu, dan pergilah sebelum aku kehilangan kesabaran." Selin menggigit bibirnya, menahan air mata yang hampir pecah. Tapi ia tetap berdiri di tempatnya, menatap Soraya dengan mata yang penuh luka namun berkilat keberanian. "Atau," suara salah satu pelayan tiba-tiba memecah keheningan, "kita jual saja dia." Wanita itu tersenyum licik, matanya bersinar dengan ide kejam yang terpancar dari bibirnya. "Dia cantik, pasti banyak orang yang mau membayar mahal." Selin tersentak, napasnya tertahan sejenak. Soraya melirik pelayan itu, dan seketika senyuman licik serupa menghiasi wajahnya. "Kau benar," ujar Soraya. "Menjualnya mungkin lebih menguntungkan. Lagipula, Vasko tak akan peduli lagi pada gadis ini." Selin mundur selangkah, tubuhnya gemetar. "K-kalian tidak bisa melakukan itu!" serunya dengan suara lirih, nyaris memohon. "Memangnya kenapa tidak?" Soraya mendekat, menekan Selin hingga punggungnya menyentuh dinding. "Di dunia ini, orang seperti kita yang memegang kendali. Sedangkan orang seperti kamu memang hanya bisa diam dan hancur!" ujar soraya. Selin menunduk dalam, tubuhnya terasa berat seperti sedang memikul beban tak kasat mata yang tak mungkin ia lepaskan. Air mata yang tertahan mulai menggenang di pelupuk matanya, namun ia menolak membiarkannya jatuh. Baginya, menangis di depan Soraya hanya akan memberikan gadis itu kemenangan lebih besar. "Sudah, jangan buang waktuku!" Soraya mendekat, menarik dagu Selin kasar agar wajahnya mendongak. "Lihat dirimu. Kamu bahkan tidak tahu bagaimana memanfaatkan wajah cantikmu. Bodoh sekali." Selin menggigit bibirnya, mencoba menahan amarah yang berbaur dengan rasa putus asa. "Aku tidak meminta hidup seperti ini," gumamnya pelan, hampir tak terdengar. Soraya tertawa sinis. "Oh, manis sekali. Seolah kita semua punya pilihan di dunia ini. Tapi dengar ya, Selin. Dunia tidak peduli pada air matamu. Jika kamu ingin bertahan, belajarlah bermain sesuai aturannya." Tanpa menunggu jawaban, Soraya menjentikkan jarinya pada pelayan yang berdiri di belakang. "Pakaikan dia baju ini. Aku tidak peduli seberapa keras dia menolak. Pastikan dia terlihat seperti barang mahal, karena itu satu-satunya nilai yang dia punya." "Bajunya terlalu terbuka...," protes Selin, suaranya bergetar. "Diam!" bentak Soraya, tatapannya tajam seperti belati. "Kamu bukan siapa-siapa di sini, Selin. Ingat itu." Pelayan mendekat, membawa gaun transparan berwarna hitam yang nyaris tidak menyisakan ruang untuk rasa malu. Selin ingin berteriak, ingin melawan, tapi tubuhnya terasa lemah. Di matanya, cermin di sudut ruangan memantulkan bayangan dirinya yang kini tampak asing, seperti boneka kosong yang siap dijual ke tangan siapa pun yang berani membayar. Soraya tersenyum puas melihat ekspresi pasrah di wajah Selin. "Bagus. Akhirnya kamu paham tempatmu." Ia berbalik dengan langkah anggun, membiarkan pelayan menyelesaikan pekerjaannya. Di dalam hati Selin, amarah dan kehancuran berperang. Ia tahu, di balik kerapuhannya, ada sesuatu yang masih berteriak—sesuatu yang menolak menyerah pada nasib. "Akan ada waktunya," pikirnya pelan, "aku tidak akan menjadi boneka mereka selamanya." Musik berdentum seperti detak jantung yang kacau, menggetarkan udara dan menusuk telinga. Lampu-lampu neon yang berkedip tanpa henti menciptakan bayangan yang bergerak liar di sepanjang dinding. Aroma campuran alkohol, parfum mahal, dan asap rokok memenuhi ruangan, membuat Selin merasa mual. Ia menatap sekeliling dengan tatapan penuh kecemasan. Suara tawa dan teriakan bercampur dengan musik, membuat pikirannya berputar. Tubuh Selin gemetar. Kaki jenjangnya terseok mengikuti langkah Soraya yang berjalan dengan percaya diri di depan. Setiap mata yang menoleh ke arahnya terasa seperti belati yang menusuk kulitnya. Gaun hitam transparan yang melekat di tubuhnya seolah menjadikannya pusat perhatian di ruangan itu, sesuatu yang tidak pernah ia inginkan. Soraya, dengan senyumnya yang penuh tipu daya, berhenti di sebuah meja VIP di sudut ruangan. "Ini dia," katanya lantang, menarik perhatian para lelaki yang duduk di sana. "Hanya yang berani membayar harga mahal yang boleh memiliki dia." Selin menunduk, mencoba menghindari tatapan-tatapan lapar yang kini menilai dirinya seperti barang dagangan. Dadanya terasa sesak, setiap helaan napas seperti tidak cukup untuk mengisi paru-parunya. "Tolong," bisiknya dalam hati, meskipun ia tahu tidak ada yang akan mendengarnya di tempat ini. Para lelaki di meja itu mulai berebut bicara, suara mereka nyaring, penuh dengan nada keinginan. "Lima puluh juta!" seru salah satu dari mereka. "Tujuh puluh!" balas yang lain dengan senyuman penuh kemenangan. Tawaran terus naik, seperti lelang di tengah hiruk-pikuk. Soraya tersenyum puas, matanya bersinar penuh keserakahan. Namun, suara yang lebih dalam dan tenang memotong keramaian. "Seratus juta," ucap seorang pria, membuat semua orang terdiam. Selin memberanikan diri melirik ke arah suara itu. Di sana, berdiri seorang lelaki tampan dengan mata biru yang tajam, wajahnya seperti dipahat dari marmer dengan kesempurnaan yang dingin. Ia mengenakan setelan abu-abu langit yang terlihat mahal, dengan rambut hitamnya yang tersisir rapi. Pria itu tidak tersenyum, tapi tatapannya cukup untuk membuat Selin bergidik. "Dia milikku sekarang," ucapnya dengan nada tegas yang tidak terbantahkan. Soraya mengangguk puas, dan transaksi pun selesai. Selin ingin berteriak, ingin melarikan diri, tapi tubuhnya terasa berat, seperti tenggelam dalam lumpur. Pria itu melangkah mendekatinya, mengulurkan tangan. "Namaku Biru," katanya, suaranya rendah namun penuh kekuasaan. "Dan mulai sekarang, kau adalah milikku." Selin hanya bisa menatapnya dengan mata berkaca-kaca, jantungnya berdetak keras, sementara ia merasa semakin terperangkap dalam dunia gelap yang tidak pernah ia bayangkan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN