3. ISTRI YANG MENGHARGAI SUAMI

1593 Kata
Aroma nasi campur khas Bali menguar memenuhi ruang makan di kediaman Romedjo yang mewah. Hal ini mengingatkannya akan kebiasaan keluarganya yang sudah tidak ia teruskan saat tinggal sendiri. Ia tidak pernah makan makanan berat sebagai menu sarapan. Namun disaat pulang ke rumah orang tuanya, ritual ini wajib demi menyeimbangkan kesehatan dan juga memanjakan lidah. Mau tidak mau, Gyan harus memenuhi keinginan ibunya demi tetap menjaga kehangatan keluarga. “Selamat pagi,” sapa Gyan kepada orang tua dan juga adik kembarnya yang sudah bangun lebih dulu darinya. “Pagi Bos Pemalas,” balas Arella. “Bangunnya paling siang,” Ragnala menimpali. Gyan menyipitkan mata, mengambil tempat di hadapan kedua adiknya. “Kalian berdua berani ya mengatai salah satu donatur yang paling loyal.” “Mana ada! Yang paling loyal itu Mama sama Papa,” ucap Arella. “Betul! Mas Gyan diminta beliin tas baru aja susahnya minta ampun. Kalau sama Papa, nggak ada syarat ini itu, langsung dibeliin,” Ragnala menimpali. Suara dentingan piring yang dipukul pelan dengan sendpk oleh Maira membuat ketiganya terdiam. Ibu suri di rumah itu akhirnya turuntangan. “Ini meja makan, bukan arena debat.” “Mereka duluan, Ma,” ucap Gyan bak anak kecil yang mengadu padahal ia paling dewasa. “Nggak masalah. Jarang-jarang Tom and Jerry ribut di rumah ini. Kalau nggak ada si Gyan, rumah terlalu sepi. Iya kan La, Na?” Dua anak kembar itu mengangguk penuh semangat. “Benar Pa.” “Jadi secara nggak langsung, aku jadi sumber keributannya, Pa?” tanya Gyan setengah tidak percaya. Sontak saja ekspresi lucunya memancing tawa orang tua dan saudaranya. Perdebatan kecil yang selalu mengundang tawa. Tidak ada kata tersinggung meski penguasa rumah yang tidak lain istri dari Ciptadi Romedjo sangatlah galak dan tegas. “Sudah lama nggak makan nasi campur,” ucap Gyan saat memasukkan suapan pertama ke mulutnya. “Langganan kita rasanya nggak pernah berubah, ya.” “Jangan terlalu sering makan makanan sehat, yang ada Mas Gyan nggak menikmati hidup. Buat apa uang banyak, tapi makan nggak enak,” ucap Arella. “Benar Mas. Sekali-sekali nggak masalah kok. Yang penting tetap olahraga.” Gyan mengangguk. Jelas ia tahu soal itu tapi mendengarkan perhatian adik kembarnya terasa menyenangkan. “Mas kalian nggak sehat-sehat amat hidupnya. Kalian lupa dia punya usaha apa?” “Tapi aku nggak minum tiap hari. Kalau pun minum, aku tetap bayar, Ma,” jawab Gyan. “Oh iya, malam minggu kita mau ke Fantaisie sama teman-teman. Gratis ya, Mas?” rayu Nala. “Boleh. Tapi jangan buat masalah.” “Siap Bos!” “Satu lagi, jangan mabuk. Kalau Mama sampai lihat kalian pulang dalam keadaan teler, jangan harap bisa pergi lagi. Mengerti?” Ragnala dan Arella memgangguk bersamaan. “Iya Ma.” Melihat adiknya mendapat peringatan dari ibunya, Gyan hanya bisa tertawa kecil. Menyenangkan bisa melihat Ragnala dan Arella ketakutan seperti ini. Membayangkan dirinya saat kecil, yang harus tunduk dengan perintah Maira. Bahkan ayahnya kadang tidak mampu membela karena ketegasan wanita itu dalam mendidik anak. “Ngomong-ngomong, Mama dapat info kalau kamu ke sekolah. Ngapain kamu ke sana?” tanya Maira. Gyan meneguk air putih karena tenggorokannya terasa penuh. Setalahnya, wajahnya nampak lega karena makanan terdorong ke dalam. “Mama ingat sama Jay, teman kuliahku di Singapore?” Maira mengangguk. “Ingat. Dia masih di sana, kan?” “Bulan depan dia mau pindah tugas ke Bali dan anak istrinya juga ikut. Jadi anaknya harus pindah sekolah. Dia minta tolong aku buat bantu ngurus.” “Anaknya sudah Sd?” Gyan mengangguk santai tanpa curiga. “Iya. Cewek dan aku lihat dari fotonya lucu dan cantik sekali.” Maira berdecak. “Pa, lihat mukanya seperti nggak ada beban.” Ciptadi terkekeh pelan. “Papa nggak ikutan, Ma.” “Memang kenapa?” tanya Gyan bingung. “Teman kamu sudah nikah bahkan punya anak Sd. Tapi kamu masih begini-begini saja. Nikah Gyan, nikah. Mama sama Papa sudah makin tua, pingin gendong cucu sebelum mati.” Seketika saja Gyan tersedak makanan yang sedang dikunyah. Arella segera menyerahkan gelas berisi air putih, agar kakaknya bisa minum. Wajah Gyan memerah, terkejut sekaligus panik. “Kasihan sekali Mas Gyan. Baru juga diulti sama Mama sudah tertekan begitu,” gumam Ragnala. “Biar saja tertekan. Mas kalian harus tahu kalau dia anak cowok satu-satunya di keluarga ini dan umurnya sudah cukup buat nikah,” ujar Maira. “Gimana mau nikah, pacar saja nggak punya,” gumam Gyan. “Bukan nggak punya, tapi kamu pemilih. Sama anak teman Papa saja nggak mau, selera kamu susah ditebak,” ucap Ciptadi. “Tenang Mas, nanti aku kenalin sama temanku. Bebet dan bobotnya pasti sudah terjamin,” ucap Arella. Gyan menggeleng tegas. “Nggak usah. Kalian kira aku nggak laku.” Maira berdecak heran. Gyan usianya sudah 35 tahun, tapi jika bersama kedua adiknya selalu bertingkah kekanak-kanakan. Kadang gemas tapi kadang juga lucu. Tiga anaknya memang punya sifat unik, yang berhasil membuat ramai keluarga Romedjoe. “Pokoknya kalau tahun depan nggak nikah, kamu bakalan Mama jodohin. Nggak boleh protes nggak boleh nolak,” ancam Maire. “Ma, apa-apaan, sih. Nanti juga aku nikah kalau sudah ketemu jodohnya.” “Makanya bawa calon sebelum niat Mama benar-benar terjadi. Paham?” *** Percakapan pagi yang cukup berat membuat Gyan terus memikirkannya. Sebenarnya ini bukan kali pertama, tapi entah kenapa ancaman Maira terasa menakutkan jika sampai terjadi. Bagaimana mungkin ia menikah dengan wanita yang asing dan tidak ia cintai. Memikirkannya saja sudah membuat perutnya mulas tidak karuan. “Seorang Gyan sampai dicarikan calon istri?” Gyan menghela napas kasar. “Oh, nggak bisa. Cewek-cewek antri buat jadi pacarku. Mau lokal, atau luar, aku bisa saja pilih salah satu dari mereka buat senang-senang. Tapi kalau urusan pasangan hidup, harus sesuai dengan keinginan hati,” gumamnya sambil mengemudikan mobil. Sebelum pergi melakukan monitoring terhadapan beach club miliknya bernama Fantaisie, Gyan harus kembali ke sekolah untuk urusan yang sama. Ia perlu bertemu kepala sekolah untuk beberapa pertanyaan yang diajukan Jay. Sebenarnya agak merepotkan bagi Gyan dan bisa sajaia meminta pihak sekolah mengurus tanpa melibatkannya. Tetapi, mengingat Jay sangat baik selama mereka kuliah bersama, membuatnya akhirnya mau membantu. Selain itu, ia tidak mau merepotkan staf, meski yayasan itu milik ibunya. Setelah menyelesaikan urusan dengan kepala sekolah, Gyan segera keluar dari ruangan itu karena harus buru-buru ke Fantaisie. Saat kakinya melangkah, matanya justru menangkap keberadaan seseorang. Diantara banyak siswa yang selesai melakukan proses belajar, keberadaan Elenio langsung memancing rasa penasaran Gyan untuk menghampiri. “Hai Boy!” Nio menoleh ke sumber suara. Wajahnya langsung semringah mendapati Gyan ada di depan matanya. “Uncle Gyan!” “Kamu lagi nunggu siapa?” “Nunggu Mommy.” Gyan mengedarkan pandangan ke sekitar dan belum menemukan kehadiran Rhae. “Mommy kamu belum datang, ya.” “Iya. Katanya Miss, Mommy terlambat. Ban mobilnya kempes.” “Oh begitu.” Gyan melihat jam yang melingkar di tangannya. “Uncle temenin sampai Mommy datang, ya.” Anak itu mengangguk senang. “Oke, Uncle.” Sebenarnya Gyan tidak melupakan apa yang Rhae katakan tempo hari. Bagaimana tegasnya wanita itu, agar ia tidak mendekati anaknya karena mereka tidak saling kenal. Tetapi, Gyan yang punya sifat menyukai anak-anak, tidak bisa mengabaikan Nio. Mungkin jika ia tidak menyapa lebih dulu, anak itu pasti tetap melihatnya. “Kamu lapar nggak?” tanya Gyan kepada Nio saat duduk si kursi berbahan beton berbentuk bulat. Nio menggeleng. “Aku sudah makan bekal dari Mommy, jadi sekarang belum lapar.” “Oh begitu. Nio suka sekolah di sini?” “Suka. Banyak teman yang baik.” “Kalau boleh Uncle tahu, Mommy kerja apa?” Nio berpikir sejenak dengan gaya khas anak-anak. “Buat baju.” “Buat baju? Penjahit maksudnya?” “Gambar-gambar tapi di rumah Mommy suka jahit baju juga.” Jawaban Nio sedikit membingungkan bagi Gyan. Namun ia tetap menghargai apa yang sudah dikatakan anak itu. “Kalau Daddy kamu di mana?” “Daddy?” Nio terdiam sejenak. “NIO!” Gyan dan Nio menoleh bersamaan ke sumber suara. Mereka melihat kedatangan Rhae dengan ekspresi wajah yang tidak bersahabat. Kejadian ini mengingatkan pria itu pada insiden di lapangan basket. Dan ia sudah siap dengan kemarahan wanita muda itu. “Mommy.” Rhae menatap Nio yang menghampirinya. “Kamu lupa pesan, Mommy?” Nio menggeleng. “Enggak, Mommy. Nio nggak ke lapangan bakset dan nunggu Mommy di tempat biasa,” jawab anak itu dengan ekspresi takut. Tentu saja Gyan tidak tinggal diam karena ini adalah inisiatifnya. Ia pun beranjak dari tempat duduk, lalu menghampiri Rhae. “Jangan marahi Nio karena saya yang mendatangi dia. Ajak dia duduk di sini dan ngobrol. Kalau kamu mau marah, sama saya saja.” Mendengar itu, terlihat Rhae menghela napas pelan menahan emosi. Tatapan mata yang tajam ke Gyan, kini beralih lagi ke putranya. “Kita pulang sekarang ya, Sayang,” ucap Rhae kepada Nio. Nio pun mengangguk pelan. “Iya Mommy.” “Ayo.” Sebelum pergi, Nio menghampiri Gyan dan menyentuh tangan pria itu. “Terima kasih Uncle Gyan sudah nemenin Nio nunggu Mommy.” “Sama-sama, Nio.” “Bye-bye Uncel.” “Bye. Hati-hati di jalan,” ucapnya dengan pandangan mata sekilas tertuju kepada Rhae. Tanpa mengatakan apa-apa, Rhae pergi dari hadapan Gyan. Pria itu tersenyum tipis sambil mengusap tengkuknya. Ini kali pertama ia mendapat perlakuan seperti ini dari seorang wanita. Sedikit melukai harga dirinya tapi ia sendiri juga salah karena mengabaikan peringatan Rhae. “Dia punya anak, pasti punya suami. Mungkin sikap ketusnya ini karena dia menghargai suaminya. Ya, Rhae sepertinya nggak mau dianggap berkhianat dengan bersikap akrab kepada cowok lain yang nggak dikenal,” guman Gyan.

Cerita bagus bermula dari sini

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN