Kau melukaiku kak

1667 Kata
Pernadi bersiul menuruni anak tangga, hari ini ia akan menjemput Cintya ke Bandara. Rasa rindunya sudah sangat membuncah di d**a, ingin segera melepaskan rasa itu pada belahan jiwanya. Pernadi menuju ruang makan, disana keluarga sudah berkumpul untuk sarapan. Gordon duduk di ujung meja sebagai kepala rumah tangga, sementara Rukaya dan Ibunya duduk bersebelahan. "Rapi begitu mau kemana, Nadi?" Tanya Rukaya sembari melayani suaminya dengan telaten. "Mau ketemu teman, Ma." Pernadi duduk di sebelah Rindu. "Pagi-pagi begini dan di hari kerja?" Tanya Rukaya curiga. "Kebetulan dia libur dan besok Nadi nggak bisa ketemu karena sudah masuk kerja." Ia menerima piring berisi makanan yang di siapkan Rindu. "Makasih sayang." ucapnya mesra, tetapi mencekik di leher istrinya. Pria ini sangat pandai berlakon, kenapa tidak jadi aktor saja. Rindu mual mendengarnya. "Ajak istri kamu dong, kenalin sama teman kamu itu." Usul Rukaya. "Lain kali aja, Ma."Tolak Pernadi cepat. "Lagian Rindu juga mau menyiapkan berkas-berkas untuk masuk kuliah. Iya kan, sayang?" Pernadi melihat Rindu dengan senyum manis. Berharap gadis itu mengangguk. "Nggak juga, aku ikut ya kak. Sekalian jalan-jalan." ujar Rindu sembari memamerkan gigi gingsulnya lewat senyum manisnya. Pernadi menajamkan tatapannya seolah mengancam Rindu. "Iya papa setuju, ajak istrimu sekalian jalan-jalan." ujar Gordon, menyudahi makannya. Pernadi berdecak, tak mungkin menolak lagi. Bisa-bisa orang tuanya curiga sama hubungannya dengan istrinya. "Ya sudah." kata Pernadi dengan lirih sembari menatap kesal Rindu. Setelah sarapan pagi, Pernadi menunggu Rindu di ruang tamu. Ia uring-uringan, memikirkan apa yang akan ia lakukan pada gadis remaja ini. Rindu dengan wajah riang menghampiri Pernadi. "Kak, aku sudah siap." ucapnya dan seketika Pernadi menariknya ke luar rumah lebih tepat ke belakang mobilnya. Mendorong Rindu mentok pada mobil, memaksa istrinya itu mendongak dengan cara menekan dagu. Rindu memekik sekaligus terkejut. "Lu segaja ya, mau menghancurkan hubungan gue sama Cintya?" Ia mendesiskan ucapannya dengan tatapan tajam. "Sakit, kak." gumam Rindu, mencoba melepaskan diri dari Pernadi yang menekan dagunya. "Gue nggak peduli kalau hubungan kita sampai berakhir. Tapi, hubungan gue dengan Cintya nggak boleh hancur terutama hanya karena Lu," Pernadi melepas dagu istrinya dengan sedikit kasar. "Kau melukaiku, Kak." Rindu menangis, memengangi dagunya yang sudah memerah. Sebenarnya bukan dagu itu saja yang terasa sakit tetapi hatinya seperti di remas di dalam d**a, perih. "Arhh!" Pernadi menyugar rambutnya kesal. Melihat Rindu menitikkan air mata membuatnya menjadi iba. Pria itu berdecak, menekan langkah masuk ke dalam mobil. Rindu menyeka pipi yang basa air mata, ia ragu ikut dan memutuskan menyeret langkahnya menuju pintu rumah. Tin..., suara klaksson mobil mengejutkannya, Rindu menolehkan kepala. "Ikut nggak, Lu?" Pria itu bertanya dengan suara meninggi sekaligus turun dari mobil. "Ayo." Menarik tangan Rindu. "Rindu nggak jadi ikut, kak?" Rindu menahan dirinya di tempat. "Kenapa?" "Nggak mau ganggu kakak." "Kenapa baru mikir sekarang? Otak lu tadi dimana saat gue nolak bawa Lu," ucap Pernadi kesal. "Naik!" Perintahnya tegas. "Tapi, kak." "Diam dan naik. Lu, mau kedua orang tua gue marah gara-gara ninggalin lu. Hah?" Rindu menggeleng dan segera patuh. Di dalam mobil mereka saling diam, sesekali Rindu melirik suaminya yang fokus mengemudi. Pria ini masih saja mengetatkan rahangnya. Masih saja dengan raut masamnya. "Kak," Panggil Rindu dengan suara lirih, ia menunduk memainkan jemarinya. "Apa?" Tanpa melihat. "Turunkan aku di suatu tempat. Setelah menjemput dan mengantar Cintya pulang, kakak boleh jemput Rindu." usulnya. "Jangan gila." "Kakak nggak iklas bawa Rindu." "Ya emang. Tapi, ide lu konyol. Gue nggak mau nanggung resiko kalau lu kenapa-napa. " ujarnya, terus fokus menyetir. Bandara Soerkarno-Hatta. Setelah memarkirkan mobilnya, ponsel Pernadi berdering panggilan dari Cintya. "Sayang, aku sudah tiba dan baru keluar dari pesawat. Sudah stand by, kan?" "Sudah, ini lagi di parkiran mobil. Aku tutup sampai ketemu." "Baiklah, ummuah." Pernadi tersenyum ketika Cintya memberinya ciuman mesra lewat udara. "Kenapa?" Tanya Pernadi melihat air muka Rindu masam. "Nggak pa-pa, kak." Menyengir, menunjukkan gigi gingsulnya. "Rindu, ingat hubungan kita hanya sepupu. Jangan sampai Cintya tau hubungan kita yang sebenarnya. Mengerti?" Rindu mengangguk, untuk sementara ia harus patuh. Itu caranya untuk menyenangkan hati pria ini sekaligus mencari tahu seperti apa sosok Cintya yang sangat dicintai suaminya ini. Rindu keluar dari mobil, mengikuti suaminya dari belakang. Kini mereka duduk di bangku pangjang menunggu kedatangan Cintya. Pernadi melihat arloji yang melingkar di pergelangan tangan. Sudah sepuluh menit setelah mereka duduk menunggu. "Kak," Lirihnya. "Mmm ...." "Antarin Rindu ke toilet." Pernadi memejam, gadis ini benar-benar menyulitkannya. Ia mengembuskan napas kasar. "Jauh Rin, tahan aja nanti kita cari pom bensin." "Tapi, Rindu sudah nggak kuat." rengek Rindu seraya menahan sesuatu. "Mau apa?" "Pipis," tanpa suara. "Lain kali pakai pampers. Nyusahin." Kesal Pernadi, menarik tangan Rindu dan membawanya melangkah panjang mencari toilet. "Toiletnya ada di sebelah sana." Tunjuk Pernadi begitu membaca petunjuk di papan yang tergantung. "Cepetan jangan lama dan jangan sampai salah masuk ke toilet cowok, paham?" Tekannya memperingatkan. Rindu mengangguk lalu berlari kecil, menuju toilet perempuan. Di ruang tunggu toilet itu Rindu melihat sepasang manusia tengah berciuman. Rindu mengalihkan pandangannya saat bertemu tatap dengan Pria yang tengah mencium pasangannya dengan rakus. Rindu segera masuk ke toilet dan menggelengkan kepala. "Apa-apaan? Tidak tahu malu berciuman di tempat umum." gumam Rindu, membuka bilik untuk membuang yang tertahan di tubuhnya. Setelah menyelesaikan panggilan alam, Rindu keluar dan memperhatikan pasangan tadi sudah tidak ada di tempat itu. Ia menekan langkah panjang mendatangi suaminya. "Lama bangat." Sungut Pernadi, dan langsung berjalan kembali ke tempat mereka semula. "Sayang ...." Cintya melambaikan tangan, saat melihat Pernadi. Pria itu tersenyum, merentangkan kedua tangannya menyambut Cintya yang sudah berlari ke arahnya. Pernadi memeluk tubuh Cintya, dan gadis itu sekelebat mencium bibir Pernadi. Pernadi tidak membalasnya, lantaran ada Rindu di sana. "Sayang, jangan begini. Ada sepupu aku." ujar Pernadi, mengingatkan Cintya agar tidak terlalu manja di pelukannya. Pernadi melepas pelukannya, gadis itu kemudian mencium rahang Pernadi. "Rindu kamu." ucapnya dengan manja. "Aku juga Rindu kamu." Pernadi mengacak-acak rambut Cintya lembut. Rindu masih terpaku di tempatnya, memperhatikan Cintya dan mencoba mengingat sesuatu mengenai gadis ini. Rasanya tak asing. "Oh ya, sayang. Kenalin, ini adik sepupuku." Pernadi mengenalkan keduanya. "Rindu." "Cintya, calon istri kakakmu." katanya dengan ramah. "Aku tahu, Kak Nadi suka cerita mengenai kakak." "Oh ya, tapi yang diceritain yang baik-baik aja kan?" "Karena dia sedang jatuh cinta pada kakak. Jadi semua yang ia lihat hanya kebaikan kakak saja." jawab Rindu, sembari berjalan. "Adikmu lucu ya." ucap Cintya tertawa garing. Ia masih bermanja-manja pada Pernadi. Gadis itu menyenderkan kepalanya di lengan kekasihnya sembari berjalan. "Masa sih? Nyebelin iya." Balas Pernadi melihat ke arah Rindu. Rindu mencebik, lalu meleletkan lidah pada suaminya, Rindu cemburu melihat Cintya sangat dekat dengan Pernadi. "Sayang aku lapar." ucapnya manja. Rindu menggigit giginya sendiri mendengar suara maja gadis ini. Ia kesal tetapi, tidak bisa berbuat apa-apa. Rindu berlari kecil tepat di hadapan Pernadi dan Cintya. "Kakak, aku juga lapar." Rindu menyengir menunjukkan gingsulnya seraya mengerjapkan mata lentiknya. Melihat tingkah imut Rindu pada Pernadi membuat Cintya kesal. Ia tak menyukai hal itu, tetapi Pernadi refleks tersenyum melihat tingkah Rindu yang begitu menggemaskan. "Kau ini, kita kan baru makan dari rumah." Pernadi, menjawil hidung mancung Rindu. "Tapi, aku sudah lapar lagi kak." Merengek layaknya anak kecil, membuat panas hati seseorang. "Dasar anak kecil." ucap Pernadi. "Sayang ayo, aku sudah lapar." Cintya melepas tangannya dari lengan Pernadi dan langsung melangkah mendahului dengan raut cemberut. Pernadi menarik koper milik Cintya menuju parkiran. Memasukkan koper di bagasi. Cintya kesal saat Rindu sudah duduk di bangku penumpang paling depan. "Sayang, kenapa bawa adik kamu sih?" Rengek Cintya. "Kenapa, Tya?" Tanya Pernadi dan gadis itu langsung memeluknya. "Dia sama aja sama Ibumu. Nggak suka sama aku." Katanya sembari memukul-mukul d**a Pernadi. "Rindu, bukannya nggak suka sama kamu. Emang orangnya begitu. Nyebelin, tapi dia aslinya baik kok." "Dia tinggal sama kalian?" "Ummm, kuliah di kota ini." Cintya menghela berat, ia melepas pelukannya. "Ada apa Tya, kita baru ketemu loh setelah seminggu berlibur di luar sana dan kamu milih ngambek gini gara-gara hal sepele." "Justru itu, kita baru ketemu dan kamu sudah bikin mood aku hancur. Aku pikir tadi kita berduan aja." Pernadi berdecak, ia menyelipkan anak rambut Cintya kebelakang telinga. "Maaf, tapi aku bisa ninggalin dia di rumah sendirian." "Kan dia bisa ikut kerja sama mama kamu." "Sayang, kenapa ini jadi masalah?" Pernadi memejam sembari menghela pelan. "Begini saja, setelah makan kita antar Rindu pulang baru kita ke Apartemenmu. Bagaimana?" "Nggak. Kita antar sepupumu pulang baru kita makan." Pernadi tampak memikirkannya, lalu mengangguk. "Ya sudah, ayo." Pernadi menarik tangan Cintya lalu mengetuk jendela mobil, Rindu menurunkan kacanya. "Rin duduk di belakang ya." "Emangnya kenapa harus di belakang?" "Cintya mau di depan." "Kan Rindu duluan kak," "Iya kakak tahu, ayo turun dan duduk di belakang. Lebih nyaman." Bujuk Pernadi membuka pintu mobil. Rindu berdecak dengan raut cemberut turun dari mobil. "Makasih ya, Rin."ucap Cintya dengan senyum kemenangan. "Mmm," "Jangan cemberut gitu." Tanpa sadar Pernadi mengacak-acak rambut Rindu, membuat gadis itu merona. Selama dalam perjalanan Cintya tak banyak bicara, ia hanya memandangi kekasihnya yang sedang fokus menyetir, sementara Rindu mengawasi dari belakang. "Rin, kakak antar langsung pulang ya?" Tanya Pernadi, melihat Rindu lewat kaca spion. "Katanya mau makan." "Nggak jadi, Cintya mau masak di Apartemen aja." Apa-apaan sih, tadi sudah lapar sekarang mau masak. Pasti segaja supaya Rindu nggak ikutan. Rindu membatin. "Ya udah, Rindu juga ikutan." Rindu mencondongkan tubuhnya ke depan. "Ikut ya kak ..." mengibaskan bulu matanya yang lentik pada Cintya. "Ah, lain kali ya Rin. Aku sama kakakmu kan baru ketemu. Kami ingin berduaan dulu." "Maksudnya, berduaan seperti apa?" Tanya Rindu penasaran. "Kami ingin merayakan pertemuan kami tanpa ada orang lain." ucap Cintya dengan raut kesal. Rindu mencebik, kembali ke posisinya. Ia mengambil ponselnya lalu mengirim pesan pada Pernadi. Ponsel dalam saku celana Pernadi bergetar, ia mengambilnya dan mengernyit saat melihat nama Rindu di sana. Pernadi melirik lewat kaca spion gadis di belakang memalingkan wajahnya dengan raut cemberut, sementara Cintya juga sibuk dengan ponselnya. Pernadi membuka pesan dari Rindu dan membuatnya spontan menginjak rem. Suara ban berdecit beradu pada aspal. Rindu mengirim foto yang ia ambil saat Pernadi menjadikannya bantal guling. Kepala Rindu membentur belakang bangku Pernadi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN