Pondok Indah Mall.
Tujuan mereka kencan adalah Mall pondok indah, tetapi bisa dibilang ini bukanlah kencan melainkan belanja. Cintya sangat gemar berbelanja, dia seorang gadis lapar mata. Pernadi, yang tergila-gila padanya tidak peduli, meski harus mengeluarkan banyak rupiah demi memanjakan kekasihnya. Seperti sekarang, ia tampak seperti kacung. Menenteng semua belanjaan tuan putri sembari mengekori dari belakang.
"Sayang," Mengulas senyum manis, saat berdiri di depan toko jam tangan. Pernadi berdecak, bukan karena tak ingin membelinya tetapi tatapan kekasihnya itu sangat lucu persis seperti kucing manis.
"Baiklah," ujar Pernadi. Gadis itu melebarkan mata, bahagia. Ia segera masuk ke dalam toko.
Pernadi menggeleng-gelengkan kepala, mengikuti dari belakang.
"Selamat sore, ada yang bisa saya bantu?" seorang penjaga toko menyapa dengan ramah. Cintya duduk di depan meja etalase dan memperhatikan pajangan Arloji.
"Boleh aku mencobanya?" Tanya Cintya, menunjuk salah satu Arloji dari Brand ternama.
"Tentu saja," pelayan toko mengeluarkan Arloji lalu menyerahkan pada Cintya. Gadis itu mencoba di pergelangan tangannya dan memamerkannya pada Pernadi.
"Sayang aku suka, bangus nggak?" Tanya Cintya dengan nada manja.
"Bagus, cocok ditangan kamu." Puji Pernadi.
"Kita ambil ya,"
"Apapun untukmu, sayang." Pernadi mengusap kepala Cintya pelan.
"Aku mau barang ini," kata Cintya pada penjaga toko.
"Oke, mau langsung di pakai atau—"
"Langsung dipakai aja deh." Sahut Cintya seraya mengulurkan tangan.
Penjaga toko membantu memasangkan di pergelangan tangan Cintya kemudian membuatkan nota belanjaan dan menyerahkan sertifikat keaslian jam tangan.
Pernadi menyerahkan kartu debit dari dompetnya untuk melakukan p********n.
Setelah selesai melakukan transaksi, Pernadi membawa semua barang belanjaan Cintya, gadis itu langsung menggandeng lengan Pernadi. Ia puas, belanja. Dalam hitungan jam, 85 juta telah ia habiskan.
"Sudah malam sayang, kita makan ya."
"Oke."
Keduanya menuju restoran chinese dan mengambil tempat duduk yang nyaman.
"Pesan makan malam seperti biasa aja, sayang. Aku mau ke toilet dulu." ucap Cintya.
"Jangan lama."
Cintya segera berlalu dari sana, sementara Pernadi memesan makanan kesukaan mereka lalu menyerahkan pada pelayan yang sudah menunggu di dekat meja mereka.
Ponsel Cintya berdering, yang ada di atas meja. Pernadi melihat, dan membaca nama si pemanggil. Bibi tertulis dilayar.
Pernadi berpikir itu, penting lantas ia menjawabnya.
"Halo...," sapa Pernadi tetapi langsung terputus. Pernadi mengernyit, ia meletakkan kembali ponsel Cintya di meja. Tidak lama kemudian Cintya datang.
"Ada yang nelpon tadi," kata Pernadi.
"Oh, siapa?" Cintya membuka ponselnya dan melihat panggilan yang di jawab Pernadi.
"Bibi, aku pikir penting jadi aku angkat tapi, langsung dimatiin." Pernadi menjelaskan.
Raut Cintya pucat, ia meletakkan ponselnya kembali di meja. Menatap kekasih dengan senyum canggung.
" Kenapa nggak ditelpon balik?"
"Biarin ajalah sayang, dia tau kok aku jalan sama kamu."
"Kali aja ada yang penting."
Cintya tersenyum, "makanannya belum datang?" Tanya Cintya mengalihkan pembicaraan.
"Bentar lagi. Kau sudah lapar?" Tanya Pernadi dibarengi kekehan.
" Iya aku sudah lapar." Balas Cintya dengan nada manja.
...
Pondok Indah Mall.
Tujuan mereka kencan adalah Mall pondok indah, tetapi bisa dibilang ini bukanlah kencan melainkan belanja.
Cintya sangat gemar berbelanja, dia seorang gadis lapar mata. Pernadi, yang tergila-gila padanya tidak peduli, meski harus mengeluarkan banyak rupiah demi memanjakan kekasihnya. Seperti sekarang, ia tampak seperti kacung. Menenteng semua belanjaan tuan putri sembari mengekori dari belakang.
"Sayang," Mengulas senyum manis, saat berdiri di depan toko jam tangan. Pernadi berdecak, bukan karena tak ingin membelinya tetapi tatapan kekasihnya itu sangat lucu persis seperti kucing manis.
"Baiklah," ujar Pernadi. Gadis itu melebarkan mata, bahagia. Ia segera masuk ke dalam toko.
Pernadi menggeleng-gelengkan kepala, mengikuti dari belakang.
"Selamat sore, ada yang bisa saya bantu?" seorang penjaga toko menyapa dengan ramah. Cintya duduk di depan meja etalase dan memperhatikan pajangan Arloji.
"Boleh aku mencobanya?" Tanya Cintya, menunjuk salah satu Arloji dari Brand ternama.
"Tentu saja," pelayan toko mengeluarkan Arloji lalu menyerahkan pada Cintya. Gadis itu mencoba di pergelangan tangannya dan memamerkannya pada Pernadi.
"Sayang aku suka, bangus nggak?" Tanya Cintya dengan nada manja.
"Bagus, cocok ditangan kamu." Puji Pernadi.
"Kita ambil ya,"
"Apapun untukmu, sayang." Pernadi mengusap kepala Cintya pelan.
"Aku mau barang ini," kata Cintya pada penjaga toko.
"Oke, mau langsung di pakai atau—"
"Langsung dipakai aja deh." Sahut Cintya seraya mengulurkan tangan.
Penjaga toko membantu memasangkan di pergelangan tangan Cintya kemudian membuatkan nota belanjaan dan menyerahkan sertifikat keaslian jam tangan.
Pernadi menyerahkan kartu debit dari dompetnya untuk melakukan p********n.
Setelah selesai melakukan transaksi, Pernadi membawa semua barang belanjaan Cintya, gadis itu langsung menggandeng lengan Pernadi. Ia puas, belanja. Dalam hitungan jam, 85 juta telah ia habiskan.
"Sudah malam sayang, kita makan ya."Ucap Pernadi.
"Oke."
Keduanya menuju restoran chinese lalu mengambil tempat duduk yang nyaman.
"Sayang, pesan makan malam seperti biasa aja. Aku mau ke toilet dulu." ucap Cintya.
"Jangan lama."
Cintya segera berlalu dari sana, sementara Pernadi memesan makanan kesukaan mereka lalu menyerahkan pada pelayan yang sudah menunggu di dekat meja mereka.
Ponsel Cintya berdering, yang ada di atas meja. Pernadi melihat, dan membaca nama si pemanggil. Bibi tertulis dilayar.
Pernadi berpikir itu, penting lantas ia menjawabnya.
"Halo...," sapa Pernadi tetapi langsung terputus. Pernadi mengernyit, ia meletakkan kembali ponsel Cintya di meja. Tidak lama kemudian Cintya datang.
"Ada yang nelpon tadi," kata Pernadi.
"Oh, siapa?" Cintya membuka ponselnya dan melihat panggilan yang di jawab Pernadi.
"Bibi, aku pikir penting jadi aku angkat tapi, langsung dimatiin." Pernadi menjelaskan.
Raut Cintya pucat, ia meletakkan ponselnya kembali di meja. Menatap kekasih dengan senyum canggung.
" Kenapa nggak ditelpon balik?"
"Biarin ajalah sayang, dia tau kok aku jalan sama kamu."
"Kali aja ada yang penting."
Cintya tersenyum, "makanannya belum datang?" Tanya Cintya mengalihkan pembicaraan.
"Bentar lagi. Kau sudah lapar?" Tanya Pernadi dibarengi kekehan.
"Iya aku sudah lapar." Balas Cintya dengan nada manja.
....
Seperti biasa, setiap malam. Rindu selalu mengabari Rukaya tentang keadaan mereka di desa. Ia melakukan Video Call dan duduk bersama neneknya di ruang tamu.
Gadis desa itu berharap pria yang kelak menjadi suaminya berada disana, berbicara padanya.
"Dimana cucuku?" Tanya Neneknya, Rindu langsung mendekat dan menunjukkan wajahnya di layar.
"Pernadi lagi di luar, Ma. Nanti aku suruh hubungi balik." Rindu merasa kecewa, ia kembali menarik wajahnya dari layar ponsel seraya mencebik.
Mulai bosan mendengar nenek dan Tantenya mengobrol lantas Rindu memilih keluar rumah.
"Rindu," Panggil tetangganya, gadis seusianya.
"Mae,"
"Lagi mikirin apa? Mukanya kok ditekuk gitu." Mae langsung duduk di pembatas teras rumah.
"Mikirin calon suami."
"Dasar sinting, eh tapi kau seriusan bakalan nikah sama paribanmu (sepupu) itu?" Tanya Mae penasaran.
"Iya, masa bercanda?" Ketus.
"Eh saraf, biasa aja jawabnya. Lembut ..., muka you tuh dah jelek jangan bikin orang kesal gara-gara suara you yang kayak nantang goliat."
"Ah bodo amatlah." Rindu melipat lengan di d**a.
"Rindu, kemarilah." Suara dari dalam rumah memanggilnya.
"Pulang sana." Usir Rindu, seraya menekan langkah masuk kedalam rumah.
"Iya, Nek."
"Nih bicara sama Peribanmu." Rindu refleks merapikan rambut ikal dan mengusap wajahnya. Ia segera mengambil posisi duduk di samping Neneknya.
"Halo kak ...." Mendengar kata KAK membuat pria disana mual. Gadis ini tidak punya pendirian, labil. Setelah Abang sekarang Kakak, jangan sampai dia memanggil sayang. Pernadi sangat mencemaskan itu.
"Baiklah, berikan pada Nenek." Kata Pernadi, ia jengkel melihat wajah sok imut Rindu dalam layar.
Rindu mengerucutkan bibir, ia baru saja menyapa sudah langsung dipindah tangan.
"Nenek sudah tidur." Rindu berbohong.
"Kalau begitu, saya matikan."
"Eh, jangan-jangan. Nenek sudah bangun lagi." Rindu mengalah, ia memberikan ponsel pada Neneknya.
"Aku rindu, Nenek."
"Eh apa, kakak memanggilku?" Sahut Rindu, dari belakang Neneknya.
"Diam! Ganti nama sana." Ketus Pernadi.
"Kalian ini, apa tidak bisa akur. Sebentar lagi kalian akan menikah loh." Ucap sang nenek menengahi. Rindu melingkarkan lengan di leher neneknya seraya mengagumi wajah calon suaminya lewat layar. Membawa pikirannya berjalan-jalan. Membayangkan ia bersanding dengan Pernadi. Menjadi satu dalam ikatan pernikahan, sangat indah.
"Rindu." Panggilan Neneknya membawa pikirannya kembali.
"Iya, sudah selesai nelpon nya?" Tanya Rindu, menerima ponsel dari tangan Neneknya.
"Sudah, nenek tidur dulu ya."
"Aku bantu, Nek." Rindu membantu perempuan senja berjalan menuju kamarnya. Membaringkan dan menyelimuti.
"Rindu, tidurlah." Ucap Perempuan Senja.
"Baik Nek.
Rindu keluar kamar menuju kamarnya. Ia melompat ke ranjang lalu memainkan ponselnya.
Pikirannya mulai nakal, ia mencari nomor ponsel Pernadi dan mengirim pesan.
[selamat malam calon suamiku ] Menyisipkan kiss emoji.
Menunggu lama, hingga pesan terbalas dan hanya emoji muntah. Rindu tersenyum, ia membalas lagi.
[Aku mencintaimu, dan tunggu aku dalam mimpimu.] Diakhiri kiss emoji yang banyak.
[Jangan berharap bisa masuk dalam mimpiku. Dunia alam tidurku tidak menerima gadis jelek seperti kau.]
[Aku akan menerobos masuk ]Emoji ketawa jahat.
Menunggu lama tak ada lagi balasan, hanya di baca. Rindu menghela nafas berat. Ia meletakkan ponsel di atas d**a.
"Papa, mama, apa kalian setuju dengan ide nenek? Aku merasa ini sulit bagi Pernadi. Pria itu pasti merasa ini sebuah keberuntungan bagiku. Dia selalu menganggapku bodoh dan terlebih jelek. " Rindu berdecak, kemudian memejamkan mata.
.
.
.
.
.
.